Bab 7 : Terduga

18 2 0
                                    

Hatinya berkecamuk. Rasa cemas dan takut kehilangan berhasil menguasai diri laki-laki itu. Tak henti mulutnya merapal doa-doa, berharap hal buruk tidak terjadi pada perempuan itu.

Dengan tenaga yang tersisa dan pandangan yang sudah mengabur karena genangan air mata, Rama masih tidak menyerah untuk memadamkan api yang mulai menggerogoti bagian pagar rumah mertuanya itu. Dia benar-benar seorang diri, tidak ada yang ingin membantunya.

Para warga sudah terlanjur menaruh benci pada keluarga ini sampai tak ada seorangpun yang menampakkan diri. Mereka memilih untuk berdiam diri di rumah, membiarkan api terus membakar pagar itu, apalagi posisi rumah Alim tidak diapit oleh rumah-rumah seperti yang lainnya. Bagian kanan dan kiri rumah mertuanya itu masih tanah kosong. Jadi, benar-benar tidak ada yang peduli karena api jauh dari rumah yang lainnya.

Dengan langkah tertatih, Rama berulangkali mengambil air lalu menyiramnya sampai akhirnya api itu benar-benar padam. Bulir keringat dari pelipisnya turun dan Rama mengusapnya dengan napas yang sudah tidak beraturan. Tak mau membuang waktu, kakinya melangkah cepat menuju motor RX king kesayangan. Dia tidak peduli bagaimana penampilan lusuh dan bajunya yang bau asap bahkan sampai ada beberapa lubang kecil karena terkena api, Rama benar-benar tidak peduli, yang ada dipikirannya saat ini hanyalah kondisi perempuan itu.

Tanpa banyak bicara, laki-laki itu segera membelah jalanan. Melewati jalan tikus agar bisa sampai lebih cepat ke rumah sakit terdekat.

Sedangkan di tempat lain, tepatnya di rumah sakit, ada sepasang suami-isteri yang gelisah. Menunggu dokter keluar dari ruang gawat darurat.

"Bunda tidak akan memaafkan diri ini kalau sampai terjadi sesuatu sama Aida, Yah," ucap Ratna dengan tubuh yang sudah bergetar, bayangan cairan merah yang tadi dilihatnya terus menghantui. Membuatnya tak bisa berhenti menangis ketakutan.

"Bunda ..." Hanya itu yang Alim katakan, tangannya dengan cepat merengkuh perempuan yang sudah hidup 27 tahun bersamanya. Perempuan yang Alim tahu tegar itu, ternyata kini bisa serapuh ini.

"Bunda yang tenang. Jangan menghukum diri bunda dengan menyalahkan diri sendiri. Tugas kita sekarang hanya perlu berdoa. Semoga anak kita baik-baik saja," ucap Alim sambil mengelus puncak kepala istrinya itu dengan kasih sayang dan ketulusan.

"Tapi, Yah ..."

"Nggak ada tapi-tapi. Sekarang bunda hanya perlu doa yang baik-baik untuk anak kita yah." Kemudian Alim mengecup puncak kepala itu dan lambat laun tubuh yang sedang direngkuhnya itu terasa lebih tenang. Tidak bergetar hebat seperti sebelumnya. Membuat perasaan Alim sedikit lega walaupun tetap saja rasa khawatir akan kondisi anak semata wayangnya tak bisa dihindari.

"Ayah, Bunda, bagaimana kondisi Aida sekarang?" suara seseorang menginterupsi pasangan suami-istri itu. Membuat keduanya melonggarkan jarak lalu menoleh.

"Apa kata dokter? Aida baik-baik saja, kan?"

Alim hendak menjawab sebelum kemudian istrinya mengangkat satu telapak tangan. Seolah memintanya untuk diam. Dengan perlahan wanita itu melangkah, menuju lebih dekat ke arah Rama.

"Apa kamu pernah melihat anak saya baik-baik saja setelah dipaksa menikah sama kamu!?"

Kalimat itu seketika membuat Rama kesulitan untuk sekedar menelan saliva.

"Tidak kan!? Anak saya menderita sejak menikah sama kamu! Apa kamu tidak lihat tubuhnya yang kian bertambah kurus!? Apa kamu juga tidak lihat gurat wajahnya yang selalu murung!? Dan hari ini, anak saya mencoba bunuh diri gara-gara kamu!"

Ratna mengarahkan telunjuknya tepat di wajah Rama.

Dan Rama bisa apa? Dia hanya bisa diam karena apa yang dikatakan ibu mertuanya benar. Hidup Aida menderita sejak menikah dengannya. Hanya saja percobaan bunuh diri tidak pernah terlintas di benak Rama karena dia berpikir semua hanya butuh waktu. Termasuk Aida yang membutuhkan banyak waktu untuk bisa menerima semua ini.

"Ma—"

"Tidak. Jangan minta maaf lagi karena sampai kapanpun saya tidak akan pernah memaafkan orang yang sudah membuat hidup anak saya menderita!"

"Bunda," panggil Alim. Dengan tenang laki-laki itu menghampiri. Memegang dua bahu istrinya yang sudah naik turun karena emosi.

"Kenapa, Yah? Ayah mau belain dia lagi?" tanya Ratna dengan nada sinis.

"Bunda masih nggak habis pikir dengan Ayah. Bagaimana bisa ayah menerima dia, bahkan membela seseorang yang sudah melakukan kejahatan pada anak kita! Dan satu lag—"

Kalimatnya terhenti saat seorang pria dengan sneli putih lengkap dengan stetoskop yang mengalung di leher muncul.

"Dokter bagaimana kondisi anak saya?" tanya Ratna dengan sigap.

"Untungnya anak ibu dibawa ke rumah sakit dengan cepat. Karena kalau terlambat sedikit lagi, pasti akan berakibat fatal. Pendarahan bisa lebih banyak. Untuk kondisinya sekarang sudah lebih baik dan hanya perlu waktu saja untuknya bisa sadar. Dan yang lebih beruntungnya lagi, anak di dalam kandungannya sehat, Bu."

Sejenak hening. Masing-masing mencoba mencerna kalimat dokter yang terakhir.

"Ma-maksudnya gimana, Dok ?" tanya Ratna tak mengerti.

"Iya, ibu dan bayinya selamat. Tapi walaupun begitu, pasien harus dirawat setidaknya satu hari, lalu setelahnya barulah bisa pulang."

"A-anak saya hamil, Dok?"

Pria dengan sneli putih itu mengangguk, "Benar, Bu. Anak ibu hamil. Untuk lebih jelasnya nanti bisa periksa ke dokter kandungan."

Seketika tiga orang yang berhadapan dengan sang dokter saling melempar pandangan. Terkejut sekaligus bingung.

"Kalau begitu saya permisi dulu ya," ucap sang dokter lalu pergi meninggalkan tiga orang itu dalam keheningan.

Sampai beberapa detik kemudian ...

PLAKKKKKK!

"Dasar kurang ajar! Jadi ini yang kamu katakan kalau kamu tidak melakukan apa-apa dengan anak saya!?"

Mata yang sudah memerah itu menampakkan kilatan, amarahnya memuncak.

"Laki-laki brengsek! Beraninya kamu melakukan hal hina seperti ini dengan anak saya!? Anak saya punya salah apa sama kamu, hah!?"

Rama hanya diam. Dia juga sama terkejutnya. Dia sempat meyakinkan diri bahwa pakaian Aida yang terbuka di rumah kosong itu hanya bagian dari skenario Bahar saja untuk memfitnah, semacam formalitas, tetapi ternyata ... Perempuan itu benar-benar sudah dinodai. Dan itu dilakukan oleh Bahar? Laki-laki brengsek seperti Bahar menghamili wanita suci seperti Aida? Rama tidak bisa menerimanya dan tanpa sadar kini tangannya sudah mengepal. Siap menghajar laki-laki brengsek itu.

Tapi itu tidak mungkin. Rama tidak mungkin pergi dari rumah sakit meninggalkan mereka. Memejamkan mata, Rama mengatur napas.

"Saya minta maaf. Tapi bukan saya yang mengham—"

"Masih mau mengelak juga!? Lalu kamu pikir siapa yang menghamili anak saya!? Apa kamu pikir anak saya wanita murahan yang mau melakukan hal hina seperti itu dengan sembarang orang?! Apa kamu menganggap anak perempuan kami tidak punya harga diri!?"

"Bu-bukan begitu maksud saya. Tap—"

"Terus apa!? Kamu harus ingat, anak saya bukan pelacur!"

Air mata terus mengalir dari pelupuk mata ibu mertuanya itu. Membuat hati Rama semakin tersayat, merasa bersalah karena kalimatnya sudah membuat ibu mertuanya salah paham dan tersinggung. Tapi sungguh, itu bukan niatnya.

"Ma-maaf."

Lagi, hanya kalimat itu yang keluar dari bibir Rama. Walaupun Rama tahu permintaan maafnya tidak pernah berarti apa-apa dan tidak akan pernah bisa menghapus luka yang ada di hati mertuanya.

Tapi Rama berjanji, dia akan menjaga Aida dan anak yang ada di rahimnya. Karena mau bagaimanapun, anak di dalam rahim Aida tidak bersalah, bayi yang suci itu titipan Allah yang diamanahkan untuk keluarga kecilnya yang jauh dari kata sempurna.

Semoga. Semoga saja takdir mengizinkan Rama untuk menjadi suami dan seorang ayah yang baik. Dia akan terus berdoa semoga perceraian yang dikatakan ibu mertuanya tidak akan pernah terjadi.

Mengejar Cinta Istri SendiriWhere stories live. Discover now