03. Pohon kersen setelah hujan

110 45 123
                                    

~ • ~ Strict parents itu kadang mengerikan, ya? Burung pipit ini dikurung secara paksa atas dalih kesayangan dan kembang Desa. ~ • ~

Tulisan tangannya tidak cantik, tidak juga indah, tapi sekali membaca, orang pasti tahu maknanya.

Tisari menghela napas, seraya menatap rinai yang mulai jarang dari batas jendela kamar. Dua hari ini, hujan teratur turun membasahi desa yang dia huni dan dua hari lagi, kerja kelompok yang dia nanti.

Rama dan mama memperbolehkan Abiyasa tuk menjemputnya. Ya ... meski masih ada peraturan. Harus pulang sebelum jam ini, harus bersikap begini, dan yang lain. Namun, secara tidak langsung, mereka merestui, bukan?

Tisari merasa merdeka. Karena sekali lagi ... ini yang pertama. Tisari jadi greget sendiri. Perasaannya sudah meletup-letup bak kembang api. Tisari berdeham dan menutup wajahnya dengan telapak tangan. Tisari salah tingkah. Senyumnya sekarang benar-benar merekah bak delima matang.

"Ma! Aku mau ke rumah Lida!" Tisari beranjak. Dengan niat menetralkan segala hal yang dirasa dan dia meletakkan alat tulis serba ungu, juga meraih ponselnya.

Mama mendengarnya, karena tak jauh jarak dari kamar Tisari dan dapur---tempat mama berada. "Kalau hujan makin gede pulang!"

Tisari tidak menjawab. Malah, makin menambah kecepatan tapak kakinya keluar rumah. Ketika pintu yang hampir sepenuhnya kaca terbuka, angin selepas hujan menerpanya. Menyegarkan.

Tiap langkah menuju jalan aspal satu-satunya yang jadi rute utama desa, tak pernah Tisari lewati sedetikpun untuk menikmati suasana yang jadi favoritnya.

"Lida! Ulfa!"

Tisari melambaikan tangan, pada kedua gadis di seberang jalan. Mereka menoleh dan senyumnya mengembang. "Mbak Ti!" sahut mereka serentak dan ikut bergerak mendekati.

"Dari mana?" Tisari bertanya, setelah benar-benar berhadapan dengan Lida dan Ulfa.

"Sosis." Ulfa mengangkat keresek kuning yang dia bawa.

Tisari berdeham. Setelahnya, dia melirik Lida dan Lida berkata, "Aku beli pentol buat makan entar malam."

"Takut padam?"

Tepat!

Ucapan Tisari mengenai titik tengah seluruh asumsi. Ulfa mendesah. "Udah hujan mulu! Males banget!" keluhnya persis seperti rengekan.

Oktober adalah awalnya musim penghujan. Desa terpencil seperti tempat tinggal mereka akan rawan sekali padam karena banyaknya pohon yang berkemungkinan tumbang karena hujan.

Bagi Ulfa itu merepotkan. Ulfa yang sudah mulai pacaran sejak kelas tujuh---lebih tepatnya sejak tahun lalu, jadi tak bisa leluasa menyampaikan kabar pada lelakinya. Tisari dan Lida hanya bisa menggeleng.

"Yu! Jhek neng tengga jelen!¹"

Ketiganya menoleh ke asal suara. Mendapati nenek Ulfa yang juga Nenek sepupu Tisari. Beliau duduk berselonjor di teras dan tengah nyirih; mengonsumsi sirih, kapur, dan pinang.

"Engghi!²" jawab Tisari, Lida, dan Ulfa serempak.

Ketiganya menunduk kecil sebelum melenggang dari tengah jalan. Di ujung paling timur sana, terdapat rumah Lida dan tempat nongkrong paling nyaman bagi keenam gadis desa.

Kenanga { Hiatus }Where stories live. Discover now