Kinanti Citra Ardhani

314 64 8
                                    

Ini semua luar biasa.

Aku sangat bersyukur karena semua hal yang lebih dari setahun lalu aku siapkan selama berbulan-bulan, bisa terlaksana dengan baik hingga detik ini. Kuliahku satu tahun kemarin menyenangkan, aku masih mampu menangani pekerjaan, dan yang lebih menenangkanku adalah kabar dari Ibu bahwa usaha Ayah berjalan dengan baik, begitu juga sekolah Kemal.

Tidak perlu diragukan, adikku satu-satunya itu memang sangat mudah bergaul. Jadi aku yakin tidak akan sulit baginya berada di lingkungan baru. Begitu juga Ayah yang seorang pekerja keras. Meski sekarang percetakan yang dirintisnya jauh lebih kecil dari perusahaannya dulu, aku yakin Ayah akan berusaha sekuat tenaganya.

Karena itu, akupun akan selalu bersemangat memperjuangkan mimpiku di sini. Meski kadang harus terkantuk-kantuk menyelesaikan terjemahan dan tugas, atau terpaksa absen ketika diajak hang out oleh temanku. Tidak selalu begitu memang, aku masih punya cukup waktu untuk bersenang-senang. Seperti hari ini.

Aku sedang berada di salah satu kafe dekat kampus bersama ketiga sahabatku. Tentu saja kafe ala mahasiswa dengan harga tidak jauh dari warmindo langgananku. Karena aku dan ketiganya sama-sama anak kos yang harus sangat perhitungan dengan pengeluaran kami. Meski namanya kafe, tempat ini lebih mirip kantin di kampusku dengan tambahan wi-fi. Lumayan kan, bisa dimanfaatkan untuk mengunduh beberapa e-book gratis.

Menuju akhir pekan, tempat ini cukup sepi. Mungkin para mahasiswa lebih memilih tempat lain yang lebih menyenangkan. Tapi kami cukup betah di sini. Bukan berarti kami tidak pernah ke tempat hits ya. Sesekali kami juga jalan ke mall untuk cuci mata.

"Kin, Abang ganteng tuh!" Irina, sahabatku si mojang Bandung, menunjuk ponsel yang kuletakkan di atas tumpukan buku di meja. Saat kuintip, layarnya menampakkan panggilan dari dr. Catra Kenandra Fadhil yang membuatku segera mengangkatnya.

"Sore, Bang." sapaku.

"Nanti malam gue bisa ya, Cit. Kita bahas neurologi, gue lagi kepikiran ambil itu buat PPDS." balas suara di seberangku yang begitu to the point seperti biasa.

"Oke, Bang. Di tempat biasa ya?"

"Oke. See you."

Belum sempat aku balas, sambungan yang sudah terputus membuatku segera meletakkan kembali ponselku. Sudah biasa, komunikasi kami memang hanya seperti itu.

"Kalian udah jadian belum sih, Kin?" Diva, sahabatku si arek Suroboyo, tiba-tiba bertanya dengan logatnya yang khas. Pertanyaan yang membuatku mengerutkan kening.

"Kalian siapa?" balasku. Kali ini Diva berdecak gemas.

"Ya kamu sama Bang Catra!"

"Heh, sembarangan!" semburku. "Jangan ngada-ngada!" Bukan apa-apa, kalau sampai ada yang mendengar gosip itu, aku akan merasa bersalah pada Bang Catra yang sudah banyak membantuku. Karena hubungan kami sama sekali tidak ke arah sana.

Seperti janjinya, aku bebas meminjam bahan kuliah apapun padanya. Dan dengan baik hatinya, Bang Catra yang sedang menjalani internship juga bersedia berdiskusi denganku tentang perkuliahan. Katanya, hitung-hitung me-refresh ilmu dasar lagi. Jadi jangan sampai ada gosip yang merugikan Bang Catra, padahal dia sudah begitu baiknya padaku.

"Lha kok ngada-ngada. Setahun lebih rutin ketemu, masa cuma ngomongin isi buku? Nggak percaya aku!" cibirnya.

"Lha emang iya! Kalo nggak percaya, tanya aja Antik yang pernah ikut. Atau kamu mau ikutan juga boleh." Aku menunjuk sahabatku satunya, si gadis Bogor. Antika mengangguk-angguk.

"Nggak usah kepo, Div. Yang ada bosen pisan dengerin mereka bahas textbook. Asli beneran dibahas materi, kelebihan kekurangan buku, pengalaman klinisnya, pokoknya kayak lagi ngobrol sama dosen." Antika menjelaskan dengan malas.

ORIFISIUM: Kumpulan Cerita PendekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang