19. Jeritan Itu Terdengar

3.3K 201 6
                                    

Keramaian itu mendadak sunyi, tetangga yang hadir sudah tidak terdengar kembali suaranya, kini hanya ada beberapa sanak saudara yang membantu merapihkan kondisi rumah, ada Dean, Arjuna, dan Pandu yang mulai melipat tikar yang sehabis digunakan, sedangkan di dapur  Nara dan Faya yang mencuci peralatan makan.

Semua telah rapih dan Ibu kembali ke kamarnya, sanak saudara pun kembali pulang. Di ruang tamu ada yang muda duduk dengan obrolan-obrolan singkat.

"Kamu tidur di kamar Pandu, ya?" pinta Nara kepada Arjuna yang duduk di sebelahnya.

"Aku di sini aja, bareng Dean sama Pandu."

Nara mengangguk tanda mengerti dan kini ia bangun dari duduknya untuk membawa beberapa selimut juga alas yang lebih tebal.

"Kira-kira kamu ambil cuti sampai kapan?" tanya Arjuna yang segera berdiri mengambil tumpukan selimut dari genggaman Nara.

"Kak Ina bilang sampai aku mau masuk kerja aja," kata Nara dengan senyum tipisnya. "Sidangnya gimana?"

"Lancar." Arjuna menjeda kalimatnya, "kamu masih mau nangis?"

Keduanya kini duduk kembali di antara Dean, Pandu, dan Faya.

"Udah cukup, nanti bapak malah makin sedih liat anaknya nangis."

Ada insan yang memang menjadi penonton di kehidupan orang lain. Saat berbicara tentang kehilangan, dunia orang lain akan berjalan seperti biasanya kecuali mereka yang merasa sangat ditinggalkan, mempercai takdir Tuhan atau menolak takdir Tuhan? Sekeras apapun mereka tetap diminta mempercai takdir Tuhan, belajar arti kata ikhlas meski waktu yang dilalui berbeda-beda.

Seperti Nara yang kadang waktu menolak kenyataan bahwa Bapak Adi telah meninggalkannya namun di lain waktu ia sadar orang yang ia cintai telah pergi ke sisi pencipta-Nya.

Ada desiran nyeri di dada saat ia Ingan rentetan pemakaman yang terjadi siang tadi.

"Hei?" panggil Arjuna saat Nara mulai tenggelam akan sedihnya.

Kepala yang menunduk mulai melihat kenyataan di depannya, ada Pandu yang sedang menahan tangisnya, lalu Dean dengan senyum yang seakan mengatakan tidak perlu khawatir tentang semuanya, juga wajah Faya yang khawatir dengan menggenggam punggung jemari kanannya dan sang kekasih yang masih setia di sisinya dengan senyum.

Nara bersyukur telah diizinkan memiliki mereka tapi bagaimana dengan Ibu? Ibu kehilangan pria yang dicintainya, kehilangan kepala keluarga, kehilangan sandaran hidupnya.

Tangisan itu perlahan terdengar, Arjuna yang melihat langsung berdiri dengan lutut menghadap Nara, ia raih kepala wanita itu untuk bersandar pada dadanya.

"Ibu."

"Ibu kenapa?" tanya Arjuna pelan.

"Nanti siapa yang jadi sandaran Ibu? Aku sama Pandu ada kalian, tapi Ibu nggak ada siapa-siapa."

Arjuna mengelus helai rambut Nara dengan lembut. "Ada kamu sama Pandu."

Tangisan itu berhenti dan meninggalkan sesak yang terdengar nyata, Nara pandang Arjuna yang baru saja berkata kalimat tersebut, kekasihnya mengangguk yakin bahwa Nara dan Pandu bisa menjadi sandaran untuk Ibunya.

"Ndu?"

"Bener kata Bang Juna, kan ada kita," jelas Pandu dengan yakin.

"Lo lupa di sini kan tempat lahir ibu lo, ada mamah gue dan keluarga besar juga di sini semua."

"Ahh iya," kata Nara dengan dagu yang bergerak naik turun akibat menahan tangisnya.

"Kamu tidur gih, mau aku gendong ke kamar?" Arjuna tidak tega melihat Nara dengan mata sembabnya, ia ingin kekasinya mengistirahatkan tubuh dan pikirannya dengan segera.

fine line [END]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz