[ BAB - 34 ]

16.1K 1.6K 649
                                    


Bantu koreksi typo, ya❤

BAB 34 — Clear














Alam memutar Burgundy glass di tangan, kepalanya menengadah begitu seorang pria menarik kursi guna duduk di seberang meja. Ia menghirup aroma anggur yang terperangkap di dalam gelas, menyesap cairan dengan tenang.

“Saya telat?”

Si bapak dokter menggeleng. “Enggak, Ry. Mau pesen Wine?”

“Saya udah enggak minum. Pesen yang lain, aja.”

“Oalah, sama—saya udah enggak minum.”

“Enggak minum?” Ia menaikan alis, tertuju ke gelas yang dipakai untuk meminum Wine. “Itu ....”

“Minuman rasa anggur, saya ala-ala, doang. Biar keliatan keren.”

“Halah, Lam—yang bener.”

Alam terkekeh, “Saya udah enggak ngerokok sama minum, Ry. Belajar hidup sehat, supaya bisa hidup lama bareng istri saya yang usianya muda banget.”

“Pamer, nih? Jadi, saya sibuk—kamu perlu apa?”

“Istri saya hilang, kamu bisa bantu cari?”

“Istri kamu itu bukan termasuk warga saya, Lam— dia kependudukannya orang Jakarta. Masa kamu nyuruh pake jabatan saya buat nyari dia?”

“Ya, bantuin warga kamu yang menderita ini, dong, Ry. Saya pusing—”

“Ya, untung kalau istrimu di Banten? Kalau bukan?”

Oh iya ....

Benar juga.

Kenapa Alam tidak kepikiran sampai ke sana?

“Lagian ..., aneh banget. Kok iso bojomu ilang?”

“Bukan ilang, sih, melarikan diri. Karena, saya bikin salah.”

Haryanto berdecak, melihat Alam putus asa begini—pasti permasalahan rumah tangganya sudah gawat darurat. Berat sekali cobaan kawannya, padahal di fase awal pernikahan, Haryanto menjalani keseruan berbulan madu bersama istri.

Alam melipat tangan, ia menidurkan dahi ke lengan sebagai bantalan. Tak tega, Haryanto menepuk bahu bapak dokter tersebut, menyalurkan keprihatinan.

“Saya belum tidur ....”

“Istirahat, entar kamu drop.”

“Gimana saya bisa tidur? Saya enggak tau apa istri saya baik-baik, aja, atau enggak. Saya enggak tau beliau makan apa enggak—”

Memiliki pengalaman rumah tangga yang pahit, membuat Haryanto turut mengiba kepada Alam. Ia memahami betul, bagaimana pilu yang dirasakan sang sahabat. Meskipun, terbersit rasa jengkel jika mengingat Alam justru galau akibat perempuan lain, bukan adiknya.

“Bener, sih—sing sabar. Cobaan pernikahan emang berat, Lam.”

“Ry, kalau saya nangis, jangan diketawain, ya.”

Baru mendengar penuturan Alam saja, Haryanto sudah ingin tertawa.

“Iy—” Haryanto mengatup bibir. Bibirnya bergetar menahan tawa. “S-Semangat, Lam.”

“Saya tadi habis ketemu psikiater yang nanganin istri saya.”

“Terus?”

“Saya nanya, kemungkinan ke mana istri saya pergi, kali, aja—psikiaternya bisa nebak. Ternyata, saya dikasih info yang bikin saya makin stres.”

MY SOFTLY HUBBY [END]Where stories live. Discover now