4

176 31 0
                                    

Rumah sederhana yang nyaris seluruhnya terbuat dari kayu itu adalah salah satu dari sekian banyaknya bagian bumi yang langsung tersorot matahari pagi tepat setelah terbit ke permukaan. Memberikan rasa damai serta asri dengan hiasan bunga di pot tanaman yang tersusun rapi di halaman rumah.

Di jam 6 pagi, dapur rumah yang masih menggunakan kayu bakar itu sudah nampak mengepulkan asapnya yang menguap keluar melalui sebuah bagian yang sengaja tidak ditutupi genteng. Panci dan teko yang nyaris seluruh bagiannya sudah berwarna hitam karena interaksi langsung dengan api juga mengeluarkan asap, pertanda bahwa air serta lauk sayur untuk sarapan sudah hampir siap di hidangkan.

Wanita dengan rambut yang digelung melingkar itu membuka tutup pancinya. Dengan centong yang cukup panjang ia mengaduk sayur lodeh yang sudah siap untuk di hidangkan.

"Nang, tolong ambil mangkok ya." pintanya pada sang anak yang sedang menyiapkan teko kecil untuk membuat teh.

Pemuda berambut hitam itu mengambilkan mangkuk berukuran sedang dari dalam lemari berserta piring sebagai alasnya. Ia memegangi mangkuk itu agar sang Ibu bisa memindahkan sayur lodeh dengan lebih mudah.

Semua makanan sudah siap dan satu per satu semua makanan itu di bawa ke ruang tengah, tempat di mana si pemuda biasa makan bersama keluarganya.

"Panggil Bapak ya, Nang."

"Iya, Bu."

Pemuda bernama Rayan itu berjalan ke belakang rumah, tempat di mana Ayahnya kerap memulai hari dengan membereskan peralatan kerjanya.

"Pak, dahar sek." ("Pak, makan dulu.")

"Iya iya."

Rayan kembali masuk ke dalam rumah lebih dulu. Hari-harinya memang berjalan sangat biasa. Ia yang berusia 22 tahun menjalani kehidupan yang bisa terbilang datar.

Ia berasal dari kalangan keluarga menengah, penghasilan Ayahnya sebagai karyawan di toko mebel setidaknya cukup untuk makan, sementara dirinya berusaha mencari tambahan uang dengan menjadi loper koran dan juga penari.

Rayan sudah berkumpul dengan kedua orang tuanya di ruang tengah. Mereka menikmati sarapan sederhana ditemani hawa dingin dan sejuk yang masih terasa. Tak ada percakapan apapun saat makan, karena meski pun mereka adalah orang dari kalangan ekonomi menengah--menjurus ke bawah sebenarnya--tapi sang kepala keluarga menerapkan etika dan adab yang cukup keras pada istri dan anaknya. Apalagi Rayan adalah anak semata wayang, bagaimana ia bersikap akan sangat berdampak pada penilaian orang lain terhadap orang tuanya.

Selesai makan, Rayan langsung membantu Ibunya membereskan piring dan membawanya ke dapur.

"Biar Ibu saja yang cuci, Nang."

"Oh, yaudah Rayan berangkat sekarang ya Bu." pamitnya kemudian mencium tangan Ibunya sebelum pergi bekerja.

Rayan segera berjalan keluar dan sempat berpamitan pada sang Ayah yang juga akan berangkat kerja. Ia mengambil sepeda ontelnya yang ada di samping rumah, mengayuh pedalnya yang sudah sedikit berderit akibat karat untuk mengambil koran yang harus ia antarkan ke rumah pelanggannya.

Toko koran dan majalah tempat Rayan bekerja tidak terlalu jauh dari rumahnya. Setibanya di toko, ia langsung mengambil satu ikat koran untuk ia kirimkan.

Rayan pemuda yang sangat sederhana. Ia tak suka mengeluh dengan kondisinya yang kurang beruntung karena tidak bisa melanjutkan sekolah sejak SMP. Kondisi negaranya yang sudah lepas dari penjajah nyatanya tak membawa kemakmuran yang merata. Di bandingkan mereka yang hidup dalam limpahan harta, kebanyakan masyarakat masih harus berjuang hanya untuk makan satu hari, dan Rayan adalah salah satunya.

Si Lengger LanangWhere stories live. Discover now