20. Melewati Batas

3.7K 233 3
                                    

Perpisahan itu meninggalkan kesan yang mendalam bagi Nara maupun Bella, saling berbagi cerita tentang masa lalu membuat keduanya semakin dekat.

Pelukan ringan sebagai tanda waktu mereka bertemu telah sampai pada batasnya, keduanya berjanji akan saling menghubungi untuk sekadar memberi semangat menjalani hidup.

"Hidup lo harus berjalan bahagia, Ra."

Nara mengangguk dengan pesan yang Bella ucapkan. "Lo juga harus realisasiin keinginan ibu lo untuk hidup bahagia."

Bella tersenyum dengan jemari yang melambai membiarkan teman barunya melangkah menjauh.

Setelah tujuh hari kepergian, Nara memutuskan kembali ke Yogyakarta untuk menjalani kehidupannya, pamitnya dengan air mata dan juga Nara berjanji akan sering datang mengunjungi Bandung.

Faya juga kembali ke Jakarta dengan diantar Dean sedangkan Nara berada di Bandara ditemani Bella tentu saja tanpa sepengetahuan Dean.

...

Arjuna selalu menghubungi Nara di saat waktu lenggang, setiap malam ia lakukan panggilan suara untuk mengetahui bahwa keadaan kekasihnya baik-baik saja, sampai saat Nara menginfokan ia akan kembali ke Yogyakarta.

Minggu sore yang Arjuna tunggu dengan setumpuk rindu, ia langkahkan kaki untuk menjemput kekasihnya tersebut.

Senyum lembut tercipta menyambut Nara yang berjalan menuju dirinya, pelukan ringan meleburkan rindu yang teramat, kini kekasihnya telah terlihat di hadapannya kembali.

Ada malam saat Arjuna meminta kepada Nara untuk mengandalkan dirinya, meminta izin menjadi rumah untuknya pulang, Nara ingat bahagianya begitupun Arjuna yang mencatat jawaban dari wanitanya.

Ponsel yang tidak tersentuh menampilkan banyaknya panggilan tidak terjawab, sang pemilik tidak perduli ia hanya ingin meluangkan semua waktunya untuk kekasih yang masih merasakan kehilangan.

Setelah makan malam keduanya menghabiskan waktu dengan berbincang di atas kasur, Nara mulai menceritakan hari-hari yang lalu tanpa sedikitpun yang terlewati, tentang kenangan dan beberapa keinginan yang belum terwujud, juga tentang orang lain yang menanggung ketakutan dan penderitaan.

"Itu Bella?" tanya Arjuna.

Nara yang menggenggam jemari kelingking Arjuna kini ia angkat untuk sekadar melihat perbandingan kedua tangannya.

"Iya."

"Kamu kapan ketemunya?"

"Yang nemenin aku di Bandara kan Bella."

Arjuna mengangguk. Nara kembali menjadi narator untuk kisah hidup seorang Bella, cerita tentang kepergian yang memilukan juga tentang cara menghadapinya.

Kini ada rengkuhan yang Arjuna ambil, membiarkan kekasihnya merasakan hangat yang menjalar hingga ia rasa mata indah itu menutup dengan napas yang kian teratur.

Aroma rambut Nara membuatnya tenang, lima menit lagi dirinya berjanji akan meninggalkan kamar ini namun nyatanya waktu bergulir dengan cepat, satu jam sudah Arjuna tidak mengangkat tubuhnya dari kasur tersebut.

Setelah menyelimuti Nara, Arjuna bergegas keluar, mengambil ponsel yang ia letakan di meja depan dan kembali ke kamar miliknya.

Puput
Kalau baca chat aku
tolong telephone

Mengusapkan satu tangannya ke wajah, Arjuna bersiap untuk berbagai macam kata-kata yang akan ia dengar.

"Kemana si? Dihubungin susah banget." Suara perempuan terdengar di ujung panggilan.

Arjuna mendudukan dirinya di sofa ruang tamu. "Sibuk."

"Alesan, diminta pulang sama mama."

Arjuna mengingat kembali waktu yang berlalu, ia yang pergi tanpa persetujuan hanya untuk menemui Nara. Ditemani tatapan sinis yang Putri tunjukan untuk kakaknya, juga ada pandangan kecewa yang mama layangkan untuk kalimat yang Arjuna ucapkan tanpa basa-basi.

Penolakan kedua orang tua atas keputusan sepihak dengan alasan akan kesehatan juga keselamatan putra satu-satunya.

"Baru pindah, Put."

Putri tidak suka kakaknya saat ini, kakaknya yang egois pergi meninggalkan keluarga hanya untuk seorang wanita yang bahkan tidak mereka ketahui.

"Abang pergi tanpa persetujuan mama sama papa, Puput kena marah terus, pulang, bang!"

Ada rasa bersalah akan keputusannya namun tidak ada penyesalan yang tercipta.

"Nggak bisa sekarang, ayahnya cewek abang baru aja meninggal, abang nggak mau ninggalin dia sendirian."

"Itu bukan keluarga abang, Puput nggak perduli, abang mau pulang nunggu mama sama papa meninggal dulu?"

Arjuna marah dengan kalimat kasar yang adiknya lontarkan, tangan yang menyentuh pelipis mengharuskan ia untuk tetap berkata baik kepada adiknya.

"Kamu kalau bicara yang baik-baik aja kan bisa! Nanti abang pulang kok, abang akan jelasin semuanya ke mama sama ke papa."

"Bucin abang tuh nyusahin keluarga."

Arjuna terlampau lelah jika harus meladeni adiknya yang merajuk, ia paham kesalahannya namun ia juga menunggu waktu yang tepat untuk membereskannya.

"Abang pusing denger ucapan kamu yang kasar, abang tutup."

Arjuna senderkan kepalanya pada punggung sofa, hembusan napas yang ia atur agar mampu menenangkan pikirannya.

Entah seberapa egois dirinya yang tidak perduli akan ucapan orang tua, Arjuna ingat genggaman tangan yang meminta dirinya agar tetap tinggal ia lepaskan begitu saja, kalimat dengan nada yang tidak seperti biasa ia lontarkan, seorang pria yang tidak memikirkan perasaan perempuan yang telah melahirkannya, ia acuh akan kata mohon yang terdengar.

Apakah cintanya terlalu buta? Apakah ini jalan yang tepat untuk dirinya? Arjuna pandang layar ponsel yang menampilkan foto Nara yang tengah tersenyum manis.

Janji itu sudah terucap, seharusnya tidak ada ragu untuk kembali.

Nara tidak akan ia sakiti tetapi bagaimana dengan keluarganya? Jika nanti ia bawa Nara menemui mereka apa mereka akan menerimanya? Apa tidak akan ada sindirian-sindirian yang menyakiti hati wanitanya?

Terlalu banyak pertanyaan hingga membuat Arjuna memutuskan memejamkan kedua matanya, ia kubur pertanyaan yang akan dijawab oleh waktu itu.

fine line [END]Where stories live. Discover now