Cinta itu Luka

44 2 0
                                    

Azrina menoleh sebentar seraya tersenyum, tangan lentiknya ia arahkan untuk mengusap kepala seorang gadis berhijab putih dengan kacamata bertengger di atasnya.

Nadin baru saja keluar dari kelasnya dan langsung membentur-benturkan pelan kepalanya di atas meja kantin.

"Aku nggak nyangka jadi dokter perjuangannya harus sekeras ini," keluhnya. Gadis itu berganti posisi memangku wajahnya dengan tangan.

Siapapun yang melihat Nadin sekarang akan berpikiran sama seperti Azrina. Sahabatnya itu tampak sedang stres luar biasa.

"Semangat atuh! Kan ini cita-cita kamu dari dulu." Menginjak tahun ke-3 di Bandung membuat Azrina sedikit banyak sudah terbawa suasana menggunakan aksen sunda.

"Semangat? Afwan, ukhti, nggak dulu!" Tolak Nadin mentah-mentah yang dibalas kekehan oleh Azrina.

Bagi Azrina, Nadin bukanlah seorang yang mudah mengeluh dalam kondisi sesulit apapun. Jika dia sudah sampai menolak kata-kata penyemangat begini berarti level beban pikirannya memang sudah memenuhi batas tampungan.

"Mau refreshing nggak? Hari ini aku cuma ada dua matkul aja," tawar Azrina.

Gadis itu tampak menimbang sebentar tawaran Azrina. Namun, belum ada sepuluh detik berlalu Nadin sudah langsung menyetujuinya dengan cepat.

"Setuju!" sahutnya antusias. "Tapi kemungkinan aku baru selesai kelas habis asar Na," lanjutnya.

"Nggak papa, aku bisa tunggu di perpustakaan sambil ngerjain tugas buat acara LDK," balas Azrina.

Selain menjadi mahasiswi yang aktif di bidang akademik, Azrina juga kerap mengikuti kegiatan non-akademik bahkan sampai di luar kampus. Sudah sering gadis bermata indah itu menjadi relawan dalam event yang diadakan oleh LDK atau acara sosial resmi dari fakultas maupun kampusnya. Cita-citanya untuk terlibat langsung kegiatan-kegiatan kemanusiaan terwujud.

Menjabat sebagai bendahara membuat Azrina merasa mengemban amanah yang tidak mudah. Masalahnya mengurus tentang dana tidak boleh ada sepeserpun yang terlewat, baik dana masuk maupun keluar pertanggung jawabannya akan terbawa sampai akhirat.

"Oke! Kita ketemu lagi habis solat asar di gerbang kampus ya," katanya. "Sekarang aku mau beli es krim dulu buat ngademin kepala, rasanya otakku sudah mulai mengeluarkan asap."

Azrina hanya terkekeh melihat tingkah Nadin. Sisi imutnya yang seperti itu akan jarang terlihat kecuali di depan orang-orang terdekatnya saja.

Selepas asar mereka berdua benar-benar merealisasikan rencananya. Namun Azrina dibuat takjub karena Nadin membawanya ke tempat yang tidak Azrina duga sebelumnya.

Jika biasanya tempat favorit Nadin meringankan penat adalah perpustakan kota, taman, atau segala tempat dengan berbagai kuliner kesukaanya. Kali ini dua gadis itu sudah berada di tengah-tengah muslimah yang berjajar rapi di salah satu masjid termegah di kota Bandung.

Nadin membawa Azrina mengikuti kajian. Sepertinya berkumpul di majelis ilmu memang obat paling mujarab untuk membantu jiwa-jiwa yang sedang letih oleh urusan dunia. Terbukti wajah Nadin kini sudah berubah seratus delapan puluh derajat dari saat dia datang tadi. Bara semangat sudah kembali berkobar di matanya. Azrina tersenyum simpul. Bagaimanapun Nadin adalah sahabat titipan Allah yang paling ia syukuri keberadaannya.

Selepas kajian mereka memutuskan untuk mengisi perut yang sudah keroncongan. Sate maranggi menjadi menu pilihan. Udara yang dingin Khas Bandung dengan pemandangan langit jingga sore ini seolah ikut andil mendinginkan kepala dan perasaan. Dua cangkir sekoteng panas mengepulkan asapnya.

"Na, aku mau curhat," kata Nadin.

"Iya, ada apa Din?"

Nadin tampak mempertimbangkan apa yang akan dia katakan."Hmm.. nanti aja deh."

AzrinandaWhere stories live. Discover now