Bab. 16

44 10 0
                                    

"Perasaan, lo sering bawa lagu sad. Lagi nggak ada masalah, kan?"

Jeha menatap wanita di depannya sekilas, barulah menggeleng pelan seraya mencubit daging ayam kecap yang menjadi santap malam mereka di Kafe Lavender. "Kenapa, lo bisa mikir gitu?"

Wanita berambut pirang itu menyisir rambut pendeknya ke belakang, menguyah makanan cepat sebelum menjawab. "Ya, cara lo nyanyi terlalu menghayati seolah sedang berkeluh kesah lewat lagu dan itu bukan satu dua kali lo bawa lagu sad, tapi terlalu sering, ditambah, pandai sekali memainkan emosi lagu."

Itu benar. Bukan satu dua kali membawa lagu tema sedih, penghayatan sangat bagus sampai membuat para penonton ikut menitihkan air mata, bahkan Thalita pun ikut menangis padahal tipikal orang punya kadar sensitif rendah.

Jeha belum unjuk suara lantaran menelan makanan pun mencerna ucapan teman dekatnya mengenai berkeluh kesah lewat musik, benak mengiyakan. Baginya musik adalah therapy dikala ia dirundung sedih, lewat tarik suara Jeha bisa melepas beban tak kasat mata berujung sedikit melegakan hatinya.

"Septian. Si anti baper saja ikut nangis, gila si hati batu begitu masih punya perasaan juga, ya?"

Thalita menggeleng, tadi mendapati pria tegas, keras, lugas ikut merembes air matanya. Saat ditanya kenapa bisa ikut hanyut dalam lautan kesedihan, pria itu menjawab binatang kesayangan baru saja dipanggil Tuhan. Tentu Thalita tak percaya, sejak kapan pria batu begitu memelihara hewan, sudah jelas Septian gengsi mengakui perasaannya ikut sedih terbawa lagu yang dibawa Jeha.

Tersenyum getir menanggapi pernyataan si pirang. "Berarti, gue hampir mendekati profesional, pandai memainkan emosi kalian?"

Thalita mengangguk cepat. "Seperti apa kata gue, lo kalau bawa lagu India sangat menghayati. Jiwa lo emang ada di sana, mau bawa lagu pop pun, lebih hidup bawa lagu India."

Suara lembut Jeha berhasil menyentuh relung hatinya, dibuat hanyut dalam lautan sendu. "Tapi, ya itu. Lo baik-baik saja kan? Terlepas dari akhir ini lo sering bawa lagu India yang sad?"

Jeha berusaha menarik kedua sudut bibir ke atas walau sorot mata sendu menganga, kalau berhadapan dengan orang mempunyai intuisi tajam atau ahli psikologi pasti bisa ditebak antara bibir dan mata menunjukan rasa berbeda. "Baik. Gini ya, gue sering bawa lagu sedih setelah nonton Drakor Its okay to not be okay. Baper banget sampai kebawa ke lagu, Ta. Begitu," jelasnya mencoba mengecoh si pirang.

"Sad banget yah? Sampai temen gue yang yang lain rela marathon, itu, drakor?"

Thalita yang memang tak suka drakor alias tidak suka nonton drama karena realita tak bisa disamakan dengan drama televisi lebih sering menghabiskan waktu untuk bekerja atau berkunjung ke tempat wisata, mendaki gunung dan mencari pengalaman seru lainnya.

Jeha cukup mengangguk sembari melanjutkan makan malam.

"Oh, iya. Allen jarang banget sekarang main ke Kafe. Kabar dia sehat, kan?" Thalita pun memasukan makanan ke dalam mulut.

Tiba-tiba saja mengingat Allen, bukan tanpa alasan, pria itu juga sama-sama suka  lagu bollywood. Terlebih usai melihat penampilan Allen beberapa bulan lalu, ternyata pria itu tak sekadar pandai memasak, tapi juga pandai tarik suara.

Jeha tak langsung menjawab, terus menguyah makanan pelan. Bicara Allen, terakhir mereka saling kabar satu minggu lalu setelahnya ponsel pria itu tidak aktif. Diterka lebih dalam pasti sedang sibuk mempersiapkan pernikahan yang sebentar lagi dilaksanakan.

Hembusan napas keluar dari hidung mancung Jeha, dada terasa ditikam belati kuat-kuat, netranya pun mulai memanas, sesakit inikah ditinggal menikah oleh orang yang dicinta? Karena secinta apapun Allen padanya, Ibu lelaki itu adalah prioritas utama.

TAUT | Kim Mingyu✓Место, где живут истории. Откройте их для себя