P.A.R.A.H

12 4 0
                                    

Sebutlah dia Iwan.  Seorang anak remaja tanggung usia belasan tahun yang tinggal di kota Bandung.  Rutinitasnya hanya sebagai seorang pelajar biasa saja, tidak suka berorganisasi, berolah raga, bahkan bila ditanya apa cita-citanya, dia hanya bisa terdiam dan melamun seakan membayangkan cita-citanya hanya dibalik benaknya saja.

Suatu hari Iwan disuruh ibunya pergi ke warung.  Dia diperintahkan langsung untuk membeli sayuran, ikan asin, terigu, bawang merah dan bawan putih dan seperempat kilo minyak goreng.  Walau banyak diam, Iwan ini ternyata anak yang penurut.  Banyak remaja di seusia dia tidak mau disuruh-suruh apalagi jika harus pergi ke warung sayuran, bisa jadi dia akan lari terbirit-birit pergi menjauh daripada harus melakukan hal itu.  Mungkin karena fenomena yang ada bahwa di warung sayuran seperti itu terdapat banyak emak-emak yang sedang berbelanja dan kebanyakan dari mereka sering berbincang-bincang mengenai apa saja dengan gaya dan cara mereka yang unik.  Istilah jaman sekarang ini mah ngegosip.  Bagi mereka bergunjing atau bergosip bisa dijadikan sebagai sarana healing dari beragam rutinitas yang harus mereka hadapi.Ada yang tentnag sinetron, suasana di rumah mereka atau meneritakan aib atau kekeurangan  dari seseorang,

Tiba di warung sayuran ternyata apa yang selama ini sering terjadi malah sebaliknya.  Tiada satu orangpun disana hanya seorang gadis remaja yang berada di dalam warung.  Dia tampak sibuk membenahi barang dagangannya.  

"Pagi mas,"  belum sempat Iwan bicara, gadis itu sudah terlebih dahulu menyapanya.  

"Ada yang bisa bantu,  mau beli sayuran atau mau beli barang apa?" 

Iwan terkejut.  Gadis dihadapannya ini terus bicara bagaikan petasan merecon yang berterbangan kesana-kemari.

"Anu kak, saya disuruh ibu saya membeli semua ini," ujar Iwan sambil menyerahkan kertas yang sudah ditulis oleh ibunya.

"Oh..iya mas. Tunggu ya saya siapin dulu semuanya," ujar gadis itu dan segera bekerja mengumpulkan apa yang ada di daftar belanjaan itu.  Iwan hanya bisa memperhatikan gerakan gadis itu sambil berpikir betapa cekatannya dia, mungkin karena harus menghadapi para pelanggan ibu-ibu yang biasa berbelanja disitu.

"Ngomong-ngomong mas ini libur ya?" tanya gadis itu.  

"Ya. Eh tidak...tapi saya memang lagi enggak mau sekolah dulu.  Capek!," jawab Iwan.

"Walaah..enak banget mas, kalo dulu waktu saya sekolah SMA kayak si Mas, sudah kena damprat berbulan-bulan saya sama mbok saya,"

"Oh gitu ya, Mba.  Tapi disekolah saya lagi musim tawuran.  Malahan saya yang disuruh jaga rumah sama ibu saya, takut celaka katanya,"

"Nah..kalo begitu berarti ibunya Mas ini sangat sayang banget sama Mas, buktinya biar ngelanggar aturan yang penting orang yang disayang bisa selamat," ujar gadis itu sambil pergi ke belakang warung.

Sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal Iwan sedikit berpikir tentang apa yang sudah dibicarakan si Mba tadi.  Walau selama ini ibunya selalu bersikap tegas dan keras sama semua anak-anaknya tapi Ibunya selalu sayang kepada mereka.  Berusaha menjaga dan melindunginya dengan baik.

Tiba-tiba seorang ibu setengah baya kerluar dari balik pintu di belakang warung.  Dia berjalan menghampiri Iwan sambil tersenyum ramah.

"Oh...ada anaknya Jeng Wati toh.  Tumben kamu mau disuruh ibu kamu belanja kemari.  Biasanya untuk keluar rumah saja kamu jarang,".

Iwan hanya tersenyum malu. Tapi didalam hatinya, dia mengharap gadis tadi yang kembali untuk melayani pesanannya.  Walau tampak wajah desanya gaya bicaranya sangat disukai oleh Iwan.  Sempat dia mencuri pandang ke arah belakang pintu dan berharap gadis itu akan kembali. Tapi untuk beberapa menit kemudian gadis yang diharapkannya itu tidak kunjung keluar.

"Bu, tadi anak gadis yang melayani saya mana ya?" tanya Iwan sedikit malu.

"Duh...anak jeng Wati ini lucu...nanya-nanya anak gadis, kamu suka ya sama dia?"

"Eh...anu bu, saya cuma penasaran saja dia tadi lagi melayani dagangan saya, tiba-tiba masuk ke ruangan ibu sana dan tidak kembali lagi,"

"Tenang aja Wan, saya ngerti.  Nama anak itu Nia, anak perempuan pertama adik saya yang baru datang sebulan lalu dari kampung.  Niatnyan dia mau nerusin sekolah tapi setelah nyampe sini dia malah enggan untuk sekolah.  Enggak PD katanya,"

"Ohh..gitu," Iwan tampak penasaran.

"Tapi ya gitu lah namanya juga anak muda, suka mempunyai tingkah seenak dirinya saja. Tapi kamu dilarang deketin dia, Wan!" seru bu Jumiati, pemilik warung sauran ini.

"Kenapa emangnya Bu?"

"Soalnya...,".  

Belum sempat meneruskan kalimatnya Bu Jumiati segera menghentikan pembicaraannya saat tiba-tiba seorang laki-laki tua keluar dari balik ruangan belakang warung.  Laki-laki itu datang menghampiri sambil sesekali batuk.  

"Bu...Nia pengen bicara sesuatu sama ibu.  Dia mual-mual terus dan sering pergi ke kamar mandi, tolong dilihat dulu ya, Aku mau ke pak RT dulu," ujarnya dengan logat bahasa jawa.

"Inggih, Mas.  Tapi nanti ya setelah aku ngurus yang beli ini," jawab Bu Jumiati sambil kembali mengumpulkan barang yang dipesan Iwan.

Kemudian laki-laki tua itu beranjak pergi.  Sambil sesekali kembali batuk.

"Dia suamiku, Wan.  Baru datang sama Nia,"

Iwan mengangguk.

"Terus suami ibu menemui pa RT untuk ...,"  belum selesai Iwan meneruskan kalimatnya  Bu Jumiati sudah memberikan belanjaannya sambil berkata, "Dia mau membuat surat ijin tinggal untuk istrinya yang baru,"

"Oh...," gumam Iwan.  Tanggannya merogoh saku dan memberikan beberapa lembar uang kertas.  Dia memang paham setiap orang yang akan tinggal disuatu daerah harus meminta ijin kepada pa RT terlebih dahulu.

"Ijin tinggal buat istrinya," desis Iwan terkejut.  Dia baru menyadari bahwa bukannya Bu Jumiati ini adalah istrinya.  Dia kan sudah tinggal di daerah ini sejak lama lalu kenapa suaminya harus minta ijin tinggal untuk istrinya.  

"Bukannya Bu Jumiati ini sudah lama tinggal disini, kenapa suami ibu harus minta ijin lagi? ".  Iwan memberanikan bertanya.

"Buat Nia,".


CERITAKAN CERITA !Where stories live. Discover now