Refugees

56 10 2
                                    

Ketika Azalea membuka mata, wajah neneknya lah yang pertama kali dia lihat. Namun, raut sendu dan sedih di wajah neneknya kembali mengulang ingatan Lea. Hal itu membuatnya mual luar biasa. Lea kecil muntah-muntah tanpa henti hingga napasnya menjadi sesak, serta matanya berair.

Semua orang berusaha membantunya, tapi tidak ada yang berhasil.

"Apa yang terjadi padanya?"

"Apakah dia kena racun?"

"Tolong panggilkan dokter!"

"Yang bersamanya sudah ada tiga dokter!"

"Sayang, bisa kah kamu tenang?"

"Aku mohon tarik napas dalam-dalam,"

"Kamu tidak terluka. Kamu baik-baik saja!"

Suara orang-orang terus memenuhi telinga Lea, namun hal itu justru mengubah rasa mualnya menjadi tangis yang luar biasa. Bagaimana mungkin dia baik-baik saja setelah apa yang terjadi padanya?

Apakah ibunya baik-baik saja? Apakah ayahnya baik-baik saja? Apakah kepala ayahnya yang lepas bisa dipasang kembali?

Lea merasa seseorang memeluknya erat-erat, ikut menangis bersamanya meski hanya suara tangis Lea memenuhi udara. Suara-suara lain langsung teredam dan menghilang, membiarkan suara raungan anak kecil itu menggelegar dengan merdeka.

Kata ayahnya, menangis bisa membuat kesedihan di hati sirna. Namun, kenapa dada Lea justru semakin terasa sesak? Seperti seseorang telah menjejalkan batu besar di dalam perut, hati hingga tenggorokannya.

Kapan ayah dan ibunya akan datang untuk menenangkan tangisnya ini? Apakah tangisannya kurang keras hingga mereka tidak mendengar? Lea tidak tau. Seberapa pun keras dan lama dia menangis, dia tidak merasakannya. Langit biru dan luas dia atasnya pun bergeming seolah-olah waktu telah berhenti.

###

Lea tidak bisa makan, tidur, minum bahkan sering sesak napas tanpa alasan. Kengerian yang telah di saksikkannya juga membuatnya membisu. Lea diam saja saat neneknya menggandengnya menuju perbatasan Neotherland dan Dobuski, tidak berkomentar ataupun berbicara pada siapapun.

"Nyonya, akan lebih aman kalau kalian bersembunyi di Dobuski untuk sementara waktu," seseorang berbicara. "Kami memiliki seseorang yang bisa menjamin tempat kalian bisa bermukim. Dan kami juga akan menjamin kebutuhan lain yang kalian perlukan."

"Apakah kami bahkan tidak bisa menghadiri pemakaman putra dan anak menantuku?" Suara Yaya terdengar berat.

"Saya rasa... Akan lebih baik bagi Nona Azalea untuk tidak melihatnya," sambung yang tidak Lea kenal itu. Yaya melihat kearah Lea yang masih digandengnya sebelum mengangguk dengan air mata menetes. "Kami akan berusaha menang dan menjemput kalian secepat mungkin" pungkasnya, berjanji.

Tidak berselang lama, seorang lelaki paruh baya yang mungkin seumuran dengan ayah Lea datang. Pakaian yang di pakainya sangat lusuh, cocok untuk seseorang yang tinggal di daerah tepi yang terlupakan.

"Ini adalah Tuan Haris, saudagar dan pemimpin daerah yang akan anda tempati," ucap seseorang dari militer Neotherland itu. "Dia juga yang akan membantu menyiapkan surat-surat tinggal dan lain sebagainya."

"Baiklah. Terimakasih banyak, kolonel Sanders," jawab Yaya pelan.

Kolonel Sandres itu kemudian berjongkok, berusaha bertemu mata dengan Lea yang memandangi tanah dalam diam.

"Nona Azalea, bisakah kamu memandangku sebentar?" Suara ramah lelaki itu membuat Lea mengerling sejenak.

Ah, ternyata rambutnya pirang dengan mata biru yang jernih. Senyumnya juga tampak bersahabat. Andai Lea mau peduli.

"Saya harap, anda akan lebih kuat seiring dengan berjalannya waktu. Anda akan bisa melakukan banyak hal yang tidak bisa orang lain lakukan. Anda akan menghargai orang dengan cara yang lebih baik. Jadi, untuk saat ini, tolong bertahanlah!"

###

Satu tahun berlalu dan kengerian itu masih menghantui Lea setiap hari. Namun setidaknya, sekarang dia sudah mau berbicara dengan orang-orang tertentu, terutama neneknya.

"Lea, mau sampai kapan kamu bersiap-siap? Apa kamu tidak mau bersekolah?" Neneknya mengomel dari ruang tengah dimana gubuk semi-permanen yang mereka tinggali selama satu tahun ini.

Lea kecil menatap pantulan dirinya di depan kaca untuk yang terakhir kali. Mata bulat yang sekarang cekung dan menghitam di bagian bawah, pipi chubi yang dulu sering dicubit ayahnya kini menirus, dan rona merah yang kini benar-benar hilang. Bagi anak umur tujuh tahun, pastilah dia seperti mayat hidup.

"Azalea?"

"Ya, Yaya," jawab Lea kemudian, keluar dari kamar yang dipakainya berdua dengan neneknya untuk datang ke meja makan. Satu potong roti yang disiapkan neneknya sudah membuatnya kenyang hanya dengan memandangnya saja.

"Kenapa kamu tidak makan?" Neneknya bertanya dengan kening mengerut.

"Aku akan membawanya ke sekolah saja," jawab Lea. Bocah itu memasukkan roti tersebut ke dalam tasnya, namun sudah menemukan satu kotak makan asing berwarna merah disana.

"Yaya sudah menyiapkan makan siangmu. Apa kamu suka kotak makannya? Yaya membelinya di pasar tadi pagi dan sengaja memilih warna merah karena kamu suka warna itu. Anggap saja sebagai kado ulang tahunmu! Bagaimana? Kamu suka?" celotehan Yaya membuat Lea sesak napas. Namun, toh bocah itu diam dan menutup tasnya kembali.

Lea tersenyum tipis untuk menanggapi neneknya sebelum pamit pergi ke sekolah dasar terdekat. Tidak banyak siswa di sekolah itu, karena mereka yang tinggal di perbatasan kebanyakan adalah orang-orang tua.

Untuk sampai di sekolahnya, Lea harus melewati pemukiman penduduk, pasar rakyat, lapangan terbuka dan pemukiman penduduk lagi. Saat melewati lapangan, ada beberapa baris tentara asing yang baru kali ini Lea lihat.

Seorang tentara sedang dimarahi oleh atasannya, dan mereka sempat beradu pandang sebelum kemudian Lea membuang muka. Dia akan terlambat kalau tidak bergegas.

Di kelasnya, ada total 15 anak. Perempuan dan laki-laki belajar bersama. Lea memberikan bekal makannya pada seorang lelaki yang duduk di meja depan guru tanpa mengatakan apa-apa. Bocah lelaki itu menyeringai senang, sudah terbiasa mendapat makanan dari Lea.

"Apa kamu tidak akan makan lagi?" Bocah itu bertanya.

"Aku sudah kenyang," jawab Lea.

Seorang guru perempuan datang dan berkata kalau dia akan menggantikan Pak Thaif selama beberapa waktu, karena ibu Pak Thaif sedang sakit. Nama guru pengganti itu Latifa, dan mata sang guru segera tertuju ke arah Lea begitu dia selesai memperkenalkan diri.

Pembelajaran berlangsung seperti biasa, hingga disuatu saat, Bu Latifa berhenti di samping meja Lea untuk menanyakan kondisi bocah itu.

"Apa kamu baik-baik saja? Kamu terlihat sakit," katanya. Lea hanya mengangguk kecil, tidak mengeluarkan suara apapun. Lalu ketika jam makan siang, Lea kembali memberikan roti jatah sarapannya untuk anak lain yang lupa membawa bekal.

Guru baru itu menyadarinya dan membelikan Lea sepotong roti baru.
"Tidak apa-apa. Saya tidak lapar," ucap Lea kala itu, menolak.

"Tapi kamu perlu makan supaya sehat," guru itu menegur kecil.

"Saya tidak suka selai strawberry. Terimakasih untuk rotinya," kemudian Lea bergegas pergi untuk muntah-muntah. Dia tidak bilang kalau segala warna merah membuatnya ingat pada kejadian berdarah satu tahun lalu.

###




The Crown PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang