Bab 6

3.4K 160 3
                                    

Sejak tadi sore, bunda sudah mewanti-wanti ku untuk ikut dengan nya malam ini. Tapi prediksi ku mengatakan ada sesuatu yang tidak beres, bunda dan ayah pasti tengah menyiapkan rencana aneh untukku. Bagaimana tidak? Sikap mereka berdua tiba-tiba saja berubah seperti ibu peri dan bapak peri.

"Scha? Kamu udah siap kan?" Suara bunda terdengar dari balik pintu kamarku, bersamaan dengan ketukan yang mendarat di sana.

Dengan bermalas-malasan, aku membuka pintu kamarku.

"Lho? Kok masih pake piyama?" Tanya ayah yang sudah siap dengan pakaian formalnya.

"Mau kemana sih Yah, bun malem-malem gini? Discha banyak tugas kuliah hari ini." Tapi bohong, itu hanya alibiku agar aku bisa terbebas dari keramaian.

"Hari ini kita mau makan malam sama keluarganya Om Jerry dan Tante Yaslin."

Aku terdiam sejenak. Mulai menerka-nerka kira-kira para orangtua kami ini memiliki rencana apa?

"Makan malem? Sama Arlian? Seformal ini? Kak Yuda ikut, gak?"

"Udah, kamu jangan banyak tanya dulu. Sekarang kamu ganti baju, ya. Bunda sama Ayah tungguin di bawah."

Bunda mendorong pelan tubuhku kedalam kamar, lalu menutupnya kembali, detik kemudian, suara serap langkah kaki mulai terdengar menjauh dari kamarku.

"Bunda sama Ayah ngapain coba ngajak gue makan malam di luar segala, biasanya juga si Lian numpang makan disini." Sambil menggerutu, aku melesat menuju lemari pakaianku, meraih sebuah blazer dan rok plisket berwarna coffee. Tidak lupa hijab yang berjejer rapi disana.

Selanjutnya, aku menoles wajahku dengan riasan tipis, meraih tas kecil miliku lalu bersiap untuk menemui ayah dan bunda di bawah.

"Wiih, sepupu siapa nih? Cantik banget." Kedatangnku di sambut dengan pujian dari Kak Yuda.

"Mirip sama kamu ya, Ca." Ucap ayah sembari menatap jahil mama.

"Anak aku Ron. Jelas mirip lah. Udah yuk, takut telat."

**

"Kita mau kemana sih, bun? Makan malem dimana?" Aku membuka obrolan ketika kami telah berada di dalam mobil.

"Di kafe Menanti, Scha." Jawab bunda yang duduk di kursi depan.

"Emang harus banget di kafe ya? Gak bisa di rumah aja? Arlian juga biasanya kan numpang makan di rumah kita."

"Tapi kali ini beda. Udah kamu duduk manis aja, ya. Jangan tanya-tanya terus.

"Lo mending banyak-banyak berdoa aja deh, Scha." Celetuk Kak Yuda.

"Emang nya kakak tau, aku mau di apain?"

"Ya gak tau juga sih."

"Hh, gak jelas."

**

Setelah hampir setengah jam kami membelah jalanan jogja, tibalah kami di kafe Menanti. Sudah ada On Jerry dan Tante Yaslin disana, begitu juga Arlian yang--? Kok ganteng banget? Astaga, tidak! Itu pasti bukan Arlian! Itu pasti jelmaan nya Arlian versi ganteng nya.

Setelan jas yang di pakai Arlian benar-benar meningkatkan kadar ketampanannya menjadi 0,01 persen. Walaupun kesehariannya lelaki itu sudah tampan, tapi kali ini jauh lebih tampan.

"Ya ampun, Scha. Bisa-bisa nya lo muji-muji Arlian. Please, tenangin diri lo. Jangan sampe idung nya Arlian lepas gara-gara sok kegantengan." Aku kembali mesugesti hati dan pikiranku agar tidak terbawa perasaan oleh suasana malam ini.

"Udah lama?" Tanya ayah sembari berjabat tangan dengan On Jerry.

"Belum lama kok. Lo di jalan kena macet atau gimana?" Tanya Tante Yaslin sembari memeluk bunda. Mereka tetanggaan, tapi ketika bertemu atau berkumpul seperti orang yang sudah setahun tidak bertemu.

"Scha, kamu cantik banget sayang." Aku beralih menyalami tante Yaslin.

"Hee, makasih tante."

"Ganteng juga lo pake jas gitu." Ucap Kak Yuda memuji penampilan Arlian.

"Gue emang ganteng, kak. Lo nya aja yang baru sadar." Ya Tuhan, Arlian memang terlalu berlebihan dalam mengonsumsi kepercayaan dirinya.

"Hilih, gak usah di puji kak, nanti yang ada terbang dia."

"Lo juga cantik banget, Scha." Kini giliran Arlian yang memuji penampilanku.

"Lebay lo." Aku segera memalingkan wajah. Jangan sampe Arlian tau gue blushing, Plis!

"Kalo gitu langsung aja kita mulai makan malam nya, gue udah pesenin makanan spesial buat keluarga lo." Tante Yaslin pun mengajak bunda menuju sebuah meja yang telah di hias sedemikian rupa. Sementara itu aku membuntuti langkah bunda dan Tante Yaslin dari belakang.

Aku begitu menikmati makan malam kali ini, begitupun ayah dan bunda yang nampak bahagia bisa berbincang hangat dengan keluarga On Jerry.

"Jadi, Scha. Ayah sama bunda ajak kamu makan malam disini karena kita berempat mau ngomong sesuatu sama kalian berdua." Ayah membuka obrolan setelah mereka selesai mengobrol.

"Ngomong apa, yah?" Tanyaku, penasaran.

"Iya, emang nya nggak bisa ya ngomongin nya di rumah aja? Emang nya harus ya sambil makan malam segala?" Sahut Arlian.

Kak Yuda hanya mengangguk seakan membenarkan ucapan Arlian.

"Sayang, mama sama papa udah mutusin buat jodohin kamu sama Discha."

"HAH?" Aku, Arlian dan Kak Yuda mengucapkan kata yang sama. Kami benar-benar terkejut atas ucapan Tante Yaslin barusan.

"Pantesan aja, waktu itu Yuda gak sengaja ngegepin Arlian sama Discha mau Ci--"

Aku dan Arlian segera menutup mulut ember Kak Yuda, kalau tidak--

"Ci apa?"

"Ci? Ci-ci-cicak ma, duh pokoknya panjang ceritanya."

Kak Yuda menyingkirkan tanganku dan Arlian dari mulutnya.

Sementara para orangtua hanya menatap bingung ke arahku dan Arlian.

"Oh, ah iya satu lagi, malam ini kalian tukar cincin ya, mama udah siapin kok."

"HAH?? TUKAR CINCIN??" Untuk kedua kalinya aku dan Arlian kaget berjamaah.

"Iya, dan dua bulan lagi, kalian harus sudah menikah."

"HAH??? NIKAH?"

"Bun tapi, Discha masih kuliah. Arlian juga belum kerja, mau di kasih makan apa aku sama dia?" Aku harus meminta keadilan atas perjodohan sepihak ini.

"Iya, Ma. Arlian juga gak akan sanggup ngasih makan Discha yang makannya kayak orang kuli begini."

Aku melemparkan tatapan mata tanda dimulainya sebuah peperangan ke arah Arlian.

"Ar, kamu kan bisa kerja di perusahaan Kakek." Tante Yaslin bahkan menjawab dengan begitu santai sesuatu yang seharusnya di bahas secara serius.

"Keputusan kita berempat sudah bulat, kalian akan tetap bertunangan malam ini, dan menikah dua bulan lagi."

---

Batas TemanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang