22

23 15 0
                                    

"Lanjutkanlah perjalanan melalui bayangan dan carilah kebenaran di antara malam yang gelap."

ִ ֹ ─── 𐘃 ─── ۫ ۪

Eve tidak mengangkat pedangnya. Dia mengepalkan tangan kiri nya dengan erat, menciptakan kekuatan di dalamnya sebagai ekspresi dari rasa kesal atau kemarahan yang berkobar di dalam dirinya. Jari-jari yang rapat menunjukkan tegangnya emosi, dan kulit di sekitar jarinya mungkin memucat karena tekanan. Pandangan matanya berkilat, api kemarahan yang berkobar di dalam dirinya. Gaya tubuhnya memancarkan ketegangan, menjadi penanda jelas dari perasaan yang melonjak-lonjak di dalam dirinya.

Eve menggertakkan giginya. "Pria sok berkuasa sialan. Awas saja kau," desis Eve

Matilda menoleh ke Eve, menyadari bahwa Eve telah dikuasai oleh api kemarahan. Matilda mengeluarkan suara lembutnya dengan senyuman gugup yang lucu. "A-ah ... sabar! Eve!" ucap Matilda yang berada di samping Eve.

Matilda berada di antara Eve dan Emilia. Eve melihat Emilia yang ikut-ikutan mengangkat pedangnya. "Emilia! Apa maksudmu?!"

Emilia tidak menggubris Eve. Dia terlalu fokus tenggelam dalam pikirannya. "Arthur juga ...? Apakah kebenaran akan benar-benar terungkap? Apakah sudah sejauh ini?" gumam Emilia.

Sementara itu dalam keadaan panik, Arthur terlihat gelisah dengan keringat yang menetes dari dahinya. Ekspresi wajahnya mencerminkan kecemasan yang mendalam. Tetes-tetes keringat yang turun dari dahinya menggambarkan intensitas situasi yang membuatnya merasa tak terkendali. Setiap nafas yang diambilnya terasa berat, dan napasnya cepat.

"Ah! Kacau!" batin Arthur, berteriak di dalam hatinya sementara tubuhnya membeku.

Namun, Mirko yang memegang kekuasaan Pasukan Khusus, tidak melakukan apa-apa. Karena Frederick terlihat baik-baik saja dengan hal itu, terutama, Frederick sudah tahu ini lebih dulu. Mirko tahu jika Arthur berbahaya, Frederick pasti akan membunuhnya terlebih dahulu.

Tetapi, begitulah Frederick. Dia hanya berdiri tenang di antara banyaknya anggota yang sedang was-was dan terheran-heran. Aneh.

"Penyihir patut dibunuh." Kata-kata lantang dari salah satu pria yang berada di barisan depan, serasa menusuk Arthur. Sayangnya, kebanyakan anggota menyetujui perkataannya.

"Ya! Itu benar!"

"Benar!"

"Dia ada benarnya," ujar Ruth.

"Tapi-"

Arthur hendak membuat alasan yang meyakinkan mereka semua. Tetapi, ucapannya terpotong. Dengan keanggunan yang seperti tarian maut, Ruth menghunuskan pedangnya ke arah Arthur, seolah mengiris waktu dan ruang itu sendiri, menyeret mata pedangnya melewati angkasa dan menandai jejak langit. Pedangnya bersinar menyilaukan, memotong angin dengan kecepatan yang menyentuh batas kemungkinan, seolah-olah cahaya matahari merayap keluar dari ujung bilahnya.

Frederick melihat hal ini. Matanya menyipit, lalu dengan cepat menangkis pedang Ruth dengan tangannya dan menggenggam ujung pedang itu. Hal ini membuat tangannya meneteskan darah yang tidak sedikit. Namun, wajahnya tetap saja, tanpa ekspresi. Dia melakukan ini demi melindungi keselamatan Arthur.

"Siapa yang menyuruh kalian mengangkat pedang itu? Kita membawa pedang hanya untuk berjaga-jaga jika monsternya terlepas dari rantai. TURUNKAN!" perintah Frederick dengan suara yang tegas dan lantang. Suara autoritatifnya tak terbantahkan, membuat semua anggota, termasuk Ruth segera merespon dan mengikuti perintahnya. Di balik suara yang tegas itu terkandung daya kepemimpinan yang memimpin dengan keberanian dan ketegasan.

Arthur masih membeku ditempat, siapa yang menyangka kapten yang dikenal tidak punya hati itu akan melindungi dirinya? Arthur butuh waktu untuk memproses semua ini.

Frederick menatap telapak tangannya yang berlumuran darah, menetes perlahan ke tanah dengan pelan.

Ternganga, Eve tidak menduga atas tindakan Frederick yang melindungi Arthur. Eve seakan ingin membuang rasa kesal dan rasa marahnya yang disebabkan oleh Frederick.

Matilda mencondongkan tubuhnya ke arah Eve. Matilda tersenyum lembut sebelum mengatakan, "Eve lihat kan! Kapten Frederick melindungi Arthur, loh!"

"Ya ... aku melihatnya," balas Eve dengan suara pelan.

Frederick melirik Mirko dengan lirikan tajam khasnya. Mirko tahu Frederick sedang memberi kode. "Barisan dibubarkan! Penelitian akan dilanjutkan nanti," seru Mirko dengan lantang, sehingga semua anggota mulai berjalan menjauhi area itu.

"Arthur, tunggu disini dulu," lanjut Mirko, tetapi kali ini dengan suara yang cukup pelan.

"Baik."

Hanya tersisa Frederick, Mirko dan Arthur yang berada disana.

"Tanganmu terluka, Frederick."

"Aku tahu, aku tidak buta," jawab Frederick pada Mirko.

Mirko menghela nafas. "Maksudku, kamu baik-baik saja?" tanya Mirko.

"Ini cukup sakit, Mirko."

"Saya bisa membantu anda."

"Arthur, ikuti kami," lanjut Mirko.

Frederick dan Mirko berjalan berdampingan sementara Arthur mengikuti langkah santai Mirko dan Frederick dari belakang. Arthur tidak tahu mereka akan menuju kemana, tetapi apa salahnya mematuhi kata-kata dari atasan?

Hingga akhirnya, ditengah keheningan dalam langkah mereka, suara erangan kesakitan dari Frederick memecahkan suasana hening. Arthur tidak bisa menahan rasa terkejutnya, ternyata Frederick juga bisa mengerang seperti itu?

Mirko menoleh ke belakang dan melihat ekspresi Arthur yang mencerminkan keterkejutan dan mulut Arthur yang terbuka. Mirko hanya terkekeh.

"Kapten regumu juga manusia," kata Mirko. Mirko mengangkat tangannya dan meletakkannya pada kepala Frederick, mengacak-acak rambutnya.

"Mirko!" tegur Frederick, suaranya berbeda, cukup lembut. Frederick tidak ingin kehilangan aura nya yang terbilang 'dingin dan keras' didepan anggota regunya.

Arthur tidak mempercayai apa yang terjadi di depannya. Tunggu, kedua komandan Pasukan Khusus bersikap seperti ini? Ini momen langka!

Tak lama, mereka berdua sampai di tenda medis yang lusuh itu. Mereka bertiga memasuki tenda.

"Yah, obat-obatan yang dibawa oleh penjaga gerobak pasti sudah ditaruh disini," gumam Mirko.

Di dalam tenda itu hanya ada beberapa kebutuhan seperti perban, kapas, dan lain-lain. Sementara bagian bawahnya masih beralas tanah yang lembab dan dingin.

Mereka bertiga duduk di bawah selama beberapa menit setelah luka Frederick dibersihkan oleh Mirko. Arthur menyadari ini adalah waktu yang tepat untuk berterimakasih.

"Kapten Frederick, saya hanya ingin berterimakasih karena anda telah menghalau pedang milik wanita itu, saya meminta maaf jika anda terluka seperti ini."

"Bukan masalah besar," jawab Frederick dengan suara tanpa emosi. Sangat kontras dengan hal yang baru saja dilihat Arthur saat mereka menuju ke tenda medis.

"Arthur, saya tertarik dengan fakta yang baru terungkap," sela Mirko.

"Bagaimana jika kita ke gunung itu dan menemukan kebenaran? Ingatanmu tidak salah lagi. Saya yakin akan hal itu. Tolong gunakan kesempatan ini untuk umat manusia, Arthur. Mungkin hanya kamu yang bisa menuntun kita mengungkapkan kebenaran. Bantu kami, tolong," mohon Mirko.

"Dengan senang hati, kapten!"

"Bagaimana kamu bisa melihat ingatan ibumu?" tanya Mirko.

"Saya kurang tahu mengenai hal itu, ingatan ibu tiba-tiba muncul."

"Apakah kita akan bergantung pada orang yang bahkan tidak tahu apa maksud hal yang dia sampaikan?" sela Frederick.

"Umat manusia bisa saja tertolong karena kamu, Arthur! Tolong!"

Dendam Eve Pada Penyihir [TAHAP REVISI]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant