7. Hujan

469 87 61
                                    

Hari pertama MOS nyaris usai, semua siswa sekarang berbaris di lapangan, mengikuti upacara penutupan. Hema berdiri di sisi Nata dengan keringat membanjiri muka. Matahari di atas sana memang sedang terik-teriknya. Sementara Jere dan Reyhan tampak kegerahan di sebelah kanan, tersekat empat baris peserta lain dari Hema.

"Gerah pisan," keluh Nata, nyaris tak terdengar. Keadaan wajah pemuda itu tidak beda jauh dengan Hema; banjir peluh. Nata melirik sekilas ke sisi kiri, didapatinya Hema bergerak gelisah di posisi berdirinya sambil sesekali curi pandang ke sebelah kanan. Nata ulas senyum jenaka, tahu objek yang bikin Hema tak fokus. Ia menyenggol pelan lengan Hema demi sita atensinya, dan ketika Hema menoleh, Nata berbisik, "Maneh serius naksir Thalia? Jangan sampe atuh, Hem. Masa gak ngelihat gimana sukanya si Jere ke dia? Nggak boleh saingan sama temen sendiri, entar ngaruh ke pertemanan kita."

"Ya emang kenapa, sih?" Hema benahi sejenak topi besek yang sedari tadi tak mau diam, melorot terus tutupi mata. "Ini enggak kayak aku mau rebut pacar orang, kan mereka cuma temenan, Na."

"Ya udah."

"Ya udah apa?"

"Aku ikut naksir dia juga, deh. Mau ikut saingan secara sehat juga bareng kalian." Nata nyengir sampai terlihat deretan giginya yang rapi, setelah dapatkan dengkusan dari Hema, ia pun mengembalikan fokus ke depan.

Sementara Hema, dalam posisi kepala menunduk, diam-diam menyungging senyum penuh arti. Dulu, konversasi barusan juga terjadi, Hema tanggapi persis seperti tadi; mendengkus geli. Cuma, sekarang dengkusan tersebut punya makna yang berbeda. Kalau dulu ia bereaksi demikian lantaran geli dengan obrolan itu sendiri, kini ia geli sebab memgetahui Nata tak akan betulan mengejar Thalia ke depannya. Dua hari lagi, setelah kelas dibagikan dan empat pemuda itu serta Thalia masuki kelas yang sama, yaitu IPA 2, Nata akan bertemu Widia; si gadis manis yang juteknya minta ampun, yang bakal menjadi partner adu bacot Nata, dan di masa depan jadi istrinya.

Hema kembali menegakkan pundak, lalu menengok ke kanan. Di sebelah sana, di antara barisan para peserta, Hema menemukan Thalia tampak begitu bersinar meskipun sedang kepanasan. Bulir keringat menuruni pelipisnya, tak sampai ke dagu sebab jemari lentik perempuan itu keburu menyekanya. Oh, Hema terkesima. Jadi begini rasanya berterus terang perihal rasa sejak hari pertama. Duh, Hema iba pada diri sendiri yang dulu malah menyia-nyiakan kesempatan tersebut.

Sekarang Hema sebenarnya sedang menunggu satu momen. Sekali lagi, ia menjadikan ingatannya di masa lalu sebagai pegangan. Jika tidak meleset, sebentar lagi kegaduhan bakal terjadi di barisan Thalia. Maka Hema mulai menghitung, satu ... dua ... tig— bruk!

Thalia tumbang, praktis menciptakan kegaduhan. Dua panitia MOS yang siaga berjaga di belakang barisan pun lekas mendekat, membawa Thalia di tandu menuju ruangan kesehatan. Dulu, Hema cuma celingak-celinguk sebab tak tahu siapa yang tubuhnya menghantam tanah dan timbulkan suara gedebum nyaring yang seketika pecahkan sunyi di sepenjuru lapangan. Namun, kali ini Hema tahu, itu Thalia, maka Hema pun buru-buru sandiwara.

"Pusing, Na," kata Hema dengan nada suara dibuat semelas mungkin. "Aku gak kuat deh kayaknya, mau pingsan."

"Eh? Seriusan?" Nata panik, pegangi lengan Hema yang sudah condong ke arahnya. "Ke belakang aja atuh, Hem."

Jika Hema hanya mengeluh pusing saja, kemungkinan ia bakal berakhir disuruh duduk di belakang, istirahat di bawah naungan pohon berdaun rindang. Tidak, bukan itu maunya. Hema mau menyusul Thalia, jadi ia harus pingsan juga supaya dibawa ke ruang kesehatan. "Na—" Sandiwara kembali dimulai; Hema sempoyongan ke sisi Nata, dan sebelum Nata sempat memanggil panitia MOS di belakang sana, tubuh Hema lebih dulu merosot jatuh. Gaduh kembali menginterupsi upacara yang tak khusu-khusu amat.

[✓] Second ChanceWhere stories live. Discover now