1. KEJUTAN

27 5 0
                                    

Suasana mal sangat ramai membuat Dena sulit bergerak. 
"Sebenarnya ada apa, sih? Kayak ada artis lewat, aja!" gerutu Dena sambil menenteng tas slempangnya ke depan demi keamanan. Niat jahat orang bisa muncul saat ada kesempatan, kan. 

Belum juga selesai menggerutu, Dena sudah melotot melihat aktor terkenal dari Korea berjalan dari kejauhan. Dena semakin terdesak dengan kedatangan gerombolan remaja seusianya yang terus saja mendorong ke depan. Dena juga suka KPop dan nonton dramanya, tapi tidak se-ekstrim ini juga. 

Dena tak bisa menahan tubuhnya lagi. Dia sendiri sudah mepet ke batas bodyguard yang melindungi si aktor. Sial bagi Dena, dia limbung dan terhuyung ke arah depan. Bodyguard yang paling dekat dengannya telat bereaksi, sehingga tak mampu mencegah insiden jatuhnya Dena. 

"Are you ok?"  Ya Tuhan, si aktor itu sampai berhenti dan menghampiri. Situasi nyaris tak terkendali. Beruntung security dan bodyguard bisa mengatasi insiden tak terduga yang terjadi. Meskipun Dena bukan salah satu penggemar, tetap saja terpesona dengan ketampanan paripurna seorang idol. Mana wangi, pula. 

Seseorang langsung mendekat dan membantu. Dia berbicara dalam bahasa Korea dengan si aktor. Sepertinya si aktor harus pergi, tidak mungkin akan tinggal lebih lama demi dirinya, kan. 

"Maaf, dia harus segera ke lokasi acara karena dikejar waktu. Anda akan dibantu anak buah saya ke rumah sakit terdekat. Jangan khawatir, biaya akan kami tanggung." Salah satu pria dengan jaket bertuliskan official menggantikan posisi aktor tadi. 

Dena masih ngelag, dia akhirnya sepenuhnya sadar, setelah mendengar kalimat mas-mas Korea tadi, sepertinya kru dari rombongan si aktor. 

"Ooh, nggak perlu. Saya baik-baik saja. Saya nggak luka dan bisa jalan. Thank you." Dena segera beranjak pergi, dia hanya ingin segera menyingkir dari kerumunan itu. 

Di tempat parkir, Dena masih tidak mempercayai apa yang menimpanya tadi. Entah, sial atau justru keberuntungan, yang Dena pikirkan dia bersyukur tak ada yang sakit atau luka. Kalau sampai terkilir atau semacamnya, itu akan sangat merepotkan. 

Mendadak tatapannya tertuju ke satu arah. Ada sosok tak asing sedang berdiri bersama si aktor tadi, bersama beberapa orang lainnya. 

"Dia bukannya Kak Rega?" gumam Dena sambil mengamati lebih dekat. Tanpa sadar langkahnya semakin dekat sehingga tertangkap mata oleh orang yang menyuruhnya ke rumah sakit tadi. 

"Agashi! Oh, maaf Nona, Anda bukannya harus ke rumah sakit?" Tindakan orang itu mengundang perhatian banyak orang, termasuk Rega. 

"Tidak perlu, saya baik-baik saja. Terima kasih, saya Permisi!" Sambil membungkuk sebagai tanda kesopanan Dena langsung pergi.

Lebih baik segera menyingkir dari sana. Peristiwa tadi akan jadi sangat memalukan kalau Rega tahu. Kenapa? Karena Dena menyukai cowok itu. 

Dena Naratama siswi kelas X di SMA Citraloka 7, menyukai Regadipta—kakak kelasnya—yang sekarang menduduki kelas XI. Perasaan yang mungkin dimiliki hampir semua siswi di sekolah, karena kharismanya yang cool dan tampan. Tapi soal nilai akademis, kabarnya masih di level rata-rata. 

"Tunggu!" 

Langkah Dena terhenti lalu berbalik. Betapa terkejutnya karena orang yang berdiri di depannya sekarang adalah seorang Regadipta. Sejenak Dena bengong dan tersesat di dunianya sendiri. 

"Hei! Kepala lo nggak kebentur, kan?" 
Rega mengibaskan tangannya di depan muka Dena yang malah melamun. 

"Hah? Apa, Kak? Oh … hmm … maaf gue sedikit pusing, aja. Tapi nggak kebentur, kok! Aman." Dena salah tingkah tak karuan. Sampai masih sempat berdoa supaya tidak salah bicara di depan gebetan. 

Rega menghela napas lega. Cewek di depannya ini baik-baik saja. Pak Galih—papanya Rega— dengan sedikit paksaan, minta Rega memastikan tak ada masalah serius dengan Dena. 
"Yakin? Lo mau ke mana? Mau gue pesenin taksi?" 

Gue pikir lo mau nganterin gue, Kak. Ternyata gitu, doang. Dena sedikit kecewa dengan fakta itu. Bahkan si aktor dan bodyguard-nya tadi tampak lebih tulus mengkhawatirkannya. Hh, tapi belum pasti juga, mungkin karena terjadi di depan banyak orang. 

"Nggak perlu, Kak! Gue bisa pesan sendiri nanti di depan. Gue pergi duluan!" Tak perlu menunggu Dena langsung berbalik. Keinginan untuk berlama-lama bersama Rega harus ditahan. Jangan sampai Rega tahu tentang perasaannya. 

***

"Harusnya tuh, lo coba nyatain perasaan ke Kak Rega."

Kedua alis Dena langsung bertaut begitu mendengar saran Prasti. Yang benar saja, masa cewek duluan yang nembak. 

"Saran lo nggak masuk akal buat gue. Punya rasa suka aja, gue udah ngerasa nggak bener. Kak Rega bagai langit, gue …." 

"Dan lo awannya," sela Prasti gemas. "Kalo belum nyoba, jangan nyerah duluan." 

Prasti selalu jadi sahabat yang tak pernah pergi meski Dena sedang jatuh. Dia tipe orang yang berani dan selalu tahu apa yang dia mau. Tanpa ragu, kalau dia yakin benar tak selangkah pun mundur. Makanya jangan heran kalau dia kasih saran Dena untuk nembak Rega lebih dulu. Karena dia menganggap hal itu bukan masalah.

"Gue bukan lo, Pras. Kalo perasaan gue ditolak, gue nggak yakin masih punya muka datang ke sekolah." 

Prasti sadar dia tidak bisa memaksa Dena untuk menuruti sarannya. Ia hanya ingin Dena merasa lebih baik. Seringkali dia melihat sahabatnya itu murung saat Rega dekat dengan seseorang. Tanpa tahu apa hubungan mereka, Dena sudah pasang tampang kusut. Kenapa Rega tak pernah melihatnya, ya, karena tidak tahu kalau Dena menaruh perhatian lebih. 

"Ya, udah. Gue cuma kasih saran. Kalo lo nggak setuju ya, nggak apa-apa." 

Situasi kelas jadi hening seketika setelah bel masuk dibunyikan. Pelajaran pertama sudah jadi favorit Dena. Berbanding terbalik dengan teman-temannya yang menjadikan Matematika sebagai pelajaran terseram. 

Pendapat ini dirasakan juga oleh Rega. Dia paling tidak suka pelajaran Matematika, tetapi Galih memaksanya masuk jurusan IPA. Meski kesulitan dengan pelajaran hitungan, Rega bertahan demi mamanya. Kalau dia membuat masalah, maka akan terjadi keributan di rumah. Lalu mamanya yang akan jadi sasaran semua tuduhan. 

Bel tanda waktu istirahat dibunyikan. Rega langsung ke tempat biasa dia nongkrong dengan teman-temannya. Salah seorang bernama Jay menyodorkan sebatang rokok, tapi ditolak. 

"Kalo ada yang ngerokok, gue pindah dulu, deh!" Bukannya sok atau apa pun itu. Rega tidak pernah melarang temannya merokok, tapi dia juga tidak mau dipaksa untuk menyukai rokok dan asapnya. Dia benci segala hal tentang rokok. 

"Sori, Bro! Gue lupa, udah lo di sini, aja. Gue yang pindah." Jay langsung mojok ke sudut lain. 

Keseruan obrolan mereka terhenti tiba-tiba karena kedatangan Cindy. Rega menangkap masalah akan terjadi, tanpa banyak omong dia menyuruh cewek itu mengikutinya. Tangan Cindy yang ingin menggenggam tangannya, langsung ditepis. 

Setelah sampai di lorong menuju gudang olah raga Rega berhenti. Di sana cukup sepi di jam istirahat begini. 

"Mau ngomong apa lo?" 

"Kak, jangan putusin gue. Kita kan baru jadian seminggu, salah gue apa coba?" Cindy memohon sambil terus berusaha meraih tangan Rega. 

"Gue udah bilang sama lo, kita putus. Kurang jelas? Alasannya apa ya, karena gue udah bosen sama lo, tingkah lo, dan kesombongan lo. Clear?" 

Rega merasa sudah cukup berbicara dengan adik kelasnya itu. Tanpa kasihan, tanpa peduli dengan tangis Cindy, Rega berbalik. Tangan Cindy yang menahan lengannya ditepisnya dengan kasar, sampai cewek itu nyaris terjatuh. Panggilannya pun tak digubris sama sekali. 

Tak ada yang menyadari, di dalam gudang olah raga ada seseorang yang shock melihat kejadian itu. Dena menutup mulut, masih tak percaya dengan penglihatannya. 

BERSAMBUNG

Duh, gimana ini? Belum juga nyatain udah lihat kejadian tak terduga.

Thak you for reading, see you on the next chapter.



(Bukan) Cinta SempurnaWhere stories live. Discover now