Chapter 03

6 4 0
                                    

Setelah tamu tersebut pergi dan tinggal mereka berdua, mama menatap Sharen, “Kak, nggak usah ikut study tour, ya?” ujar mama.

Sharen terdiam, sebelum menggeleng pelan. “lihat kondisinya sekarang, kak. Mama juga nggak bisa mendampingi,” ujar mama.

“tapi aku pengen ikut, ma,” Sharen menyahut pelan.

Mama terdiam. Bapak—kakak laki-laki mama yang seringkali diminta tolong oleh orangtuanya untuk mengasuh Sharen ketika mereka sedang sibuk yang membuat Sharen ikut-ikutan memanggil pak de dan bude nya dengan panggilan bapak ibu seperti kakak sepupunya—yang mendengar pembicaraan mereka memutuskan untuk mendekat, “ada apa?” tanya bapak.

Melihat mama yang tak ada niat untuk menjawab, Sharen bersuara, “aku pengen ikut study tour,”

Mengerti kondisi, “bapak temani, mau?” tawar bapak.

Mama menoleh, menatap Sharen yang terdiam, “nggak usah ikut to nduk, nduk,”

“Ma,” Sharen protes.

“Mama nggak bisa anter kamu study tour, sama bapak, ya?” ujar mama.

Belum sempat Sharen menjawab, mama kembali berdiri dan menyambut tamu yang baru saja datang. “sama bapak aja, gapapa nggak usah ngerasa nggak enak, orang sama bapaknya sendiri kok,” ucap bapak.

Sharen menarik pelan ujung baju mamanya, meminta atensi, “ma, aku ikutan sama bapak aja,”

“Beneran gapapa?” tanya mama. “atau nggak usah ikut?”

Sharen mengangguk, “gapapa, sama bapak sama bude,” jawabnya.

Bude yang sedang duduk tak jauh dari tempatnya dan berbincang dengan tamu sontak menoleh, “kenapa?” tanya bude mungkin merasa terpanggil.

“Ini lho, Sharen tetep mau ikutan study tour sementara aku kan nggak bisa mendampingi,” mama menjelaskan ketika bude sudah mendekat dan duduk di samping mama.

“Ya, enggak apa-apa, nanti biar sama tak dampingi, sama bapak,” ujar bude.

Setelah diizinkan mama untuk tetap mengikuti kegiatan study tour ke Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), menjelang siang sekitar jam sembilan mereka termasuk mama pulang ke rumah.

Dirumah, Sharen dibantu oleh bude menyiapkan keperluan yang akan dibutuhkan selama study tour, sementara mama yang dalam masa iddah-nya berada di rumah dan menerima tamu yang terus berdatangan untuk mengucapkan bela sungkawa.

•••

Pukul sembilan malam, rombongan bis yang Sharen tumpangi berangkat dari sekolah. Tangannya melambai melalui jendela kepada sang mama yang masih tetap pada posisinya seraya menunggu keberangkatan Sharen.

Kendaraan perlahan melaju dengan kecepatan sedang membelah jalan raya, mengucapkan salam perpisahan kepada orang-orang yang ada di sana.

Tak terkecuali mama yang Sharen perhatikan langsung beranjak pergi seusai melambaikan tangan.

Karena posisi tempat duduk yang berada di dekat jendela, membuat Sharen bisa memandang gelapnya langit malam tanpa bintang-bintang yang bertebaran, dan juga kilau lampu kendaraan yang mengganggu indra penglihatan.

Terlalu lama memandangi jalanan yang sepi, Sharen menguap kecil dan menyenderkan kepalanya di bahu bapak.

“Kepalanya taruh sini,” Sharen menurut, memindahkan kepalanya ke pangkuan bapak dan dua kakinya yang bertumpu pada kursi.

Akibat posisinya yang terlalu nyaman, Sharen tak membutuhkan waktu yang lama untuk memejamkan mata dan menyusuri alam mimpi diiringi alunan musik dangdut yang menggelora.

•••


Mengusap kedua matanya, Sharen berusaha bangkit tanpa membangunkan bapak yang masih terlelap dan merasakan bahwa bis sedang berbelok sebelum akhirnya benar-benar berhenti.

“Sekarang jam berapa?” setengah menguap, bapak bertanya.

Sharen menggeser tangan kirinya yang berbalut jam tangan ke arah jendela, mendekati cahaya lampu yang berpendar, “jam setengah lima,”

“Bapak, minta tolong ambilin koper,” ujar Sharen.

Bapak menoleh, “mau ngapain?”

“Ambil baju ganti sama mukena,” sahut Sharen.

Sepersekian detik, bapak berdiri mengambil koper Sharen yang terletak di bagasi bis tepatnya di atas kursi. “mau mandi?” bude yang kebetulan satu bis dengan Sharen bertanya.

“Iya,” jawab Sharen. “Bude mau mandi juga?” Sharen giliran melempar pertanyaan.

“Rencananya, tapi kok dingin banget gini,” kata bude.

"Saya mandi nanti siang aja kayaknya,” celetuk bapak seraya mengeratkan sweater yang melapisi tubuhnya.

Bude menatap Sharen, “destinasi pertama kemana?”

“Candi borobudur,” jawab Sharen.

Bude ganti menatap bapak, “apa nggak gerah?” tanya bude.

Seraya mengembalikan koper Sharen ke tempatnya, “nggak, dah ayo turun, keburu antri,”

Mereka turun bersama menuju sebuah rumah panggung bergaya joglo yang lokasinya terletak di samping rumah makan dan segera menunaikan salat seusai membersihkan diri.

Di depan cermin, Sharen membenarkan kerudung segi empat berwarna hitam yang sebelumnya terpasang secara asal-asalan, kemudian memoles bibirnya dengan lipbalm agar terlihat segar.

Seraya menunggu matahari muncul dari ufuk timur, bapak memilih berdiam diri di bis bersama bude sedangkan Sharen diajak teman-temannya yang sedang foto bersama.

“Sha, sini gabung!” ajak salah satu temannya.

Sharen mendekat, berusaha tersenyum dengan tulus sebelum matanya mengedip silau karena kilatan kamera beriringan dengan suara kamera yang terdengar. “woi bagus!” temannya memekik.

Mendengar itu, Sharen mengintip dirinya di dalam foto tersebut yang setengah mengernyit akibat matanya menatap tepat di arah kilatan kamera menyala.

“Eh-eh foto lagi yuk, ini Sharen kayak merem,” ujar yang lain.

Setelah itu, mereka lanjut berfoto hingga bumantara menjadi biru disertai hangatnya cahaya mentari yang menerpa.

Announcement, sebelum kita lanjut ke candi borobudur, kita sarapan dulu. Minta tolong kerjasamanya untuk tetap bersama rombongan dan tertib, agar semua berjalan dengan lancar,” ujar salah satu guru mereka menggunakan pengeras suara.

Mereka segera berbaris tak terkecuali Sharen, mengikuti bapak ibu guru yang berjalan masuk menuju sebuah rumah makan. Mereka diarahkan untuk duduk di kursi bersama dengan orang tua, menikmati hidangan yang sudah tersedia di atas meja.

Seusai meneguk tandas teh hangatnya, Sharen beranjak dari kursi dan bersiap-siap menuju bis untuk melanjutkan perjalanan menuju destinasi pertama; candi borobudur.

Ego Dalam RumahWhere stories live. Discover now