1. Found You

389 34 16
                                    

Hari itu, Halilintar melihatnya sendiri, bagaimana beberapa pria bertubuh besar dan tinggi memukuli ayahnya di ruang tamu. Sang ibu ditahan oleh dua dari gerombolan pria itu, mencegahnya mendekat pada sang ayah.

Remaja bernetra merah itu tidak berani untuk menampakkan diri. Ibunya sudah berpesan, 'apapun yang terjadi, tetaplah berada di kamar.'

Kalaupun ia turun dan membela kedua orang tuanya, kemungkinan besar satu keluarga tidak akan selamat. Apalagi ia baru berusia 13 tahun, tidak mungkin dirinya akan melawan gerombolan pria itu seorang diri, terlebih mereka kelihatan kuat, ayahnya pun hampir tumbang dipukuli.

"Kalau kau tidak membayarnya juga, aku akan menghancurkan rumah ini beserta penghuninya."

Itu yang Halilintar dengar dari balik tembok.

Ya, keluarga Halilintar terlilit hutang besar pada bos dari gerombolan pria itu. Halilintar sangat yakin, orang tuanya tidak akan mencari hutang ke sana ke mari, ekonomi mereka sudah tercukupi.

Halilintar ingat, bahkan sangat ingat.

Hari itu, sepasang suami istri dan seorang anak laki-laki datang ke rumahnya. Mereka memasang wajah sedih sejak datang ke rumahnya. Dan saat hendak pergi, mereka tampak sumringah. Senyum lebar tercetak jelas pada bibir mereka.

Halilintar tidak bisa berbuat apa-apa selain diam memperhatikan. Sampai netra merahnya beralih pada sosok kecil di tengah kedua orang tuanya, tersenyum ke arahnya, bahkan melambaikan tangan.

Dia seperti malaikat, begitu yang terlintas di benak Halilintar ketika pertama kali bertemu pandang dengannya. Namun, tidak dengan kedua orang tuanya yang nampak seperti iblis.

Tanpa sadar, Halilintar pun ikut tersenyum. Lalu tak lama, sosok kecil itu cekikikan. Dia begitu gembira.

Wajah itu, Halilintar akan mengingatnya seumur hidup.

Lalu tadi sore, tepat setelah matahari terbenam, datanglah 3 buah mobil hitam terparkir di halaman rumahnya. Orang tuanya mengira, mereka adalah tamu.

Saat mempersilakan masuk, bukannya duduk di sofa dan menikmati sepotong kue yang disiapkan di meja, mereka malah menyerang si tuan rumah.

Seolah menyadari hal buruk akan terjadi, satu-satunya wanita di rumah itu pergi ke lantai atas, tempat kamar anaknya berada. Ia berbisik pada putra semata wayangnya untuk tidak turun ke bawah. Setelah itu, ia kembali ke tempat sang suami, berniat melindungi pendamping hidupnya.

Kurang dari 15 menit sejak keributan terjadi, akhirnya gerombolan pria itu menyeret kedua orang tuanya yang kini tak sadarkan diri.

Halilintar hendak mengejar, namun ketiga mobil itu telah melesat meninggalkan halaman rumah. Ia tidak sempat mengejar.

Dan, tahun demi tahun telah berlalu.

Halilintar kembali bertemu dengan orang tuanya di usia 17 tahun, tepat satu hari setelah kakek tua yang mengasuhnya selama ini pergi untuk selamanya. Ia bahkan belum sempat berterima kasih padanya.

Bukannya berakhir bahagia, Halilintar malah dihadapkan dengan kenyataan pahit.

Sekarang, Halilintar tidak lagi akan bertemu dengan keluarganya di rumah seperti beberapa tahun lalu.

Melainkan di rumah sakit jiwa.

.

.

.

Di usianya yang ke-21 tahun, Halilintar mulai bekerja sebagai barista di sebuah kafe kecil di pinggir jalan. Berbekal dengan keahliannya dalam meracik minuman, ia dengan mudah diterima oleh pemilik kafe tersebut.

Halilintar tinggal di sebuah apartemen. Ia juga membeli barang-barang yang diinginkannya berkat uang tabungan dari penghasilannya. Hidupnya berubah, ia bisa melakukan apapun sendiri, tanpa orang tuanya.

Ia juga membeli komputer dan sebuah kamera.

Pukul 9 malam, Halilintar tiba di rumahnya. Ia segera membasuh tubuh dan memakai pakaian tidur, tak lupa juga menyantap makan malam.

Kaki Halilintar melangkah mendekati meja kayu yang di atasnya terdapat komputer. Sembari menyantap mie instan, ia menghidupkan komputer miliknya.

Hmm, sampai sekarang aku belum tahu di mana alamat rumahnya. Ah, kenapa susah sekali, sih?!

Netra merahnya melirik ke arah dinding di depannya. Di sana, puluhan foto remaja laki-laki tertempel. Lalu, bibirnya membentuk senyuman.

"Tidak apa, yang penting aku berhasil menemukan sosial medianya. Ngomong-ngomong, galerimu penuh dengan fotomu. Kau suka sekali memfoto dirimu sendiri, ya?" oceh Halilintar seorang diri. Ia membuka laci, mengambil selembar foto lagi. Ia tersenyum lebih lebar.

"Kapan aku bisa bertemu denganmu? Aku merindukanmu, lho," lirihnya. Tak lama, tangannya mengepal erat, bersamaan dengan selembar foto tadi yang kini nampak kusut berkat genggaman tangannya yang begitu kuat.

"Br*ngs*k.. keluargamu benar-benar.." ucapnya lagi. "Cepatlah bertemu denganku, anak kecil. Aku akan membuatmu menderita, sama sepertiku."

Setelahnya, keadaan menjadi hening. Halilintar membuka sebuah folder tersembunyi di komputernya. Setiap hari ia selalu melakukan ini untuk sekedar melihat ribuan foto yang tersimpan di sana.

Beberapa detik kemudian, sebuah notifikasi muncul dari ponselnya.

"Wah, wah.. lihatlah siapa yang habis mengambil foto dirinya."

.

.

.

Sore ini, Halilintar sempat kewalahan dalam membuat minuman, berkat banyaknya pelanggan yang datang.

Maklum, ini akhir pekan. Mayoritas yang datang ke kafe adalah para remaja. Setiap akhir pekan, selalu saja dipenuhi oleh remaja berseragam sekolah. Mereka tidak langsung pulang ke rumah, mungkin karena mereka ingin bersenang-senang dahulu, padahal besok juga bisa.

Kurang lebih satu setengah jam, keadaan kafe sudah mulai sepi, para pelajar tadi telah pulang ke rumahnya masing-masing, hanya ada beberapa saja yang masih di tempat.

Lalu, datanglah lagi segerombolan remaja laki-laki, mereka menempati meja di pinggir tembok, karena dekat dengan kipas angin.

Segerombolan itu bercanda ria, mengobrol, bahkan bermain game. Sampai tidak sadar hari sudah hampir gelap.

Saat mereka tengah mengemasi barang, suara rintikan hujan terdengar. Beberapa dari mereka mengeluh, sedangkan yang lain segera menelepon orang tuanya untuk menjemput. Inilah akibat lupa waktu.

Halilintar pun menghela napas, padahal ia sudah siap untuk pulang dan bergantian dengan rekan kerjanya yang lain.

Kedua mata Halilintar menyipit, seorang remaja berjaket putih menarik perhatiannya. Dia memasang wajah cemas sambil mengutak-atik ponselnya. Teman-temannya sudah pulang, sisa dia seorang di sini.

Suasana hati Halilintar berubah drastis. Bibirnya membentuk senyum lebar. Tanpa berlama-lama lagi, ia melangkah menghampiri remaja itu dengan perasaan gembira.

Ketemu.














Tbc.

Hali redpleg😋
Just info, ini cuma sampe 2 CHAPTER ya gais.

Revenge ✓Where stories live. Discover now