2. Villain

356 41 18
                                    

"Hey," panggil Halilintar, sebisa mungkin dirinya menahan ekspresi supaya tidak mencurigakan. Benar, dia yang selama ini aku cari. Akhirnya..

Remaja yang dipanggilnya menoleh. "Oh? Iya?"

Sialan! Aku ingin membawa dia sekarang. "Kau menunggu jemputan, ya?" tanya Halilintar basa-basi.

"Iya.. aku sudah menelepon ayahku, tapi belum juga diangkat," jawab remaja itu dengan raut muka sedih.

"Bagaimana kalau ke belakang dulu, aku akan buatkan minuman untukmu."

"Eh? Tidak usah, sebentar lagi pasti ayahku datang."

"Tidak apa, kali ini tidak usah bayar. Ayo, di sini dingin, aku juga menunggu hujan reda supaya bisa pulang."

Remaja itu mengangguk ragu. "Ba-baiklah."

Halilintar melirik ke samping, mengawasi supaya anak itu tidak pergi.

Tibalah mereka di sebuah ruangan. Biasanya, Halilintar akan ke sini saat istirahat makan siang. Di sini lumayan sepi, hanya ada satu dua orang saja, itupun mereka tengah terlelap menunggu hujan reda.

Halilintar pergi membuat minuman, sementara remaja tadi dibiarkan duduk di salah satu bangku. Tak lama, Halilintar kembali dengan dua buah gelas berisi cokelat panas.

"Ini, silakan diminum," ujar Halilintar seraya mendudukkan dirinya di hadapan remaja itu.

"Ah, iya. Terima kasih."

"Siapa namamu?" tanya Halilintar. Heh, sebenarnya tidak ditanya pun aku tahu namanya. Tapi ya.. ini demi misiku sukses.

"...Taufan." jawabnya. "Lalu.. nama kakak?"

"Aku Halilintar."

Taufan mengangguk paham seraya menyeruput cokelat panas buatan Halilintar. Ia melirik ke arah jendela. Hujan belum juga reda, ia pun tidak melihat tanda-tanda mobil ayahnya tiba.

"Di mana rumahmu?" tanya Halilintar.

"Oh, aku tinggal di perumahan Mawar Melati, lumayan jauh dari sini. Makanya, aku ingin menerobos hujan, tapi rumahku jauh," jawab Taufan seraya terkekeh.

Halilintar mengangguk. "Wah, kau pasti anak orang kaya, ya? Aku dengar perumahan itu isinya orang kaya semua."

Semburat merah menjalari pipi Taufan. "Bu-bukan, kok. Hanya saja, keluargaku sudah tercukupi berkat kerja keras ayah dan bunda."

Kerja keras mengambil harta keluargaku, maksudnya? Haha, lucu sekali. Gara-gara keluargamu, aku harus menderita, sialan. "Bagus, dong."

"Iya, aku sangat senang punya orang tua seperti mereka. Setiap liburan, aku selalu di ajak ke tempat indah, mereka juga sering membelikanku baju!"

Halilintar mengulas senyum. Anak ini cerewet. Aku baru tahu. "Benarkah? Kau pasti sangat bahagia."

Taufan mengangguk semangat. "Iya, hehe!" Tanpa sadar, ia berkedip beberapa kali. Ia merasa kelopak matanya semakin berat, pandangannya pun memburam seiring berjalannya waktu.

Dan akhirnya, kelopak matanya tertutup sempurna, bersamaan dengan jidatnya yang jatuh membentur meja.

"Hahaha.. lucunya.." kekeh Halilintar, meletakkan sebelah tangannya di atas kepala Taufan.

"Kau bilang, hidupmu sangat bahagia, bukan? Mulai sekarang, aku akan menghancurkan kebahagiaanmu itu."

.

.

.

"Ugh..."

Taufan mencoba membuka kelopak matanya yang terasa berat. Perlahan-lahan, kelereng safirnya mulai nampak. Ia mengedip beberapa kali. Hal yang pertama dilihatnya adalah langit-langit putih.

Dostali jste se na konec publikovaných kapitol.

⏰ Poslední aktualizace: Mar 24 ⏰

Přidej si tento příběh do své knihovny, abys byl/a informován/a o nových kapitolách!

Revenge ✓Kde žijí příběhy. Začni objevovat