8. Jere Marah

523 83 32
                                    

Melajukan motornya dengan pelan, susuri jalanan Cikutra yang lengang, senyum Hema terus mengembang. Di jok belakang, Thalia terus berceloteh riang, tidak lepas kedua lengannya dari memeluk pinggang Hema. Saat tangisan langit tiba-tiba menderas, Thalia dan Hema kompak memekik keras. Siang itu, mereka benar-benar lugu, kegirangan hanya karena bisa bersenang-senang di bawah hujan.

Tiga puluh menit yang memudar membawa keduanya ke sebuah persimpangan jalan, lampu merah menyala tepat ketika Hema datang. Hema menghentikan laju motor, hujan juga mulai reda, menyisakan rintik-rintik air yang jatuhnya tak begitu berasa saat menyapa raga.

Hema dan Thalia sudah basah kuyup, ujung jari jemari mereka mengeriput karena kedinginan. Namun, mereka masih sanggup menoleransi hawa dingin tersebut kendati sesekali gigi bergemelatuk. Hema melihat Thalia dari kaca spion, menyandar nyaman dagu gadis itu pada bahu kiri Hema. Si pemuda kembali meluruskan tatap, senyumannya samar-samar kelihatan lagi, euforia sungguh meletup-letup di dadanya. Siapa sangka ia bisa sedekat ini dengan Thalia sejak hari pertama. Dan Thalia, keluguannya masih persis seperti yang Hema ingat. Thalia amat antusias bercerita di sepanjang jalan padahal mereka notabene baru saja berkenalan. Jika menilik skenario di masa lalu, di momen ini Thalia belum jatuh hati pada Hema, tetapi sungguh, Hema sudah merasa dicintai. Ingatan dari masa depan yang Hema punya, kemungkinan itu yang jadi alasannya.

Hema sedikit menoleh. "Dingin, Tha?" Tidak ada jawaban berupa kata, tetapi Hema dapat merasakan dagu yang sandari bahunya bergerak turun-naik beberapa kali; Thalia mengangguk. Pemuda itu pun menangkup jemari Thalia yang bertautan di perutnya, mengusap-usap punggung tangannya, berharap dapat memberikan sedikit kehangatan. "Di depan ada warung surabi, mau mampir ke sana nggak?"

"Surabi? Yang bentuknya mirip dorayaki-nya doraemon?" tanya Thalia. Begitu mendapat anggukan dari Hema, Thalia ikut mengangguk juga. "Boleh. Aku pernah nyobain itu dulu, dikasih sama Jere. Tiga tahun lalu kayaknya."

"Awal-awal masuk SMP gak, sih?"

"Iya."

"Itu kayaknya pas Jere diajakin sama Nata deh, Tha. Soalnya pas itu tuh awal-awal Jere temenan sama kami."

"Aku inget!" Thalia terkekeh kecil. "Sejak hari di mana Jere ngasih aku surabi itu, hari-hari berikutnya dia selalu bawa jajanan aneh. Kayaknya emang diajakin kamu, deh. Soalnya kamu aneh." Gadis itu tergelak lagi.

Hema cengar-cengir doang, pasalnya menyadari penuh jika diri memang aneh kadang-kadang. "Nanti kalau kenal sama Nata, kamu bakal tau."

"Tau apa?"

"Dia lebih aneh dari aku."

"Gapapa, dia ganteng."

Alis Hema kontan menukik, ia tatap lurus-lurus mata Thalia di kaca spion.
Hema tanpa sadar manyun-manyun lantaran Thalia mengulas cengiran tengil. "Emang aku gak ganteng, Tha?"

"Em ...." Bola mata Thalia bergulir ke atas sekejapan. Dia berlagak berpikir keras, sengaja mengisengi Hema, dan tawanya lepas lagi kala menemukan bibir Hema bergerak-gerak tanpa suara di kaca spion. "Becanda. Kamu juga kasep, kok. Mata kamu bagus."

Ah, pujian itu sukses membuat Hema mengulum senyum. Ia mendengkus samar selagi membawa tatapannya ke atas, melihat lampu lalu lintas, lantas melajukan lagi motornya. Bicara soal mata Hema, dulu pun Thalia memang sevokal itu mengaguminya. Bahkan dalam perjalanan rumah tangga mereka di masa depan, memuji-muji mata Hema jadi hal yang senantiasa dilakukan Thalia. "Aku tuh bisa lihat dunia di mata kamu, Bear." Thalia berkata demikian di setiap raganya berada pada hangat dekapan Hema.

Lalu Hema akan membalas, "Jelas bisa lihat dunia, soalnya pas kamu lihat mata aku, kamu bakal lihat refleksi wajah kamu sendiri-kamu duniaku."

Kenangan manis yang tiba-tiba lintasi kepala Hema membuat senyumannya berubah getir. Ternyata waktu selama belasan tahun yang Hema dan Thalia punya, yang terjalin sejak SMA hingga usia nyaris menapaki kepala empat, begitu banyak memori indah yang telah dibuat. Terlepas dari prahara dan segala konflik batin yang Hema dapat, memiliki Thalia benar-benar memberinya bahagia dengan kadar tak terkira. Semisal Hema memiliki kesempatan untuk kembali dilahirkan dan tahu jika bersama Thalia bakal menempatkannya di titik terendah kehidupan, Hema sungguh tak akan memilih jalan lain di persimpangan takdir. Bareng Thalia memang bikin perasaan remuk redam, tetapi itu sepadan dengan bahagia yang dirasa.

[✓] Second ChanceWhere stories live. Discover now