dua puluh empat

1.7K 199 15
                                    

Hanbin melenguh pelan, kemudian mematikam weker yang ada diatas nakas.

Pandangannya terarah pada Hao. Napasnya yang berhembus kencang menggambarkan betapa lelahnya sang istri setelah semalaman tak tidur.

Ya, mereka melakukannya lagi.

Hanbin pun merasa aneh. Akhir-akhir ini Hanbin memang tak bisa menahan dirinya untuk tidak menyentuh setiap inchi tubuh Hao.

Padahal di awal-awal pernikahan, ia tak pernah berpikir atau berfantasi terhadap istrinya.

Dengan pelan, ia mencium kening Hao. Mengucapkan rasa terima kasih karena telah memberinya kesempatan untuk membuka hati.

Ah, andai sejak dulu ia melakukan ini.

.
.
.

"Kau sudah bangun?" Hao menyerngit. Memandangi deretan makanan dan Hanbin yang menggunakan celemek biru muda itu secara bergantian.

"Kau saja yang tidurnya lama."

"Hei! Itu karena—" ucapan Hao terhenti, telinganya spontan memerah ketika mengingat apa yang mereka lakukan semalam.

"Karena apa?" Hanbin mengangkat alisnya, berusaha menggoda Hao yang saat ini sudah melotot garang.

"Kau ini!"

Hanbin tertawa lepas, rasanya lucu menggoda Hao di pagi hari seperti ini.

Untung saja ia sudah mengantar Yujin pergi ke daycarenya.

"Omong-omong soal Yujin.." Hanbin menoleh.

"Dia sudah masuk usia sekolah. Aku sudah mendaftarkannya ke tk dekat perusahaanku."

"Baguslah. Aku juga berniat mendaftarkannya disitu."

"Kalau begitu kita sepemikiran. Bagaimana kalau kita cocokkan lagi pemikiran kita, dimana Yujin akan masuk sekolah dasar, menengah, sampai senior high schoolnya!" Usul Hanbin.

"Tak perlu berpikir sejauh itu, Hanbin-ah."

"Bukankah itu bagus? Berarti kita sudah memikirkan hal-hal untuk Yujin kedepannya!"

"Biarkan dia memilih sendiri nanti."

"Ey, ayolah. Setidaknya kita juga punya opsi yang nanti bisa diberikan."

Hao menggelengkan kepalanya, pusing dengan pemikiran random Hanbin.

Yujin bahkan belum memulai taman kanak-kanaknya, tapi Hanbin sudah memikirkan hal sejauh itu.

Ia merasa senang, tentu saja, berarti Hanbin benar-benar menyayangi Yujin. Tapi terkadang terlalu senang juga tidak baik, bukan?

.
.
.

"Matthew izin untuk mengosongkan jadwalnya, tuan Kim. Setidaknya untuk dua hari ini." Ujar Chaehyun.

Hari ini gadis itu diminta untuk menghadap ke ruang direktur, untuk meminta izin karena bagaimanapun ia masih terikat perjanjian dengan agensi.

"Ada apa dengannya?"

"Ia hanya ingin istirahat, tuan."

Jiwoong mengangguk, kemudian meminta gadis itu untuk mengatur jadwal Matthew lagi.

Ia sengaja memberikan izin itu, Matthew mengerjakan tugasnya dengan baik dan tanpa masalah. Jadi izin dua hari juga tak masalah untuknya.

Tapi entah kenapa, pikiran lain hinggap dikepalanya.

Semuanya dimulai dari Matthew yang sulit sekali dihubungi, hingga ia meminta Chaehyun untuk datang ke ruangannya.

"Apa ini berhubungan dengan Hanbin?"

.
.
.

Jiwoong tak bisa menahan dirinya untuk tidak datang dan menekan bel apartemen Matthew.

Untung saja Matthew masih belum mengganti password apartementnya hingga Jiwoong tetap leluasa masuk kedalamnya.

"Halo, sajangnim." Matthew terkekeh, tak peduli dengan gelas berisi wine miliknya yang tumpah akibat pegangannya yang mengendur.

"Kau mabuk?" Jiwoong tak bisa berkata apapun. Kondisi Matthew terlalu kacau untuk ukuran seseorang yang putus cinta.

"Tidak, tidak. Ini hanya wine, jadi aku tidak akan mabuk."

Ya, ini hanya wine. Tapi Matthew bahkan sudah menenggak botol ketiga sampai habis!

"Kau mau ikut denganku? Ayo kita duduk dan dengarkan ceritaku. Kau pasti senang karena Hanbin hyung meninggalkanku dan memilih adik kesayanganmu itu." Ucapnya diselingi cegukan.

Benar dugaan Jiwoong, yang terjadi pada artisnya saat ini ada kaitanya dengan Hanbin. Inilah mengapa ia tak suka mencampurkan urusan pekerjaan dan percintaannya.

Ia senang bahwa Hanbin mendengarkannya dan akhirnya mengambil keputusan. Tapi disisi lain, ia kasian pada Matthew karena bagaimanapun ini bukan sepenuhnya kesalahan pemuda itu.

Ia hanya korban dari sikap plin-plan Hanbin.

Apalagi ia juga sudah mulai mengenal seluk-beluk Matthew, dari perjuangannya di awal karir hingga sekarang.

Matthew yang malang.

"Yak, KIM JIWOONG!"

Teriakan Matthew spontan membuatnya terkejut.

"Pasti ini ada hubungannya denganmu dan pria jepang itu kan?! Kalian menghasut Hanbin hyung untuk meninggalkanku dan memilih si Zhang itu!" Matthew meracau, ia benar-benar mabuk.

"Ku akui bahwa Zhang Hao benar-benar cantik dan berkharisma. Bahkan kemarin ia dengan santai menghancurkan kepercayaan diriku saat menemuinya!"

"Uh, padahal aku hanya menginginkan milikku. Tapi kenapa seolah-olah ia memperlakukanku sebagai pencuri?!"

Jiwoong termangu. Jadi Matthew sudah menemui Hao?

"Kau." Geramnya tertahan.

"Apa yang kau katakan pada Hao?"

"Apalagi kalau bukan menceraikan Hanbin hyung." Matthew terkekeh sebelum akhirnya jatuh pingsan.


chapter dua puluh empat —end

hehe

[2] Lie | Binhao [END]Where stories live. Discover now