24. Hari Bahagia

2.6K 144 2
                                    

Detik demi detik bergulir menuntun cahaya yang 'tak mampu menjamah malam. Ada degupan yang semakin terdengar cepat, juga terdapat gaun indah yang selalu dirapihkan, cantiknya membuat siapapun yang melihat terpesona, riasan yang ringan dengan mahkota kecil tersemat indah di rambut yang sudah ditata rapih.

Senyum manis Nara yang memandang Ina mengatur groginya, langkah perlahan menuju masa depan dengan laki-laki pujaan hati, di setiap napas yang berhembus terdapat doa yang ditinggikan dari para tamu yang datang, berharap kehidupan kedua mempelai mencapai porsi bahagia.

Yogyakarta menjadi saksi dari janji suci yang terucap oleh kedua insan ini -Gama dan Ina- mereka resmi memulai hidup baru dengan status yang baru pula.

Kebahagiaan yang menyeruak keseluruh sudut ruangan, gaun indah yang Ina pakai mampu membuat siapapun terpanah, ketampanan Gama tidak kalah mengambil atensi tamu undangan yang datang saat ini.

Semua berjalan sesuai rencana, Gama berhasil membujuk orang tuanya, pernikahan mereka sesuai dengan apa yang mereka bayangkan dan rencanakan. Ina dan Gama berhasil meredam ego dan melewati segala macam ujian sebelum menikah.

“Gaunnya indah,” ucap Arjuna dengan pandangan yang terfokus kepada Ina yang sedang berdiri di pelaminan. “Sesuai sama yang buat.” Ditengoknya Nara yang saat ini tersenyum puas.

“Kamu muji pengantinnya apa muji yang buat gaunnya?”

“Yang buat gaunnya dong.” Arjuna tersenyum simpul, hari ini kekasihnya tidak kalah cantik, dress panjang dengan warna biru langit menyelimuti tubuh Nara, terdapat garis berwarna emas pada bagian pinggangnya, garis dengan gliter itu mampu memberikan kesan sederhana namun mewah bagi yang memakainya.

"Arjuna juga tampan, nanti kalau menikah pasti lebih tampan dari ini." Nara meledek Arjuna, wanita itu mulai menyentuh dasi milik Arjuna yang sudah tersemat rapih.

Nara dan Arjuna asik dengan dunia mereka, banyak obrolan yang selalu mereka miliki, mulai dari hal sepele sampai pada hal yang cukup berat, seperti membicarakan masa depan.

“Kamu ikut?” tanya Arjuna saat MC memberitahukan bahwa acara melempar bouquet segera dimulai.

Tiga ... Dua ... Satu ...

Belum sempat memindah diri Nara lihat pengantin sudah meleparkan bouquet yang berisikan kumpulan bunga white roses yang ditemani banyaknya baby breath, bouquet ini diterima tepat pada pelukan Nara yang berdiri di samping kumpulan orang yang menunggu. Ia tengok Arjuna yang tersenyum di sebelahnya, manik yang penuh rasa tidak percaya ditampilkan wanita ini.

Gama dan Ina tertawa puas, bukan rencana mereka tapi syukurlah jika Nara menangkap bunga tersebut.

“Kamu mau di lamar sekarang?” bisik Arjuna tepat di telinga Nara.

Wanita itu hanya tersenyum manis, ia genggam bouquet dan melambaikannya kepada kedua pengantin yang memandangnya dengan tawa bahagia.

“Aku pesan cincinnya dulu gimana?” Arjuna bertanya kembali ke Nara.

“Apa si, Kak!” Dicubitnya lengan sang kekasih meminta Arjuna berhenti meledeknya dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat ia salah tingakah.

“Aku majuin nih tanggalnya?” tanya Arjuna serius, pasalnya ia sudah menemukan tanggal untuk melamar Nara, tetapi sebelum hal itu terjadi Arjuna ingin mengajak Nara bertemu keluarga terlebih dahulu.

“Sayang, nggak perlu sekarang, lakuin sesuai rencana kamu aja,” balas Nara yang tidak kalah seriusnya.

Yang dipanggil sayang ikut tersenyum, rona pada pipinya terpampang begitu jelas. “Ikut ke Jakarta ya, Ra?” ajak pria tersebut.

Tidak ada ucapan iya dari Nara, wanita ini hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya sebagai jawaban dari pertanyaan yang terlontar.

Satu langkah diambil kedua insan ini, bukan menantang dunia tetapi mengajaknya untuk berkompromi.

"Jadi kapan nih?" ledek Faya yang hadir mendekati mereka.

Arjuna kembali bertemu dengan sahabat-sahabatnya, ada Tio yang datang bersama Rhea -istri tercinta- tentu ada Leo yang masih menjalin kasih dengan Faya, ada Nathan dan Dean yang datang tanpa pasangan.

Nara tidak mengetahui hubungan kehidupan Nathan, memang pria itu terlalu banyak menyimpan rahasia, tetapi Dean datang tanpa Bella cukup membuat Nara kaget.

"Kok nggak ajak Bella?" rengek Nara kepada Dean.

"Putus."

Jawaban singkat itu membuat Nara mengingat kembali pertemuannya dengan mantan kekasih pria tersebut, perbincangan tanpa topik Dean di dalamnya. Nara mulai sadar hubungan keduanya memang tidak berjalan baik, Bella menyembunyikannya, bahkan jika ada kesal kepada pasangan bukankah seorang wanita pasti akan menceritakan kepada temannya, bagaimana jika adanya cinta? Ahh sudah pasti akan ada rasa bahagia jika mampu menceritakannya terkecuali itu hanya cinta sepihak yang sudah dipastikan tidak akan berbalas, seperti dirinya di masa lalu.

"Itu pacaran apa liburan, kok cepet banget."

Dean pandang lekat Nara yang berdiri di sampingnya dengan kepala yang ia miringkan. "Nggak tega kalau gue doain lo!"

"Maaf ya?" Mohon Nara.

Pikiran wanita dengan dress biru ini  melanglang buana dengan manik yang berputar mencari target tanpa diminta, di hadapannya ada Faya yang masih tersenyum dengan guyonan Nathan.

"Pasti belum jadi gue versi berhasil?"

Dean yang mendengar kalimat itu spontan melihat Faya, ada rasa sakit yang terpendam, kisah yang tertahan tanpa kepastian hanya menyebabkan luka yang kian menumpuk, jujurnya terhalang persahabat membuat dirinya di ambang putus asa, ingin dihilangkan juga rasanya tidak bisa, meminta bantuan orang lain hanya mampu sementara, Dean sungguh tidak tahu langkah apa yang harus ia ambil.

Katakanlah bodoh karena dirinya tidak beranjak dari lubang kesakitan.

"Iya belum, pantes lo bisa luluh lagi sama Juna, perasaan kalau udah netap lama itu susah banget buat dihilangin."

"Kenapa nggak lo kejar, Kak?"

Keduanya saling menatap kaget akan kalimat yang terdengar di telinga mereka, Nara yang bodoh merutuki ucapannya sedangkan Dean sedikit kaget mendengarnya.

"Seandainya gue punya keberanian dan rasa tega terhadap sesama pria bakal gue lakuin, Ra."

"Ya udah lamar langsung aja!"

Lagi-lagi kalimat bodoh Nara ucapkan. "Lo, GILA!"

"Iya dah, berengsek banget mulut gue!" Nara tepuk bibirnya. "Lagian lo gimana mau move on, lo aja masih peduli gitu?"

Mampus!
batin Nara bergejolak, seharusnya ia tidak melanjutkan bicara dengan Dean.

Desakan pertanyaan yang Dean berikan membuat Nara memutar otaknya agar dirinya memilih jawaban yang masuk akal. Tatapan itu seakan menguliti pemikiran Nara, ada pertanyaan yang jelas terlihat di bola mata Dean tertulis. "Lo tau kan siapa orangnya?"

Bisa gawat jika Dean mengetahui kalau Nara mengenal wanita itu, lagipula orng bodoh mana yang tidak tahu jika Dean menyukai Faya.

Susunan kalimat penyangkal yang Nara berikan cukup masuk akal, ia berkata jika Dean berbicara tentang rasa susahnya menghilangkan rasa bisa ditarik kesimpulan bahwa orang tersebut masih suka mencaritahu tentang penyimpan hatinya.

fine line [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang