00

41 11 1
                                    

__________




Stella tidak ingat apa yang terjadi. Tidak. Stella tidak ingat bagaimana bisa dia berakhir di posisinya sekarang. Air dari langit yang mengguyur tubuh seakan tengah melunturkan kepala, tapi bunyi tapak kaki kuda terdengar jelas di antara rintik hujan. Ini bukan mimpi. Dua tangan yang mengendarai kuda di hadapannya juga bukan angan-angan. Ini nyata. Dan satu-satunya yang ia ingat adalah, Rynael yang menyuruhnya bersembunyi, sebelum dia pergi keluar seorang diri. Hanya itu, hanya sampai sana ingatannya. Dan Stella tidak tahu kenapa dia harus bersembunyi, dan kenapa Rynael pergi dari rumah.

Kuda yang mendadak dihentikan membuat punggung Stella menabrak tubuh sang pengendara. Untuk sesaat, mereka berhenti di tengah hujan sebelum kuda itu kembali digerakkan ke arah yang berbeda. Dan Stella yang dari tadi tenggelam dalam kebingungan, mendongak sampai mampu melihat sebuah rumah tua. Sebuah rumah tua yang ditinggalkan. Apa dia mau berteduh ...? tanya Stella dalam hati. Pengendara kuda membawa kudanya menaiki tangga pendek dan berteduh di teras rumah tersebut, setelahnya ia turun dan tidak lupa menurunkan Stella dari pelana.

"Kita berteduh di rumah ini sampai hujan reda," ucapnya sembari mengikatkan tali kuda pada pagar kayu. Stella mengangguk dan berjalan menuju pintu masuk, lalu tangannya membuka pintu itu perlahan-lahan. Berjaga-jaga jika sudah ada orang lain yang berteduh sebelum mereka tiba. Untungnya, rumah tua itu kosong. Semua perabotan yang ada tampak tak tersentuh selama beberapa tahun, semua warnanya juga sudah memudar. Dan Sella dapat melihat ketebalan debu yang menyelimuti isi rumah ini.

"Kosong," ujar Stella seolah menginformasikan orang di belakangnya. Perempuan itu masuk sambil mengeluarkan sebuah kain dari tasnya yang basah kuyup oleh air hujan. Ia membersihkan debu dari sebuah meja dan dua kursi di dekatnya, lalu duduk dan menunggu orang itu bergabung dengannya. Irama hujan yang menghantam atap rumah memenuhi ruangan, dan orang itu masuk membawa dua tas yang sempat terpatri di pelana kuda. "Siapa namamu?" Orang itu bertanya, mengeluarkan sebuah lentera dari salah satu tas.

"Stella ... Stella Aristia." Orang itu berdeham. Ia meletakkan lentera di tengah-tengah meja, dan menyalakan api dengan satu jentikan jari.

"Stella, apa kau tinggal sendiri di rumah itu?" Orang itu kembali bertanya.

"Tidak."

"Dengan siapa kau tinggal?"

"... kembaranku, kakak kembarku ... Rynael."

Orang itu mencondongkan tubuh dan melipat lengan di atas meja. "Apa kau tahu di mana kakakmu sekarang?" Stella menggelengkan kepala.

"Apa kau tahu arah atau tempat yang dituju kakakmu, Stella?"

"Arah atau tempat ...?" Stella tidak yakin. Ingatan terakhir yang dia miliki begitu sama-samar. Tetapi, jika diingat-ingat kembali dan diteliti, sepertinya waktu itu juga hujan, dan Rynael memakai tudung kepala. Dia membawa sebuah tas yang cukup besar untuk berkemah, dan pergi membawa kunci rumah. Sebelum pintunya tertutup, Rynael berpesan padanya untuk bersembunyi ... mungkin bersembunyi di ruang bawah tanah. Setelahnya, pintu tertutup, disusul suara mengunci.

"Aku tidak yakin ...," gumam Stella. Orang itu terlihat mengucapkan sesuatu, tetapi Stella tidak mendengarnya. Dia terlalu fokus menggali ingatannya. Tentang pintu ditutup. Tentang pintu dikunci. Stella mencoba menangkap apapun yang dapat memberi petunjuk ke arah mana Rynael pergi. Buram. Buram sekali, tapi ada. Dan Stella mencoba mengulang bagian itu di kepalanya, terus menerus. Pesan Rynael. Pintu tertutup, lalu Rynael mengunci pintu itu. Setelahnya, ingatan Stella semakin tidak dapat diterka. Suara pintu tertutup, lalu terkunci. Sepertinya ada suara langkah kaki Rynael yang mencipratkan genangan air hujan. Kecil sekali, telinga Stella rasanya dipenuhi oleh bunyi tetesan air hujan. Sekarang juga hujan, tapi Stella yakin di sana ada suara langkah kaki Rynael.

Seandainya aku membayangkan diriku di dalam ingatan itu .... Stella membatin. Dia menarik napas dan menghembuskannya perlahan, menenangkan diri dan mulai mengatur suasana di sekitarnya. Memanfaatkan gemuruh hujan di luar, dan mengirim jiwanya menyelam ke dalam sepotong ingatan itu. Menyelam dan berdiri di sana, di ingatannya, di rumahnya, di tempat terakhir dia melihat Rynael.

Bunyi hujan semakin keras seiring Stella menyelam dan terus masuk ke dalam ingatannya. Rasanya ada suara gemuruh, namun Stella tidak bisa mengatakan bahwa itu gemuruh petir. Rasanya bukan. Suaranya berbeda, terdengar seperti sebuah keributan. Benar, seperti ada keributan di bawah derasnya hujan. Suara itu meredam, tapi bukan cuman karena hujan, melainkan karena jarak. Setidaknya, begitu menurut Stella. Dia terus berkonsentrasi, mendorong arah suara itu naik ke permukaan. Naik dan menjadi jelas dan bergabung dengan ingatannya. Dan lenyap.

"... kiri," ucap Stella tanpa suara. Perempuan itu diam sejenak, lalu menoleh pada orang itu. "Arah kiri ... arah kiri dari rumahku." Untuk pertama kalinya, Stella melihat wajah sekaligus penampilan orang yang ada di hadapannya.

"Kiri?" Orang itu memastikan, dan Stella mengangguk.

"Ngomong-ngomong ... siapa namamu?"

"... Zahard. Namaku Zahard." Nama yang tak asing bagi telinga Stella. Zahard. Entah dia mendengar nama itu di mana. 

"Zahard ... apa aku boleh bertanya?" Pria itu memandang Stella, melihat bagaimana remang cahaya lentera melukiskan diri pada wajah jelitanya. Bahkan, di ruangan yang kekurangan cahaya ini, mata merah itu masih saja berkilauan. Menyihir Zahard ke dalamnya.

"Silahkan, tanyakan apapun yang ingin kamu tanyakan." Zahard mengalihkan pandangan pada pintu yang dibiarkan terbuka, mendengar alunan angin menemani hujan yang tak kunjung mereda.

"Kenapa aku ada di sini?" Pertanyaan Stella menarik Zahard untuk kembali memperhatikannya. "Maksudku ... kenapa aku ada bersamamu? Aku tidak bisa ingat, aku hanya ingat saat terakhir aku melihat Rynael pergi."

"...."

Ah, Stella tidak menyukai suasana ini. Pertanyaan sederhana itu tidak langsung dijawab oleh Zahard, dan hujan di luar semakin bergemuruh karena angin bertiup kencang. Suara-suara itu mengalir mengitari otak Stella. Pusing. Pusing sekali. Pandangan menjadi kabur, dan bertransisi membawa Stella ke dalam ingatan itu lagi. Keributan di arah kiri bukanlah keributan biasa. Meski hanya di dalam imajinasi, Stella mendekatkan diri ke jendela rumahnya. Dan dia membeku.

"Zahard ...?"

Zahard menatapnya dari luar jendela, dengan bercak darah pada baju dan wajahnya. Stella gugup. Tenggorokannya seketika mengering. Tubuhnya gemetaran, dan dia berusaha berdiri dengan stabil dan melangkah mundur. Satu langkah demi satu langkah, sampai punggungnya menyentuh tembok yang mendingin. Zahard menghilang dari jendela, lalu pintu yang dikunci Rynael hancur oleh tendangan Zahard.

Kaki Stella kehilangan tenaga dan tubuhnya terjatuh di lantai kayu. Zahard masuk dan mendekat. Mendekat pada Stella yang begitu takut padanya.

"Maafkan aku," lirih Zahard yang berlutut di hadapannya.

"Maafkan aku, dan maafkanlah dirimu."

Stella tersadar. Keluar dari isi pikirannya. Merasakan sepasang lengan memeluk bahunya dari belakang, Stella menunduk. Stella tidak mengerti, tapi kalimat Zahard cukup menusuk dan merobek hatinya.

"Zahard ... apa kamu tahu di mana Rynael?" Wajah Zahard yang tenggelam pada bahunya menggeleng pelan, selanjutnya pria itu mendongak dan berbisik. Berbisik seolah sedang menenangkan badai.

"Stella … maafkanlah dirimu sendiri."

"Apa Rynael … masih hidup?"



__________

Sepotong IngatanWhere stories live. Discover now