25. Bertemu

2.2K 154 3
                                    

Rindu yang singgah hingga pria itu mencoba menghubungi wanita yang ia panggil kakak. "Baik-baik aja, kan?" tanyanya di ujung panggilan.

Nara berikan kekehan ringan, ia lelah karena sibuk mengambil kuatnya namun tenaga itu masih akan tersisa jika menyangkut keluarganya.

Berdampingan, saling berbagi hingga jemari yang mengulur membuat Nara bersyukur akan keadaan keluarga yang Tuhan berikan, meski tidak lengkap lagi namun rasa sayang  di antara mereka semakin kokoh.

Berbanding terbalik dengan Arjuna, sikap kelabu keluarganya tidak dapat ia lihat dengan jelas, selalu ada gundah yang menyertai setiap pilihannya, menunggu hingga waktu menunjukan warna apa yang akan ia lihat perlahan, putih kah? Atau hitam!

Banyaknya cerita yang Nara dengar membuatnya berpindah tempat dari dirinya yang duduk di sofa hingga melangkah menuju tempat tidur.

Narator itu dengan semangat menuturkan kalimat-kalimatnya membuat bahagia Nara terlampau lengkap namun kini sang narator sedang menceritakan mimpinya yang membuat Nara tenggelam dengan pikirannya.

"Mungkin bapak kangen, makanya dia mampir ke mimpi lo," ucap Nara. "Aaaaaaaaa irinya!"

Nara hampir lupa menceritakan rencananya yang akan menemui keluarga Arjuna di Jakarta.

"Gue mau dikenalin ke keluarga Kak Juna, menurut lo gimana?"

"Kenapa tanya gue? Kan yang mau serius lo Kak, tugas gue gantiin bapak nikahin lo sama calon lo, nanti gue pinjem pantofel sama pecinya."

Air mata Nara turun dengan ringannya seperti tidak ada bulu mata yang menahan.

"Pasti lagi nangis? Lo cengeng banget si Kak."

Nara membenarkan kalimat Pandu, ia memang wanita yang mudah menangis. "Kalau lo sakit pulang ya kak, ke sini! Kalau lagi lelah juga pulang ke sini, kalau dunia juga bikin muak, lo bisa lari ke sini, ke rumah kita." Kalimat Pandu benar-benar menyentuh hatinya.

Pandu tertawa ringan, dirinya menertawakan Nara yang belum menikah tetapi serasa ingin berpisah. Pandu yang mendengar Nara dalam isakan tangis meminta kepada Tuhan untuk melancarkan rencananya, memberikan setumpuk bahagia untuk kakak yang ia cintai.

...

Bagi Nara Jakarta tidaklah ramah, banyak rasa sakit yang tercipta di kota ini. Mulai dari putusnya kuliah hingga rasa yang dipaksa berhenti. Senyumnya selalu tergambar jelas bukan karena ia kuat tetapi bukankah saat menjadi dewasa kita akan berbohong seperti itu? Entah kepada orang di sekitar ataupun kepada diri sendiri.

“Deg-degan, Kak.” Jemari Nara menggengam erat jemari Arjuna. Tatapan Nara mampu membuat pria di sampingnya tersenyum, apapun yang dilakukan Nara tidak pernah membuat Arjuna absen untuk memberikan seulas senyum miliknya.

“Kan sama aku,” yakin Arjuna.

Langkah kaki mereka beriringan dan seirama, memasuki rumah yang cukup besar, menyapa seorang laki-laki paruh baya yang sedang asik duduk di sofa ruang tamu dengan remote di genggamannya.

Satu pelukan diberikan sang laki-laki paruh baya itu kepada Arjuna. “Kamu berubah? Lebih cerah auranya.” ledek seorang yang Arjuna panggil Papa, “Siapa?” tambahnya.

“Calon.” Pria itu tersenyum riang saat mengenalkan Nara kepada papanya.

“Siang Om, Nara,” ucap Nara dengan tangan yang diulurkan.

Disambut uluran tangan Nara. “Siang Nara, saya Papanya Arjuna.”

“Put, sini! Abangmu pulang bawa calon istri,” teriak papa kepada anak perempuannya.

Cantik dengan rambut yang dikuncir acak, bola mata yang jernih terlihat mirip dengan Arjuna. Wajah tidak suka ditampilkan putri kepada Nara. Adik Arjuna ini masih dengan rasanya kesalnya.

“Putri.”

“Nara.”

Apa ada lesung pipi di wajah cantik itu? tanya Nara kepada dirinya sendiri yang penasaran.

Masih bertahan dengan senyum, walau Nara sadar adik dari sang kekasih tidak menyukai dirinya atau mungkin tidak mengharapkannya untuk hadir di rumah ini.

“Mama di mana, Pa?” sergah Arjuna.

“Di dapur kayaknya.”

“Juna ke dapur dulu. Ayo, Ra,” ajak Arjuna. Pria ini juga sadar jika Putri sudah menunjukan rasa tidak sukanya.

Sesampainya di dapur, Arjuna langsung menuju kepelukan sang mama. “Abang, Mama kangen.” Nara mendengar kalimat itu lantas tersenyum. “Ini Nara yang kamu ceritain?” tanyanya.

“Iya, cantik kan?”

Yang dipuji hanya tersenyum malu. “Nara, Tante.”

“Mamanya Juna.”

Belum banyak yang mereka bicarakan hanya sekedar perkenal singkat, saat ini ada lega di hati Arjuna kerena kedua orang tuanya dengan ramah menyambut Nara.

Mengambil inisiatif Arjuna pamit membawa Nara menuju kamarnya karena ia menyadari Nara yang saat ini diserang rasa gugup.

Langkahnya beriringan menuju satu kamar yang sudah beberapa bulan tidak ditempati penghuninya.

"Nih!" Arjuna berikan satu botol air mineral untuk mengatur kembali detak jantung milik Nara.

"Susah buat napas!" keluh Nara sembari merebahkan tubuhnya.

Kekasih itu tertawa melihat wanitanya. "Kok ketawa?" tanya Nara yang kembali menegakan tubuhnya.

Arjuna seret bangku untuk tempatnya duduk. Berhadapan, kini ia genggam jemari Nara untuk sekadar menenangkan. "Putri kayaknya nggak suka sama aku," kata Nara sembari memandang genggaman tangan Arjuna, ada tatapan maaf yang terlihat jelas saat kedua manik itu memandang.

"Tapi aku bisa yakinin dia kok!"

Arjuna tangkup kedua pipi Nara, "ini baru cewek aku! Maaf ya bikin kamu berjuang, aku juga akan bikin putri yakin."

Setelah berucap yakin kini Nara bangkit dari duduknya dan mulai melihat-lihat sekeliling, dirinya menemui satu figura Arjuna berserta para sahabatnya dalam upacara kelulusan.

Ada senyum di wajahnya namun matanya terlihat sangat lelah berbanding terbalik dengan sahabatnya yang lain.

"Kamu mau tau nggak kejadian setelah foto ini?"

Nara menatap Arjuna dengan lekat, meminta kalimat sang lelaki dilanjutkan dengan cepat.

Satu cerita tentang Jasmine yang mendatanginya untuk meminta maaf dan dengan jujur bercerita akan perasaannya. Nara mulai membayangkan Jasmine yang sudah pasti mengumpulkan semua kekuatannya.

"Hari itu aku sama Jasmine benar-benar selesai, kita juga punya pikiran yang sama kala itu."

Nara meminta Arjuna melanjutkan kalimatnya.

"Bertemu Nara," tutup Arjuna

Wanita manis itu dekatkan tubuhnya untuk dapat menggapai kekasihnya tersebut, pelukan lembut dan hangat ia berikan, tidak ada ragu tentang masa depan. Arjuna mencintainya dari lalu hingga saat ini dan dengan harap hingga masa depan rasa itu akan selalu hadir.

Dicintai dengan tulus dan tanpa ragu mungkin itu yang Nara rasakan, sedangkan Arjuna kini mulai menerka-nerka kepahitan apa yang akan mereka hadapi.

fine line [END]Where stories live. Discover now