☔6. Adik?

40 15 25
                                    

☔☔☔

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

☔☔☔

Jam istirahat dimulai. Aku masih tidak percaya dengan apa yang Vallea tebak tadi. Adik? Yang benar saja, Rashi pernah bilang, ia tidak memiliki adik. Mama dan papanya pun adalah anak tunggal. Mana mungkin Pak Riandra adalah adiknya? Mirip saja tidak.

"Ri, gue nitip bubur ayam aja, ya? Gue lagi dapet, jadi males mau jalan ke kantin," ucap Vallea dengan nada lemas. Ia juga terlihat memegangi perutnya. Kasihan, setiap menstruasi ia selalu sakit begini.

"Ya, udah. Kamu di sini aja, aku beli bentar terus kita makan berdua di sini, ya?"

Ia hanya mengangguk lemas saat aku menawarinya. Aku sesegera mungkin berlari kecil menuju kantin. Saat hendak memasuki lift, Pak Riandra melangkahkan kakinya ke dalam lift setelah aku masuk. Pintu lift tertutup dan sekarang cuma ada kami berdua.

"Ke kantin, Pak?" tanyaku basa-basi. Aku masih sedikit tidak enak karena kejadian di depan ruangan HDR seminggu yang lalu. Meski sudah lama, aku terkesan angkuh saat itu.

"Ya ... iyalah," jawabnya singkat, lalu kembali sibuk bermain ponselnya. Saat lift terbuka, aku keluar lebih dulu darinya. Terlihat Pak Riandra masih asik bermain handphone sambil berjalan.

"Bu, bubur ayam satu, nasi goreng satu, sama teh hangatnya dua, ya," teriakku ke Ibu kantin. Keadaan kantin lumayan ramai sampai aku harus sedikit berteriak.

"Makan sini apa dibungkus, Neng?" tanyanya yang samar terdengar olehku.

"Dibung-"

"Makan sini aja, Bu. Kalau saya, nasi goreng sama teh hangatnya juga," ucap seorang pria yang tiba-tiba saja ada di belakangku. Pria itu Pak Riandra.

"Siap, Pak." Ibu kantin dengan sigap menyiapkan pesanan kami.

"M-maaf, Pak. Tapi saya mau makan sama-"

Lagi, ia memotong kalimat yang ingi. aku ucapkan. "Sama saya, kan? Udah, jangan malu-malu gitu. Duduk di ...." Ia terlihat celingukan mencari kursi kosong yang tersisa di antara banyaknya karyawan yang sedang makan siang. "Ah, di sana aja," tunjuknya ke sebuah meja kosong.

Terpaksa aku menuruti maunya. Ia mempersilahkanku untuk berjalan terlebih dulu. Kami sekarang duduk berhadapan. "Kamu ada janji dengan saya, loh, Ri," ucapnya setelah saling diam beberapa menit.

Aku merasa agak bingung. Janji apa? Bertemu dengannya saja baru dua kali. "Janji apa, ya, Pak?" tanyaku sedikit takut. Aku mana pernah menjanjikan sesuatu pada seseorang.

"Janji temani saya makan siang. Waktu saya di ruang HRD seminggu yang lalu, kamu janji mau temani saya makan siang, kan?" jelasnya. Aku berpikir sejenak untuk mengingat-ingat kejadian seminggu yang lalu. Ah, iya, aku baru ingat. Tetapi saat itu bukannya aku tidak berjanji, kan?

"Saya kayaknya waktu itu nggak janji, deh, Pak," jawabku. Memang benar, kok, kalau aku tidak meninggalkan janji. Jangan-jangan dia berbohong.

"Seingat saya, sih, kamu janji. Ah, udahlah, yang penting sekarang kita bisa makan siang bareng," ucapnya. Aku hanya memandanginya sedikit heran. Manusia ini tingkahnya tidak seperti pertama dan kedua kali aku bertemu dengannya, yang sekarang ini lebih sok asik menurutku. Apa lagi kami baru berkenalan beberapa jam.

Hujan di Januari [TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang