01. Pukul Dua Belas Malam

1.5K 186 183
                                    


Taruhlah aku di bawah sinar mentari,
Hanyutkanlah aku bersama sang takdir,
Lumpuhkanlah aku kala jago merah membara,
Setelah itu, silakan sepuasnya berkelakar, wahai semesta.

Kelakar Dunia
Lembaran pertama, halaman pertama.

________

Sebagai sulung, laki-laki beriris merah rubi ini memiliki ratusan kisah yang siap untuk diceritakan kapanpun, di manapun, pada siapapun. Setiap kisahnya pun memiliki karakteristiknya masing-masing. Dijamin, siapapun yang mendengar kisah yang diceritakan oleh laki-laki ini pasti tidak akan mengantuk; karena setiap kisah yang ia ceritakan adalah sepotong rencana kehidupannya yang gagal ia realisasikan.

Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam, tapi laki-laki berusia kepala tiga ini masih kokoh duduk tegak di ruang kerjanya dengan mata yang fokus pada laptop. Seharusnya, malam ini dia pulang ke rumah. Namun, dirinya lebih memilih menenggelamkan diri ke dalam dunia kerja hingga larut malam, seakan-akan tidak ada hari esok untuk mengerjakan.

Sekilas, dia melirik ponselnya; melihat sebuah notifikasi pesan dari (yang ia duga) istrinya. Akan tetapi, Halilintar mengabaikannya dan mematikan ponselnya yang tadi sempat menyala. Untuk sekarang, dia benar-benar harus fokus ... dan istrinya pasti mengerti akan hal itu. Oleh karena itu, untuk beberapa saat dirinya memiliki pikiran akan menelantarkan rumah seperti dulu lagi; kala ia masih remaja.

"Haish ... memang pada dasarnya hidup itu gak gratis. Ada aja yang harus dibayar biar bisa hidup."

________

"Pagi Bang Hali!" Sapaan penuh energi itu Halilintar dengar kala adik pertamanya, Taufan, memasuki ruangannya. Dia benar-benar tampak segar sekarang. Halilintar bisa menduga bahwa semalam adiknya ini bersenang-senang tanpa jeda. Oleh karena itu, kini tampak sangat bersemangat. Kalau semalam tidak terjadi apa-apa sih, Halilintar yakin pagi ini pasti Taufan akan murung dan malas-malasan sampai moodnya naik kembali.

"Buset, panda banget matanya. Semalem gak tidur?"

"Lembur sedikit. Lu pada gak pernah mau lembur sampe jam segitu, sih."

"Tidur jam berapa?"

"Jam tiga."

"Bangun?"

"Jam setengah lima."

Sejak saat itu, senyum Taufan berubah seperti logo kumon. Taufan itu paham bagaimana Halilintar menjalani hidup; bagaimana karakteristik Halilintar. Tentang lembur sampai segitunya pun Taufan juga sudah hafal. Sampai-sampai rasanya mengoceh saja dia sudah lelah.

"Pantes tadi pagi istrimu nelpon, Bang."

"Oh ya?"

Taufan mengangguk, "Iya, katanya dari semalem ditelepon dan lain-lain gak ngangkat. Buset, udah gak sayang bini?"

Mendengar ucapan Taufan, Halilintar reflek melempar barang terdekat padanya. Dia mendengus sebal atas ucapan tidak sopan Taufan itu. "Gak gitu, bodoh," Katanya, memberi jeda sejenak sebelum melanjutkan.

"Gue lagi sibuk-sibuknya aja. [Name] pasti juga paham maksud gue gimana."

"Dih, pede banget. Memangnya udah komunikasiin sama [Name]?"

Lagi, Halilintar mendengus sebal. Dia tidak bisa menjawab apa-apa untuk yang satu ini. Karena mau bagaimanapun juga, dia belum ada diskusi apa-apa dengan istrinya sendiri. Namun, Halilintar cukup percaya diri kalau istrinya pasti mengerti kondisinya dan akan ikut berusaha yang terbaik. Pun, Halilintar cukup percaya diri bahwa istrinya mengerti tentang bagaimana sulitnya dia berbicara atau meminta tolong kepada orang lain.

Kelakar Dunia [√]Where stories live. Discover now