27. Masih Tanpa Pendirian

2.1K 124 0
                                    

Tangis yang 'tak bersuara, Nara lelah berfikir akankah dirinya dan Arjuna bersama selamanya? Cinta yang saling membalas kini terhalang restu.

Saat ini bagi Nara, Arjuna yang hanya bisa ditatap tanpa bisa dimiliki seutuhnya.

Menjauh dari rengkuhan sang kekasih yang masih terlelap akan tidurnya, kini ia terduduk di ruang tamu dengan sofa yang masih dilapisi kain putih sebagai penutupnya.

"Pagi, Kak?" sapa Nara kepada Faya.

"Kurang pagi, ya, Ra!" keluh Faya di ujung panggilan suara.

Matahari masih dengan enggannya menyapa, dingin di luar tetap menguasai hari, gundah yang Nara rasakan membuatnya sesak hingga ingin rasanya menangis dengan kencang. Usianya bukan dalam kurungan remaja, sembunyi pun bukan pilihannya kembali, kini sebisa mungkin ia mencari jalan keluar dengan kepala yang dipaksa tenang.

"Gue lagi di Jakarta, lo nggak mau ketemu, kak?"

Nara mendengar suara air yang melewati tenggorakan, ia yakin Faya berniat meladeni panggilan suaranya.

"Tau gue! Dan gue juga tau ini masih subuh."

Nara terkekeh sedikit mendengar keluhan Faya.

"Cie udah dilamar Juna, ya?"

"Hah?"

"Lo telephone bukannya mau cerita kalau lo habis dilamar Juna?"

Tenggorakan yang tercekat, kalimat yang terdengar bukan membuatnya bahagia melainkan menciptakan kumpulan takut yang membuat nyeri di hatinya.

Bagaimana ini?
Harus apa?
Apa yang akan terjadi?

Banyak pertanyaan yang terdikte di pikiran Nara, mulai dari mempertimbangkan dirinya, Arjuna hingga orang tua mereka.

"Ra? Nara!" panggil Faya di ujung panggilan.

"Eh iya, kak."

Faya merasa nada bicara Nara sedikit berubah, apa Nara belum mengetahui rencana Arjuna? Apa Faya telah menghancurkan rencana Arjuna?

"Belum, ya, Ra? Maafin gue."

Nara meraup oksigen yang diperlukan, ia dengan cepat menguasai diri, menimbang kembali apa yang sudah didengar dan apa yang akan ia lakukan.

Tertawa kecil dengan harap Faya dapat tertipu sedikit. "Santai, kak! Mungkin nanti pagi, gue pura-pura enggak denger ucapan lo yang tadi deh."

Di ruangan yang asing ini Nara merasa tersudut dengan kenyataan yang baru ia lewati, berharap hari kemarin tidak terjadi. Rangkaian cerita yang sudah Tuhan garis meminta Nara bertahan, namun makna apa yang sekiranya ingin disampaikan Tuhan kepada pasangan ini? Belajar kembali arti melepaskan atau meminta mereka berjuang dalam genggaman bersama.

"Trus ada apa telphone gue? Jangan bikin khawatir deh!"

"Gue mau tanya seandainya nih, lo dilamar seseorang dan dia langsung datang ke rumah lo dengan niat itu, hubungan lo sama Kak Leo gimana?"

Ada jeda setelah Nara menanyakan itu. "Gue perjuangin Leo lah, gue tolak lamaran itu, lagian ngapain tiba-tiba ngelamar, NGACO!"

Nara anggukan kepalanya, "kalau kebalikannya?"

Asli Nara kesambet apa nanya beginian pagi-pagi buta! monolog Faya sebelum menjabarkan jawaban untuk sepupunya tersebut.

"Gue ributin orang tuanya Leo!"

Nara tidak menyangka jawaban yang ia dapat terdengar begitu percaya diri. "Orang tuanya Leo tau gue pacarnya, kalau mereka mau ngelamar cewek lain putusin hubungan gue sama Leo dulu." Faya menghela napasnya, "kenapa tanya gitu?"

Nara menjelaskan alasannya, ia sempat berucap kepada Dean untuk segera melamar wanita yang pria itu sukai dan bersyukur Dean menolak sarannya karena sudah pasti hanya ada penolakan yang akan pria rapih itu terima.

"Dean? Bukannya dia habis putus?"

"Iya, makanya gue bilang kalau lo suka cewek langsung lamar aja."

"Sumpah lo ngaco banget, Ra! Lamaran ke rumah itu butuh persetujuan kedua pihak, enggak bisa yang namanya langsung dateng gitu aja."

Nara mendengar dengan seksama kalimat-kalimat yang berarti untuknya, sejujurnya perbincangan ini hanya topik tambahan supaya Faya tidak begitu menyadari apa yang terjadi kepada Nara saat ini.

"Oya satu lagi. Jika diminta mengikhlaskan lalu dipaksa pisah sama Kak Leo karena lo nggak mau jadi penghalang kebahagian dia, lo bakal lakuin itu, nggak?" Nara merasa was-was selama bertanya, jemari telunjuk bergerak gelisah memaikan kutikula yang terdapat di ibu jari.

"Ngikhalsin? Gue?"

Nara anggukan kepala walau ia sadar Faya tidak akan melihatnya.

"Gue tanya dulu, Leo masih mau sama gue atau enggak. Kalau masih mau ya gue perjuangin, nggak ada ikhlas mengikhlaskan di hubungan yang udah kita jalanin berdua!" Faya menekan kata berdua pada kalimatnya.

Hubungan yang disetujui kedua pihak, dilalui berdua, dan jika ada perpisahan harus dengan persetujuan bersama.

"Kenapa pertanyaannya aneh-aneh?"

"Nggak apa-apa si, Kak. Kemarin tuh staff butik ada yang cerita ke gue dan gue bingung jawabnya."

"Memang lo jawab apa?"

"Lepasin," jawab Nara pasrah.

Faya yang saat ini bukan Faya yang masih duduk di bangku kuliah dulu, ia sadar ada yang tidak beres dengan Nara.

"Gue rapih-rapih dulu, lo mau gue jemput?"

"Gue sama Kak Juna kok di sini."

"Share loc!" paksa Faya.

Faya mengetahui ada yang aneh dari Nara yang menelponnya pagi-pagi buta. Faya meminta agar Nara menceritakan apa yang telah terjadi dengannya.

Bibir itu bergetar dengan air mata yang memaksa keluar, ia berbicara  tentang perasaannya, ia menceritakan akan takutnya. Bertanya tentang posisi wanita yang selalu sulit untuk diterima di keluarga sang lelaki dan dengan tiba-tiba meyakinkan diri untuk tidak memilih ikhlas kembali.

Seperti orang bodoh yang dikuasi putus asa, langkah yakin yang hanya terucap dari mulut namun seketika hancur saat ingatan itu kembali, kalimat lembut namun memaksa, kalimat sederhana dengan permohonan maaf dan terima kasih yang nyatanya adalah pisau tajam bagi wanita manis ini.

Nara benci bimbangnya, dirinya dibuat 'tak berdaya dengan keadaan ini, satu sisi ia ingin tetap bersama Arjuna namun di sisi lain ia juga takut jika Arjuna tidak akan bahagia dengannya.

"NARA!"

Seperti dipukul, fokus Nara kini kembali. "Dengerin gue, tarik napas lewat hidung terus hembusin lewat mulut, lakuin terus sampe lo tenang."

Masa depan yang ia bayangkan bersama Arjuna kini tertutup kabut tebal, ia yakin jarak pandangnya akan terhalau air mata.

"Semua ketakutan lo hanya Arjuna yang bisa jawab, gue yakin rasa yang Arjuna miliki itu besar, mimpi lo untuk bersama Arjuna nggak akan terputus, Ra."

Bagaimana jika Kak Juna juga nyerah?
Bagaimana jika orang tua Kak Juna berbuat lebih untuk hubungan ini?
Bagaimana jika ibu tahu anaknya dicampakan?

Nara tetaplah Nara, wanita dengan sejuta pikirannya, wanita yang selalu bimbang akan langkahnya, wanita yang tidak memiliki pendirian, wanita yang mudah terbawa arus, namun tulusnya membuat dirinya lebih mementingkan orang lain.

"Percaya Juna!"

Pesan terakhir yang Faya ucapkan sebelum menutup panggilan suara membuat Nara berpikir akan langkah selanjutnya.

fine line [END]Where stories live. Discover now