Prolog

2.1K 224 38
                                    

Ada yang perlu aku kritisi dari bagaimana rakyat Indonesia merayakan kemerdekaannya. Baiklah, oke, kalau mau menyelenggarakan lomba panjat pinang berhadiah kerupuk bawang, sendal jepit, atau setrikaan listrik, okelah—silahkan, terserah, tidak apa-apa. Namun, kita semestinya lebih mengedepankan perihal semacam memikirkan ... dengan cara apa Indonesia sesungguhnya dimerdekakan? Kita tak merdeka melalui perlawanan gerilya mempergunakan bambu runcing. Kita merdeka karena perjuangan Agus Salim dan teman sejawatnya dalam memperoleh pengakuan internasional pada Asia, Afrika dan forum Internasional PBB. Ketimbang mengadakan lomba balap karung, panjat pinang, lomba estafet air, menangkap belut, lebih baik para karang taruna itu melaksanakan lomba simulasi diplomasi terstruktur antar pelajar atau ... katakanlah, mahasiswa.

Aku tak meragukan esensi dari perjuangan fisikal negaraku. Aku tetap khidmat dalam menyikapinya. Aku hanya berpikir.

Bro, astaga, mempersiapkan agresi militer melawan kompeni—atau, VOC, atau, Belanda dan pendatang lainnya itu susahnya bikin mencret. Diperlukan darah. Jika aku ada di sana, di zaman itu, aku akan menyumbang aspirasi begini; fellas, kita nggak perlu capek-capek mengangkat senjata. Kita minta duit saja pada Sultan Hamengkubuwana untuk menyekolahkan muda-mudi kita di Hollandsch-Inlandsche School. Supaya anak bangsa kita terdidik, dan kita dapat melawan penjajah secara diplomasi.

Aku enggak suka yang susah. Kalau bisa dibicarakan baik-baik, mengapa memilih jalan sulit? Anggap saja aku tong kosong nyaring bunyinya. Jangan justifikasi aku. Aku hanya melamunkan ini ketika aku selesai mengisi lembar kerja ujian matematikaku—aku tergolong cepat dalam merampungkan ujian tulis. Aku sudah selesai sedangkan teman-temanku masih menghitung di kertas kotretan.

Aku juga bukan orang pintar. Aku tidak dilahirkan jenius. Aku hanya selalu berusaha menjadi pintar. Aku berasal dari keluarga di kampung. Keluarga buta huruf, tak berpendidikan, dan gagap teknologi. Aku satu-satunya anak muda yang melanjutkan pendidikan ke luar negri karena beasiswa dari perusahaan rokok—jadi, berakhirlah aku disini; di SMA Pulau Rintis.

Aku bertopang dagu. Aku memindai sekeliling. Astaga. Teman-teman sekelasku itu mengerjakannya dengan cara apa, sih? Mereka lama. Aku mau mengumpulkan lembar kerjaku duluan, tapi aku takut dikira orang pintar. Aku nggak suka jadi pusat atensi ...

Lagian, aku rasa, aku bukan tergolong orang yang pinter-pinter amat di persaingan sekolah ini. Banyak orang pintar lainnya.

"Pak!" Seseorang mengangkat tangan. Seisi kelas langsung mencari siapa sumber suara gaduh disana. Suaranya ada tepat di depanku; ia teman sekelasku, namanya Solar. Aku ingat namanya karena ia menunggak uang kas selama dua minggu. Aku bendahara kelas. Tentu saja aku ingat. Anak bangsat itu diantar jemput mobil bagus, tapi pembayaran kasnya macet. Memang anak iblis.

Aku nggak begitu dekat dengan anak laki-laki. Terutama Solar. Katanya, ia populer sekali—tapi tidak sepopuler Halilintar, kakaknya.

"Apa? Mau ke toilet?" Cikgu Zola, pengawas ujian kami, bertanya.

Solar menggeleng. Ia berdiri dengan kerennya. Anak-anak lain menonton apalagi tingkahnya kali ini.

"Aku sudah selesai." Ia berbangga diri mengumandangkannya di depan kelas. Ia pongah. Ia angkuh. Ia juga narsis.

Papa Zola merebut kertasnya, melotot pada tiap kunci jawabannya, memeriksa apakah anak itu menjawab asal atau bagaimana.

"Yang benar saja! Ini baru setengah dari waktu ujian." Papa Zola teriak-teriak.

"Soalnya gampang-gampang, Papa Zola." Solar kembali ke bangkunya, dan membereskan peralatan ujiannya ke ransel.

Solar sempat menengok pada mejaku—pada kertas ujian yang telah aku selesaikan dengan telaten dalam kurun waktu empat puluh menit saja, sehingga pada praktiknya, setelah merampungkannya, pikiranku bercabang kemana-mana sampai aku mengimajinasikan bagaimana cara Kabinet Sjahrir, Kabinet Amir Sjarifuddin, dan Kabinet Hatta memerdekakan Indonesia secara seutuhnya.

Aku cepat-cepat membalikkan kertas ujianku, tak membiarkan Solar melihat lebih jauh. Aku tidak takut dicontek. Toh, Solar sudah selesai. Aku hanya takut Solar mengiraku sebagai anak pintar.

Solar tak menghiraukannya. Solar pergi dari kelas, sambil mendadah pada Taufan, bestinya, seakan mengejeknya. Taufan mendengus kesal.

-

Setelah diitung cermat cermat, ternyata ini lebih banyak yg req. Soalnya dari book oneshootbya juga gituu. Sorry ya yg nungguin interpol agent:( next time chapter voting lagi dehh

Solar x Reader | Mamanya GlacierDonde viven las historias. Descúbrelo ahora