01. Semua Punya Mimpi

9 0 0
                                    

"Terkadang tidak semua mimpi harus terjadi, tapi kita usahakan punya banyak mimpi, karena gagal disatu bidang tidak menutup semua kesempatan yang ada."

—Bolpoin Remaja—






















Suatu hari ditemani deretan bangku yang kosong, suasana hening yang dingin. Seorang gadis berambut cokelat kehitaman sebahu menenggelamkan wajahnya di meja, mengawali pagi dengan menelusuri mimpi.

"Dia belajar untuk jadi bodoh."

Walau berisik dan memenuhi isi kepala si gadis, tampaknya dia tak terusik sedikit pun. Karena dia Milqueenza Neilona-pembawa masalah terbesar di SMASTANA, sekolah yang dimiliki oleh ibundanya sendiri.

Milqueenza, menutup telinganya rapat-rapat. Ketika teman kelasnya mulai berdatangan, banyak dari mereka sempat mencibir Milqueenza. Padahal, apa salahnya dari tidur? Semua orang juga tidur, 'kan?

Bolpoin tebal berwarna hitam berkilau mengetuk kepala Milqueenza, dalam keadaan setengah sadar mata Milqueenza terbuka lebar. Gadis itu mendongak ke arah si pelaku, belum mengangkat suara, beberapa tumpukan kertas dilempar ke mejanya.

"Kamu harus isi ujian susulan kemarin!"

Suaranya yang cempreng, membuat gendang telinga Milqueenza hampir robek. Milqueenza pun memasang headset di kedua telinganya, kembali menatap temannya sambil memberikan setengah senyumannya.

"Kamu tuli? Cepetan isi!"

Sedikit demi sedikit, Milqueenza menarik napas sedalam mungkin. Sekretaris di kelasnya ini begitu menyebalkan, suaranya merusak kedamaian. Bahkan, saking gaduhnya mereka berdua menjadi pusat perhatian.

"Nanti aja," balas Milqueenza seadanya.

Tidak ada lagi paksaan, kertas itu ditarik secepat kilat. Dengan amarah yang membuncah sang sekretaris meninggalkan perdebatannya bersama Milqueenza. Karena semua akan percuma, gadis batu seperti Milqueenza sulit jika dia tidak mau.

Perlahan Milqueenza memejamkan matanya, sambil menikmati lalu-lalang perkataan yang tak benar mengenai dirinya. Emosinya tetap stabil, walau beberapa dari mereka ada yang sampai meneriaki Milqueenza. Ibaratnya sekolah adalah tempat yang menyiksa batin Milqueenza.

Jam pelajaran pertama berlangsung, Milqueenza sama sekali tidak mengubah posisinya. Mendengarkan pak guru yang sedang memberikan materi membuat suasana semakin cocok untuk menutup mata.

"Saya yakin kalian semua punya mimpi, baik itu jadi apa saja, saya tahu kalian bisa mengapainya. Oleh karena itu, Bapak harap kalian sungguh-sungguh dalam belajar, orang yang punya keinginan pasti akan semangat meraihnya. Bukan malah numpang tidur di sekolah," kata pak guru yang terasa menyindir Milqueenza.

"Setidaknya kalau tidak bisa memberikan prestasi, janganlah mencemari nama sekolah," tambahnya hingga Milqueenza tertarik untuk menanggapi.

"Iya, kamu." Pak Guru mempersilakan Milqueenza yang mengangkat tangan.

Embusan napas berat keluar. Milqueenza melemparkan tatapan serius ke arah guru tersebut.

"Apa dengan pintar dapat menjamin kita sukses?"

Semua tampak bergeming, dehaman pelan pak guru mendominasi ketegangan di ruang kelas kali ini. Tidak ada sekalipun rasa gugup yang menimpa, Milqueenza dengan lantangnya sampai berani menautkan kedua tangan di depan dadanya.

Bolpoin Remaja Where stories live. Discover now