II. Moriarty

6 2 1
                                    

Senandung permainan musik orkestra mengiringi pengantin. Dari ujung pintu ia menggenggam buket mawar, berjalan menuju altar dengan wajah tertutup wedding veil. Gaunnya putih bersih terhias mutiara yang berkilauan. Elegan meski langkah tertatih-tatih kesulitan berjalan mengenakan heels tinggi. Sekiranya gugup, lamun ia terdiam di hadapan mempelai pria.

Tampan juga berwibawa. Berjas formal berwarna putih dengan sekuntum bunga di saku dada. "Kemarilah," ujarnya mengulurkan tangan untuk menyambut ia menghadap pastur. Mereka telah menunggu lama supaya hubungan mereka diberkati. Hari pernikahan sepasang kekasih berinisial L dan F akhirnya tiba.

Para hadirin yang duduk di barisan terdepan tampak berkaca-kaca. Momen yang mengharukan, terutama William yang melihat adiknya begitu dewasa. Sementara Louis sekadar menghela napas diam-diam, perihal tak ingin ketahuan mata umum. Perlahan lirikannya berawal dari cincin melingkari jemari manisnya berpindah ke arah insan yang disebutkan namanya.

"Apakah Feath Trouvaille bersedia menerima Louis James Moriarty sebagai pasangan hidupmu, untuk mencintai dan menghormatinya, dalam suka dan duka, dalam kesehatian dan kesakitannya?"

Tepuk tangan meriah menguasai ruangan setelah mengucapkan sumpah nikah. Kini ia resmi menjadi Nyonya Moriarty. Bangsawan yang dipandang baik, terkenal, istri Louis James Moriarty. "Hah..." Louis mendengus. Harus sampai kapan mereka bersandiwara? Bahwa faktanya, mereka menikah kontrak.

Seminggu terakhir kemarin Louis memberanikan diri membuka hati. Ia terang-terangan keluar mansion di siang bolong, menemui Feath sesuai janji temu. Tak ada yang tahu siapa gerangan teman barunya. Louis pun sungkan memberitahu ciri mau identitas Feath pada anggota organisasi Lord of Crimes, selain William serta Albert. Ia yakin, semakin banyak orang kenal Feath semakin mudah terbongkar penyamarannya selaku kriminal negara. Alasannya hanya satu, yaitu ingin mempertahankan hubungan persahabatannya.

Kedai di daerah Baker Street selalu menjadi titik spot yang enak mereka berkencan. Sore hingga malam tak usai bercanda, percakapan hangat yang menumbuh kepercayaan, menceritakan kisah lama, sampai di puncak mereka dapat saling percaya. Louis saja yang biasa tertutup perlahan bersuara menceritakan bebannya.

Hilangnya motivasi hidup adalah kekhawatiran Louis. Dengan nada yang lelah ia meminta Feath mendengarkan. Bukan bermaksud mengemis belas kasihan, melainkan Louis butuh seseorang mengerti kesulitannya bertahan. Ia berusaha menghindari topik keterlibatannya di Lord of Crimes karena takut ketahuan, maka Louis mengubah ceritanya sedikit.

"Aku–" Gaya bicara Louis beralih relaks. "Bekerja di komunitas... yah, jadwalnya tak buruk. Aku suka bidang pekerjaanku."

Feath berusaha menenangkan Louis. "Lalu? Apa yang salah?"

"Tekanan pekerjaan."

Di luar masalah bekerja, ekspektasi masyarakat pula menekan batin Louis. Peraturan 'peran gender' yang menghancurkan hobinya. Lelaki dilarang menapakkan kaki di dapur, perempuan wajib berdandan cantik. Norma sosial abad sembilan belas mengharuskan Louis selalu bersikap maskulin, padahal ia tak selamanya kuat melawan masalah. Di kala ia sedikit sentimental, masyarakat menyindirnya.

Cara dunia memandang, menjebak Louis dalam citra yang diterapkan masyarakat.

Feath menanggapi kesedihan Louis tanpa menertawakannya. "Berat bagi kita memperjuangkan kebebasan. Hak saat manusia lahir di dunia, tetapi..." Stereotip mengekang pergerakan mereka. "Kau memiliki potensi luar biasa. Terlepas dari apa yang masyarakat harapkan, aku siap mendukungmu."

Haru menyelimuti hati Louis. Jawaban sahabatnya menghangatkan dada, bersama pipi tersipu merah dapat menumpahkan perasaan terpendam. "Terima kasih..." Ia bahagia Feath menerima kekurangannya. Di akhir kata, Louis tahu ia tak lagi sendiri mengarungi konflik hidup. "Apakah aneh lelaki memasak?"

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 27 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

kalopsiaWhere stories live. Discover now