Chapter 2: Tentang Aula

113 13 2
                                    

"Itu intermezzo aja ya, soalnya saya liat - liat kalian pada ngantuk. Giliran saya cerita horror langsung antusias, bener - bener mahasiswa Elektro kok suka banget sama yang mistis."

Ucapan Pak Irwan, dosen Gambar Teknik membuat seisi kelas tertawa, kecuali aku dan Nayra. Kalau aku, karena memang penakut, sedangkan Nayra karena dia memang pernah melihat sesuatu di sana, dan bukan hanya satu.

Iya, dosen yang terkenal gaul dan asyik dengan para mahasiswanya ini baru saja menceritakan kisah horror dari sebuah gedung yang terkenal kemistisannya, Aula B. Di kampus kami ada beberapa Aula, tapi yang paling terkenal di kalangan mahasiswa untuk dihindari adalah Aula B. Letaknya di paling ujung, dan jelas saja jarang digunakan, padahal interiornya bagus sekali kalau menurutku. Aku pernah ke sana beberapa kali, salah satunya untuk tes masuk kampus ini.

Kebanyakan mahasiswa tidak akan menggunakan ruangan itu karena kegiatan mereka pasti hingga maghrib bahkan tengah malam. Yang sering memanfaatkannya adalah orang - orang manajemen kampus yang mau tidak mau tetap harus menggunakannya karena terlanjur dibangun dengan bagus sekali, sudah pasti takut rugi dan tidak akan mendapatkan anggaran perawatan jika tidak pernah digunakan.

"Ngga usah bayangin yang engga - engga."

Ronald menepuk bahuku, membuatku tersadar dari lamunanku barusan. Lagi - lagi, dia bisa membaca pikiranku. Lama - lama aku jadi takut, kalau Ronald benar - benar punya ilmu untuk membaca pikiran, karena tak jarang aku menyumpahinya dengan hal - hal jelek di dalam hati karena kejahilannya padaku.

"Ngga usah lebay, aku lagi mikir mau se kelompok sama siapa buat tugas ini."

Aku mencoba menyangkal. Tidak akan pernah aku akan mengakui kalau ucapan Ronald kebanyakan benar.

"Lu ngincer Paundra, kan? Karena dia jago. Jangan salah, gue juga. Udah lu sama gue aja."

"Dih, kamu pikir aku ngga tau, kemaren disuruh bikin box panel pake 3D malah jadi kaleng kerupuk punyamu."

Bukannya mengelak, Ronald malah hanya tersenyum tanda setuju. Sudah kuduga, dia hanya akan menjadi beban kalau dijadikan teman satu grup. Tapi sebenarnya dia juga pintar, hanya ssja di mata kuliah tertentu, sedangkan Paundra hampir menguasai semua mata kuliah di jurusan ini kecuali Bahasa Inggris.

Paundra memang blasteran, tapi bahasa Inggrisnya level 'no smoking' dan 'how are you, i'm fine, thank you'. Tidak salah sih, karena papanya bule Jerman, sehingga dia lebih fasih berbahasa Jerman. Sedangkan mamanya orang Jawa asli yang membuat Paundra sangat mahir berbahasa jawa halus. Tak jarang, ketika ada orang tidak dikenal mencoba berbicara bahasa inggris dengannya, dia akan menjawab dengan bahasa Jawa halus, yang tentunya akan selalu mengagetkan orang tersebut.

"Itu berdua yang asyik ngobrol sendiri, bisa dilanjutin ngobrolnya lebih dalam karena kalian se grup untuk project ini. Yang lain boleh pilih sendiri, silakan dikumpulkan softfilenya terakhir lusa ya, jam 12 malam. Sekian, selamat sore."

Kalimat penutup Pak Irwan untuk mengakhiri kelas ini jelas saja membuatku kesal. Orang yang menurutku beban malah dijadikannya teman satu grupku. Andai saja aku tidak menanggapi celotehan Ronald tadi, mungkin aku bisa satu grup dengan Paundra, atau mungkin Bilal yang lebih jago lagi di mata kuliah ini, mungkin dalam semalam pun bisa selesai.

"Halah Ron... gara - gara kamu ini, ngga mau tahu kamu yang bikin denah 3D rumahnya. Aku bagian perhitungan sama instalasi listriknya, oh sama kabelnya dalam bentuk 3D juga. Pokoknya semua yang 3D kamu, titik."

Sesaat setelah Pak Irwan ke luar ruangan, kuluapkan kekesalanku kepada Ronald.

"Iya, nanti gue bikinin kaleng kerupuk raksasa buat rumah kita."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 02 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Haruskah Kami Takut?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang