Anak Sultan mah, Bebas.

52 42 4
                                    

“Ghiska! Leena! Yara! Alvan! Chand! Dava! Kalian darimana?”

Sebuah seruan dari salah satu guru menyambut kedatangan Ghiska dan teman-teman yang datang mengendap-endap ke villa. Mereka sudah berusaha untuk tidak menimbulkan gaduh saat kembali, bahkan mobil Alvan saja sengaja di parkir cukup jauh dari area villa. Sayangnya mereka belum beruntung, hingga ketahuan oleh guru.

Ghiska saat ini kelas XII, sekolahnya tengah mengadakan kegiatan tadabur alam sebelum diadakannya ujian nasional dan serangkaian acara ujian lainnya. Tujuannya agar para siswa merasa lebih dekat dengan alam dan Sang Maha Pencipta.

Tapi hal itu tidak berlaku bagi Ghiska cs. Bukannya mengikuti kegiatan dengan sepenuh hati, mereka malah kabur dari kegiatan secara diam-diam. Acara yang digelar bulan Ramadhan seperti ini, cukup membuat Ghiska dan kelima temannya kelabakan.

Kumpulan anak-anak yang tidak pernah melaksanakan kewajiban puasa itu, harus mencuri waktu agar bisa makan dan minum di siang hari. Meskipun tidak disediakan makanan selain waktu buka dan sahur, mereka tetap bisa mencari di luar villa.

Belum lagi Alvan sang kekasih Ghiska berinisiatif membawa mobil sendiri, sehingga dia bersama teman-temannya tidak perlu ikut rombongan bis. Alvan Chashida, salah satu siswa berpengaruh karena ayahnya hampir sejajar dengan Faisal Luzman. Itulah salah satu alasan Ghiska memacari Alvan, yaitu agar terkesan satu level. Meskipun mereka menjalani hubungan tanpa sepengetahuan orang tua masing-masing.

“Eh… Bu Tami, kita… kita lagi olahraga keliling vila, Bu. Iya, kan, teman-teman ya?” sahut Ghiska mencari alasan.

“Olahraga? Puasa-puasa begini olahraga, giliran jam olahraga beneran pada kabur. Kalian ini apa nggak capek cari gara-gara terus?”

Wanita paruh baya yang mengenakan seragam berwarna navy itu geleng-geleng kepala. Sungguh dia dan jajaran guru lainnya sudah kehabisan cara untuk menasehati Ghiska dan kelima temannya. Sering kali mereka memberikan surat panggilan kepada orang tua, selalu saja yang datang adalah orang-orang kepercayaan Faisal Luzman. Mirisnya para kepercayaan itu malah meminta kasus sang putri sultan bersama temna-temannya tidak diperpanjang jika sekolah masih ingin aman.

Serba salah. Ya, itulah yang dirasakan para guru swasta yang menggantungkan hidup kepada para sultan seperti Faisal Luzman dan konglomerat lainnya. Seringkali keadilan harus rela dibeli demi mempertahankan pemasukan.

“Ya udah si, Bu… Penting kita, kan, sudah ada disini. Nggak usah drama deh,” sambar Alvan membela Ghiska.

Sebagai cowok yang berstatus kekasih Ghiska, dia tidak ingin reputasinya hancur gara-gara membiarkan sang kekasih dimarahi orang lain, meskipun itu adalah seorang guru. Bagi mereka tidak ada yang lebih patut ditakuti dan hormati selain Faisal Luzman.

Belum sempat sang guru menyahuti pembelaan Alvan, keenam remaja sultan itu sudah pergi begitu saja. Sungguh memalukan dan tidak sopan, apa gunanya disekolahkan jika tingkah lakunya malah seakan menghina para pahlawan tanpa tanda jasa itu?

Namun, apa yang bisa diperbuat oleh Bu Tami dan rekan sejawatnya? Sebagai guru di sekolah swasta tidaklah mudah, mereka tidak bisa bertindak sewenang-wenang meskipun untuk menegakkan keadilan. Selalu saja uang yang berbicara dan keadilan tidak pernah ada di sekolah yang hanya mengandalkan uang dari para donatur itu.

Tanpa mereka sadari, pemuda yang sebelumnya menegur Ghiska cs di saung tepi jalan mengikuti sampai villa. Kebetulan villa tersebut adalah salah satu milik keluarganya, hingga pemuda tersebut berani untuk masuk. Satu hal yang lebih mengejutkan lagi, sang pemuda merekam semua tindak tanduk Ghiska dan teman-temannya saat dinasehati guru tadi.

“Permisi…” 

Ucapan sang pemuda menghentikan langkah Bu Tami yang hendak pergi. Wanita yang mengenakan hijab senada dengan warna seragamnya itu menoleh ke arah sumber suara. Matanya memicing memastikan siapa gerangan yang datang ke villa bookingan sekolah tersebut? Bukankah jika dalam keadaan dibooking tidak boleh ada orang lain yang masuk?

“Maaf, anda siapa ya? Ada keperluan apa?” tanya Bu Tami menyambut kedatangan orang yang asing baginya itu.

Sontak sang pemuda mengulum senyum, dia menangkupkan kedua tangan sambil memperkenalkan diri. “Maaf jika kedatangan saya mengganggu kenyamanan anda. Saya Emir, anak dari pemilik villa ini.”

Raut wajah Bu Tami yang semula tegang, kini mulai tenang setelah mengetahui siapa pemuda yang tiba-tiba datang. Tapi itu tidak bertahan lama, dahinya kembali berkerut setelah Emir melaporkan apa yang terjadi di saung sebelumnya.

Sebagai seorang guru tentunya Bu Tami merasa malu atas tingkah laku Ghiska bersama teman-temannya yang sudah mencoreng nama baik sekolah. Tapi mau bagaimana lagi, sepertinya nasehat para guru juga tidak mempan lagi bagi anak-anak yang bersembunyi dibalik kekuasaan Faisal Luzman itu.

Kedatangan Emir yang semula berniat protes kepada para guru karena dianggap gagal mendidik para siswanya, kini pemuda tampan itu malah merasa bersalah karena sudah suudzon pada jajaran pahlawan tanpa anda jasa. Disini jelas yang salah adalah para siswa yang semena-mena hanya karena anak dari sultan dunia.

“Maaf, kalau tidak salah dengar tadi Bu Tami menyebut nama Tuan Faisal Luzman? Siswa mana yang ada hubungannya dengan beliau?” tanya Emir penasaran.

“Itu… Ghiska Luzman, gadis yang berkulit putih dan paling cantik diantara dua teman perempuan lainnya adalah putri tunggal Tuan Faisal.”

Bu Tami pun menjelaskan jika Ghiska sudah seringkali melanggar peraturan sekolah, bahkan hampir setiap hari keluar masuk ruang BK. Tapi hal tersebut seakan tidak membuat gadis berhidung mancung itu jera, yang ada malah semakin menjadi karena setiap kali diberikan surat untuk orang tuanya pun yang datang hanya para kepercayaan Tuan Faial. Hingga ujung-ujungnya permasalahan selesai begitu saja.

Emir sungguh terkejut mendengar tingkah laku putri Faisal Luzman yang sungguh berbanding terbalik dengan bapaknya itu. Jika Faisal Luzman adalah panutan bagi seluruh warga dunia, berbeda dengan Ghiska Luzman yang warga satu sekolah saja sudah resah karena ulahnya. Hanya saja karena kekuasaan sang bapak, gadis berdarah biru itu masih aman sampai sekarang.

“Kenapa Ibu tidak coba laporkan langsung kepada Pak Luzman, Bu? Kalau perlu bawa pihak berwajib juga, karena ini sudah penghinaan bagi para guru,” saran Emir dengan gemas.

“Duh, kalau untuk urusan seperti itu kami nggak berani, Mas. Kami masih butuh pekerjaan ini untuk meghidupi keluarga dan anak-anak,” sahut Bu Tami sedikit resah. 

Seorang guru juga manusia. Jika dia dihadapkan dengan pilihan dan salah satunya adalah keluarga, sudah pasti mereka memilih menyelamatkan keluarga, walaupun harus mengorbankan perasaan. 

Mendengar pengakuan Bu Tami, jujur saja membuat Emir mencelos. Sepertinya dia harus ambil tindakan untuk menghentikan perliaku para anak sultan yang sudah semena-mena. Tak perduli jika dia harus berurusan dengan orang-orang seram seperti para bodyguard dan kepercayaan Tuan Faisal, baginya yang namanya keadilan harus ditegakkan. Jika hal seperti itu dibiarkan sampai berlarut-larut, masa depan para generasi penerus yang rusak.

**** 

Imam untuk Putri Sultan Where stories live. Discover now