7. Hotel Santika

84 8 0
                                    

Selamat datang...
Jangan lupa vote dan komen ya kakak" dan adik"... lope yu buat kalian semua️❤️❤️
.
.
.
.
.

Tepat jam 22:00 mobil Yani tiba di Yogyakarta. Jalanan sudah sepi dan hanya beberapa warung-warung kecil yang hanya menjual rokok dan jamu masih terpampang dipinggir jalan. Perut Yani mulai bersuara untuk di isi lagi setelah tadi siang ia makan, Yani meminta untuk mencarikan warung makan yang masih terbuka. "Coba cari warung makanan yang masih buka jam segini." pinta Yani memegang perutnya yang meminta kembali di isi lagi setelah tadi siang ia makan tak banyak.

"Baik pak." Dedeng melihat ke sebelah ia menyetir mobil dan Bardi melihat ke kiri tempat ia duduk.

Dari semua warung yang mereka amati sejak tadi hanya sebuah gerobak yang bertuliskan Sate Mang Udin, yang menjual makanan. Dedeng mencari tempat yang cocok untuk memarkirkan mobil dan terhalang atau apapun itu. Bardi keluar duluan membukakan pintu untuk Yani keluar. Dedeng keluar terakhir, mereka berdua mengikuti Yani dari belakang seperti anak kecil yang mengikuti ayahnya.

"Pak sate nya tiga ya, makan di sini." pinta Yani, Mang Udin mengiyakan tanpa menoleh ke belakangnya. Ketika menghadap Yani, mata Mang Udin terbelalak melihat Yani. Seorang Letjen yang mampir untuk menyantap dagangannya. Ekspresinya yang menegang membuat Yani keheranan.

"Bapak tidak apa-apa."

Mang Udin tersadar dari ketegangan tadi. Memastikan apa itu benar Letjen Ahmad Yani. "Iki, Pak Yani toh?." ucapnya pelan tak ingin Yani tersinggung.

Keheranan Yani tadi terungkap, Mang Udin terkejut dengan kedatangannya. "Benar ini saya Ahmad Yani, kok jam segini masih buka?. Opo ndak takut dengan perampok atau lainnya?." rentetan pertanyaannya membuat Mang Udin lebih tegang yang mana akan ia jawab dulu.

"Apa ini keberuntungan bagi saya bertemu secara langsung dengan Pak Yani."

Sembari memakan sate Yani hanya tersenyum begitu juga dengan kedua ajudan dan supirnya. "Saya tidak pulang sampai dagangan saya habis pak. Jika tidak laku dapat dari uang untuk membeli bahan-bahan untuk jualan besoknya."

Yani yang mendengarnya merasakan sedih, Mang Udin hanya tersenyum. Senyum terpaksa ia terbit untuk menyembunyikan sedih dan pahitnya kehidupan. Pikirannya seketika mengingatkan orang tuanya dikampung. Ayahnya hampir mirip seperti Mang Udin tidak akan pulang sebelum membawa uang banyak, untuk menyenangkan hati keluarga dirumah yang menunggu.

Selesai makan, Yani membayar makanan tadi. "Berapa semuanya pak."

Mang Udin yang sedangkan membereskan piring-piring menghampiri Yani yang berdiri disamping gerobaknya. "5 ribu saja pak."

Membuka dompetnya Yani menarik uang senilai 20 ribu. "Ini pak uangnya."

Melihat uang besar ditangan Yani, ia melotot di jaman ini uang 20 ribu hampir setara dengan uang 100 ribu apalagi rakyat kecil yang tidak miliki uang sebanyak itu. "Apa tidak ada uang kecil pak?, saya tidak punya kembalian."

"Ya sudah tidak apa-apa. Ambil saja kembaliannya untuk Mamang ya, hitung-hitung membantu Mamang juga. Saya pamit ya, jika saya ke Yogyakarta lagi pasti saya mampir sekeluarga makan sate Mamang rasanya enak sekali." Yani mengacungkan 2 jempol dan tertawa kecil. Bardi dan Dedeng juga mengacungkan nya seperti Yani.

Mereka pun melanjutkan perjalanan untuk menginap di sebuah hotel, kebetulan sebelum ia ke Yogyakarta sudah memesan terlebih dahulu. Kedatangannya disambut hangat oleh pelayan, tidak mau merepotkan pelayan Bardi dan Dedeng mengambil kopernya dan juga milik Yani sendiri saja. Menekan tombol angka 2, lift perlahan naik keatas. Keluar dari lift mereka menyusuri lorong nan sunyi, sampailah didepan pintu berwarna coklat tertera nomor diatas 25 kamar Yani untuk melepas lelah sebelum melanjutkan aktivitas pagi besok. Masuk kedalam kamar, Bardi meletakkan koper Yani disamping lemari tinggi berwarna putih dengan kaca berbentuk lonjong.

Anak Emas Soekarno Yang Tersingkir Where stories live. Discover now