chapter 6; Sakit

49 8 0
                                    

Dan benar saja, keesokan harinya Awan terkena diare. Sedari pagi ini sudah bolak-balik terus-menerus untuk pergi menuju toilet. Narendra yang biasanya tidak bisa bangun pagi itu pun dapat terbangun akibat sosok yang lebih tua darinya mengeluarkan suara-suara aneh dari arah toilet.

Si pemilik netra orange pun juga terbangun dari tidur lelapnya, ia melangkahkan kakinya menuju sumber suara itu.

Mereka berdua berpapasan, pemilik mata kelam itu menatap yang lebih pendek darinya dengan perasaan yang tidak dapat diutarakan.

"Duh, gimana ini. Ini salah kita karena memberikan makanan yang tak layak itu semalam. Seandainya kemarin langsung dibuang saja, pasti bang Awan tidak akan memakannya," keluh Narendra sambil memijat pelan kepalanya, pusing. Ia benar-benar merasa bersalah karena membuat abangnya sakit.

"Maaf... Ini salahku..." Ia berkata dengan suara yang parau. Pemuda itu menundukkan kepalanya, meremas erat bajunya yang sedikit lebih besar itu—yah wajar saja, baju itu milik Narendra, bahkan baju itu sudah ukuran yang paling kecil, namun sepertinya memang tubuh bocah di depannya ini lebih kecil dari anak seumurannya.

"Ini bukan salahmu saja, salahku juga karena telah membuat makanan itu lebih buruk," sesalnya.

Tak selang beberapa menit kemudian, nampak Awan yang sudah keluar dari toilet. Wajahnya pucat pasi, tangannya memegang perutnya, nampak masih belum sembuh sama sekali. Kedua pemuda itu melangkahkan kakinya menuju Awan dengan terburu-buru. Untung saja tidak ada yang tersandung.

"Bang, maaf... Kami tidak bermaksud untuk meracuni abang..." Sorot khawatir terlihat pada mata hitam kelam milik Narendra itu, Awan tersenyum tipis, menepuk pelan pundak sang adik. "Gapapa, ren. Bukan masalah besar. Tapi sepertinya aku tidak bisa mengambil pekerjaan hari ini. Boleh tolong ijinkan aku pada atasanku yang ada di kota? Nanti akan kuberikan peta tempatnya." balasnya.

"Baiklah, aku akan sekalian membeli obat di kota nanti." Narendra mengangguk setuju dengan pernyataan Awan.

"Makasih, ren. Dan oh iya, padahal sudah dua hari kamu disini tetapi aku belum mengetahui namamu, tidak enak jika aku terus memanggilmu dengan sebutan 'kamu'. Jika boleh tau, siapa namamu?" lanjut Awan sembari menatap mata pemuda di depannya itu.

"Um, panggil saja Febfeb, orang-orang memanggilku dengan sebutan itu."

"Oke, Feb. Kamu mau ikut dengan Narendra menuju ke kota atau tinggal di sini saja denganku?"

"Aku akan ikut dengannya, ini juga menjadi tanggung jawabku karena membuatmu sakit seperti ini, maaf..." Suaranya terdengar bergetar, seperti orang yang akan menangis. Melihat hal itu Awan mengelus kepala Febfeb pelan, "Tidak apa-apa Feb, yaudah kalau begitu, kamu siap-siap dulu sama Narendra. Aku akan mengambil peta lokasinya di kamarku."

Setelah mengatakan itu, Awan pun pergi, berjalan menuju kamar tidurnya sembari memegang perutnya yang masih sakit itu. Siapa yang menyangka bahwa sesendok makanan semalam dapat membuat alat pencernaannya benar-benar sakit tak karuan.

. . .

Kedua pemuda itu telah meninggalkan rumah, dengan membawa beberapa barang yang dibutuhkan untuk perjalanan menuju kota, tersisa Awan sekarang diri yang ada dalam tempat itu sekarang.

Yang tidak diketahui oleh kedua pemuda itu adalah sebenarnya Awan tidak sakit karena makanan yang ia makan semalam. Ada sebuah fakta yang dirinya sembunyikan dari mereka, terutama Narendra yang sudah tinggal bersamanya beberapa tahun belakangan ini.

"Kuharap, ini bukan seperti yang kupikirkan." Ia bermonolog, meremat helai rambutnya dengan kuat, pikirannya sekarang benar-benar kacau, tak tahu apa yang akan terjadi jika hal ini akan terus menerus dirasakan oleh dirinya di masa yang akan datang nanti.

. . .

Tempat Berpijak | YTMCI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang