Chapter XI : Jangan Pulang Sebelum Wayang Usai

74 7 0
                                    

"Sebelum pertunjukkan dimulai, mohon kesediaannya untuk mengikuti pertunjukan wayang sampai selesai. Jangan pulang di tengah-tengah pertunjukan," ucap sang dalang dari balik layar sebelum pertunjukan dimulai.

Usai dalang berkata demikian, suara gamelan dan nyanyain merdu para sinden pun mulai terdengar merdu. Kami yang notabene anak gaul dari Jaksel ini pun merasa excited dan mengeluarkan handphone untuk membuat instastory. Warga desa sekitar juga turut antusias menyambut dimulainya acara ini. Sebenarnya pertunjukan wayang ini sepi penonton, hanya sekitar 10-15 orang yang nonton. Itu pun bapak-bapak. Anak mudanya hanya kami.

Kami sebenarnya bukan asli orang desa ini. Kami hanya sekumpulan anak muda yang sedang libur kuliah dan bingung ingin jalan-jalan ke mana. Kebetulan salah satu teman kami berasal dari pedesaan di Jawa Tengah. Jadi pada saat dia pulang kampung, kami sengaja ikut untuk liburan di kampung teman kami yang bernama Mayang.

Total kami berlima. Dari Jakarta ada aku, Rendy, Lisa dan Niko. Malam itu kami dengar ada pertunjukan wayang kulit di lapangan desa. Karena di Jakarta tidak ada dan kebetulan kami anak-anak FOMO, yasudah kami datang meski Mayang sempat menyarankan untuk tidak datang karena takut kami bosan atau tidak mengerti pertunjukannya.

Dan Mayang ada benarnya juga. Ternyata setelah setelah menonton satu jam lamanya kami mulai bosan. Apalagi bahasa yang digunakan juga bahasa Jawa. Kami mengerti sedikit-sedikit sih. Hal yang menarik dari pertunjukkan wayang kulit adalah bagaimana sang dalang menggerakan dan memainkan wayang-wayang itu dengan lihai. Ditambah cara menyampaikan dialognya yang sangat menjiwai. Kurasa di situ seninya.

"Eh, balik yuk?" kata Lisa yang sedang rebahan dengan berbantalkan paha Niko.

"Balik? Ini aja belu selesai," jawan Rendy.

"Emang ini selesai jam berapa?" Niko ikut bertanya.

"Gak tahu." Rendy kembali menjawab.

"Lho? Kalian gak tahu? Sampe pagi lho," jawabku.

"Hah? Serius?" Niko kaget mendengar jawabanku.

"Yang bener lu, Cha!" Lisa menyela.

"Tadi Mayang bilang gitu ke gue."

"Haduh, Acha! Kenapa gak bilang dari awal?"

Tampaknya teman-temanku sudah mulai tidak nyaman berada di lokasi ini. Ya mau gimana lagi? Kami duduk beralaskan terpal dan kadang terasa bebatuan di bawah terpal ini membuat posisi duduk kita menjadi sakit. Wajar kalau tidak nyaman. Ditambah malam ini juga sangat dingin.

"Pulang aja yuk!" ajak Niko.

"Tapi lu gak denger tadi kata dalang jangan pulang sebelum pertunjukkan selesai?" tanyaku meyakinkan mereka.

"Ya wajar kali? Band-band yang manggung di kafe Kemang juga bilang gitu sebelum perform. Biasalah, marketing atau apalah. Udahlah ngantuk nih gue!' keluh Niko.

"Iya sih, Cha. Tadi gue liat bapak-bapak yang kaos garis-garis aja gak apa-apa pulang kok!" Rendy meyakinkanku.

"Iya nih, Cha. Lu gak kasian sama gue rebahan di terpal gini?" Lisa menambahkan.

"Duh kenapa seolah-olah semua gue yang nentuin sih? Yaudah yuk, kalo mau balik ke rumah Mayang kita pulang aja!" ucapku yang langsung berdiri.

Alhasil kami semua berdiri dan meninggalkan penonton lain yang masih fokus menatap pertunjukkan. Kami berjalan ke pinggir dan memakai sandal. Niko dan Lisa sudah berjalan duluan. Aku mulai memakai sandalku. Tak sengaja aku melihat ke arah samping. Tampak bapak-bapak kaos garis-garis kembali datang sambil membawa segelas kopi. Ternyata dia tidak pulang, dia hanya beli kopi. Aku terdiam sesaat, mendadak perasaanku tidak enak.

Jagad Mistis Nusantara Vol. 2 (Kumpulan Cerita Horor)Where stories live. Discover now