[03]

775 83 4
                                    

Malam telah tiba. 10 menit lagi jam kerja Juna akan berakhir, namun mereka sepakat untuk menutup cafe lebih awal. Lagi pula, sudah tak ada pengunjung yang datang sejak 30 menit yang lalu.

Semua pekerja diminta untuk berkumpul oleh Dava -si pemilik cafe-. Ia membagikan amplop dengan nama masing-masing yang berisi gaji mereka satu bulan ini. Setelah itu, ia segera pamit karena masih ada urusan.

Juna tersenyum memegang amplop gajiannya, ia bisa membayar uang kost sekarang. Juna mengabaikan pandangan beberapa pasang mata yang menatapnya sinis. Ia segera menuju ke lokernya untuk berkemas.

"Heh Juna!" langkahnya dicegat oleh Raka, rekan kerja yang secara terang-terangan menunjukkan bahwa ia tak menyukai Juna.

"Kenapa Ka?"

"Gausah sok gatau! Bang Dava pasti kasih lo uang lebih kan?!" Juna terdiam. Tangannya menggenggam erat amplop tadi.

"Cih. Ini nggak adil, padahal lo kerjanya juga biasa aja. Kenapa selalu lo yang diistimewakan sama bang Dava. Lo pasti ada main ilmu sesat kan? Oiya setau gue adek lo itu dukun."

"Jaga omongan lo!" Juna reflek menarik kerah Raka dengan kedua tangannya. "Gue diam bukan berarti gue terima lo perlakuin begini. Tapi kalo lo berani ngusik adek-adek gue, gue ga bakal tinggal diam."

"Wahh, pahlawan adek-adeknya marah guys hahaha." dengan cepat Raka meraih amplop ditangan Juna, namun Juna reflek mengeratkan pegangannya.

"RAKA!!"

"Lo apa-apaan sih hah?!" Mikko datang tepat waktu menghentikan pertikaian tersebut.

Sebenarnya hal ini bukan sekali dua kali terjadi, namun sudah berkali-kali setiap tanggal gajian. Dan Mikko sudah menduganya. Awalnya dia hanya diam karena ingin melihat Juna melawan sendiri. Juna itu selalu diam menerima semua makian dari rekan kerjanya yang lain. "Biarin aja, nanti juga capek sendiri." katanya. Namun Raka sudah kelewatan hari ini, dan Mikko tak bisa bersabar lagi.

"Lepas!" Mikko merebut amplop itu dan mengembalikannya pada Juna.

"Lo kalo mau protes itu ke bang Dava, bukan ke Juna. Emangnya Juna yang minta bang Dava buat kasih bonus tiap gajian?? Enggak!! Semua murni dari bang Dava sendiri."

"Kalo emang lo juga pengen bonus, kerja yang bener! Anak baru aja belagu lo! Harusnya lo tuh hargain kita yang lebih tua, bahkan kita kerja disini lebih lama daripada lo!"

"Udah bang." Juna menghentikan Mikko yang hendak melanjutkan kalimatnya. Ia tak mau urusan ini menjadi rumit.

"Iya deh, si yang paling bener." Raka berdecih lantas meraih tasnya dan segera pergi. Yang lain juga ikut membubarkan diri.

"Makasih bang."

"Biasa aja kali. Udah ayo pulang."

"Bang Mikko duluan aja, kan gue naik sepeda."

"Oke deh. Hati-hati." Juna mengangguk.

_____________

Juna memarkir sepedanya di garasi kemudian masuk kedalam. Ia mengambil segelas air dan mendudukkan dirinya diatas kursi meja makan. Tangannya mengeluarkan amplop putih dari tas yang ia bawa. Menghitung pundi rupiah yang ada di dalamnya. Dan benar saja, lagi-lagi ia mendapat gaji lebih.

Sebenarnya ia juga bingung pada bosnya itu. Ia tak merasa melakukan hal yang spesial, ia hanya melakukan pekerjaannya dengan baik. Ingatannya terlempar saat pertama kali ia bertemu bosnya.

Malam itu, ia yang baru saja pindah ke kota sedang mencari pekerjaan kesana kemari. Dalam perjalanan, ia bertemu seseorang yang sedang di palak preman atau lebih tepatnya di keroyok. Jika kalian berpikir Juna akan maju dan melawan mereka satu persatu, kalian salah. Juna itu tidak pandai bela diri. Jadi ia hanya bersembunyi memutar audio sirine polisi dari ponselnya, membuat seolah-olah polisi datang ke tempat tersebut.

NURAGAWhere stories live. Discover now