CHAPTER 1

23 15 1
                                    

Grace menaruh sepotong telur dadar miliknya di piring Cahaya.

"Tambah lagi, biar makin semangat kuliah pertamanya." ujar Grace tersenyum lebar.

"Makasih ya kakakku!" jawab Cahaya membalas senyum Grace.

Liana tersenyum, memandangi kedua anaknya itu. Sangat akur. Keduanya jarang sekali bertengkar bahkan sejak dari kecil, jika ada berdebatan kecil pun hanya sementara saja setelah itu kembali seperti semula. Liana begitu bangga dan bersyukur memiliki anak seperti mereka.

Meski hidup dalam kesederhanaan, namun mereka selalu terlihat harmonis.

Usia Grace dan Cahaya terpaut dua tahun. Dari dulu, keduanya sangat akrab tak pernah mau terpisahkan, sampai-sampai dari TK sampai kuliah pun mereka ditempatkan di tempat yang sama.

Sebelumnya, Cahaya berniat menunda kuliah lantaran terkendala biaya, namun ketika mendaftar beasiswa ia resmi lolos usai mengikuti beberapa seleksi dan akhirnya bisa berkuliah saat ini. Begitupun dengan Grace, tahun lalu gadis itu lolos seleksi dari sekolah melalui jalur undangan.

Dari arah dapur, datanglah Arga, beliau sudah terlebih dahulu menghabiskan makanannya.

"Bapak berangkat kerja dulu ya," Liana menyalami tangan Arga, disusul oleh Grace dan Cahaya. "Assalamu'alaikum." lanjutnya.

"Waalaikumsalam." serempak Liana, Grace dan Cahaya.

"Cahaya, kamu nanti di kampus baik-baik ya? Semoga hari di hari pertama kamu diberi kelancaran." ujar Liana.

"Amiinn..." serempak Grace dan Cahaya diiringi senyum bahagia.

"Kamu mau nggak nanti aku anterin keliling kampus?" tawar Grace.

Cahaya mengangguk antusias, "Mau banget kak!" serunya.

Grace terkekeh kecil, sembari mengacungkan jempol.

"Okey!"

********

Usai berkeliling kampus, kini Grace mengantarkan Cahaya ke depan kelasnya.

"Ini ruang kelas kamu, buat ruangan lainnya masih di sekitar koridor ini kok, jadi kamu tinggal cari-cari aja ya," jelas Grace.

Cahaya mengangguk paham.

"Makasih kak Grace! Ternyata kampus ini luas banget ya, kayaknya aku bakalan beberapa kali nyasar deh," Cahaya terkekeh.

"Waktu pertama kali kakak ngampus juga sempet nyasar, untung ketemu Anin dan ternyata satu kelas jadi dibantu," terang Grace.

"Oh ya sama satu lagi ini baru permulaan loh, dan banyak rintangan lain yang harus dihadapi. Pokoknya jangan patah semangat sampai lulus nanti ya!" lanjutnya.

"Siap! Aku masuk dulu ya kak." pamit Cahaya diangguki oleh Grace.

Ketika Grace hendak bergegas pergi usai Cahaya memasuki kelas, langkah Grace seketika terhenti lantaran sebuah gantungan bermotif huruf L tidak sengaja terinjak olehnya.

Grace menatap sekeliling dan mendapati seorang laki-laki yang berjalan tak jauh darinya. Firasat Grace spontan mengatakan bahwa gantungan tersebut adalah milik laki-laki itu. Grace pun bergegas mengejarnya untuk memastikan.

"Maaf, ini punya kamu bukan ya?"

Laki-laki berpostur tinggi itu memberhentikan langkahnya. Menatap Grace sebentar lalu manik matanya turun ke arah benda yang ada ditangan Grace.

"Oh iya, makasih ya." Laki-laki itu tersenyum kecil pada Grace sembari mengambil alih gantungan miliknya.

Grace terpaku, berkerut kening memandang laki-laki itu yang sudah berlalu pergi. Perasaan aneh muncul dibenak Grace. Seolah merasa familiar dengannya, terutama pada gantungan tersebut.

********

"Besok nonton yuk, Grace!" ajak Anin teman sebangku Grace sekaligus sahabatnya.

Grace berdehem kecil, mempertimbangkan ajakan Anin.

"Ayolah," Anin menyenggol pelan lengan Grace. "Besok kan libur. Tugas bisa dikerjain nanti-nanti, deadline juga seminggu. Ya mau ya?" bujuknya.

Grace menghembus napasnya, mengangguk pelan. "Yaudah iya. Besok kita nonton."

"Okee! Film yang mau kita tonton tuh bagus tau! Besok deh liat pasti lo bakalan setuju sama omongan gue."

Sebenarnya Grace ingin bertanya kepada Anin mengenai laki-laki yang ia temui tadi, tapi sepertinya untuk saat ini Grace kalah dengan rasa ragu yang hadir. Grace juga masih belum bisa memastikan apakah perasaan aneh itu sungguhan atau hanya sesaat saja.

********

Grace duduk seorang diri, dengan ditemani musik berjudul Kau Rumahku - Raissa Anggiani.

Disini ia dapat menenangkan diri dengan puas. Grace menyebutnya tempat ternyaman kedua, sebuah rumah pohon yang dikelilingi oleh hamparan rumput-rumput tinggi serta pepohonan lainnya.

Ada satu hal yang Grace favoritkan dan tidak pernah bosan berkunjung ke rumah pohon ini, yaitu menunggu senja.

Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya senja pun mulai menunjukkan diri.

Kedua mata Grace selalu tak berkedip dan berbinar-binar melihatnya. Seulas senyum pun terbit di bibir Grace, ia selalu memiliki firasat bahwa senja itu bagaikan pengganti seseorang yang begitu berarti di hidupnya.

Entah tidak ada alasan yang pasti, akan tetapi itulah yang Grace rasakan dan yakini.

"Aku berharap semoga suatu saat aku bisa menemukan jawabannya."

Found And Lost [END]Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ