☆15

328 40 9
                                    

Warkop kali ini ramai seperti biasanya. Asap rokok mengepul mengisi ruangan, persis seperti asap bekas kebakaran. Kalau kata Haikal sih, kebul anying engap teu bisa napas!

Remi menghisap sebatang rokok, lalu ia hembuskan ke udara.

"Rem, ngerokok wae sia bisi paeh." Haikal berkata sambil menyesap kopi hitam yang sudah hampir kelihatan dasar gelasnya itu.

Di sisi lain Remi tidak peduli, ia daritadi menikmati nikotin sambil melamun. Betul, hari ini kelas dibatalkan karena ada kendala. Jadi, Remi lebih memilih pergi ke warkop sendiri, namun siapa sangka di sana ada Haikal sedang nongkrong bersama Felix dan Surya.

"Gue heran, lu pada kenapa rajin banget hadir di warkop? Tiap gue kesini, pasti lu bertiga ada di pojokan."

Surya terkikik mendengar ucapan Remi. "Udah sehati kali."

"Idih?" Haikal memasang ekspresi jijik.

"Kebetulan aja, Rem," timpal Felix," By the way, gue liat-liat lu banyak diem hari ini, ada apa?" lanjutnya yang berhasil membuat Haikal dan Surya fokus pada jawaban yang akan Remi lontarkan sekarang.

Sementara itu, Remi malah gelagapan. Ia lebih  memilih untuk menghisap nikotin sambil matanya bergulir ke segala arah.

Brak!

Pintu warkop terbuka lebar, suara pintu yang beradu dengan dinding membuat semua orang menengok.

Haikal syok.

Remi melotot.

Hideki berjalan dengan langkah besar dan langsung mencabut rokok yang terselip di sela bibir Remi. Rokok tersebut ia remat, tak peduli rasanya sepanas apa sekarang, yang pasti saat ini ia sedang meluapkan emosinya.

"Balik," perintah Hideki dengan tegas.

Remi mengernyit, ia langsung beranjak mencoba untuk menyamai tinggi Hideki.

"Siapa lu ngatur gue?"

Cowok jangkung itu menjilat pipi dalam dibarengi seringaiannya. "Mulai ngebantah ya sekarang."

Remi balas menyeringai. "Terus apa? Penting banget kah perintah lu? Lu siapa? Presiden? Raja? Orang tua gue? Ingat, bukan donatur mah dilarang ngatur, bruh." Remi menepuk-nepuk dada kiri Hideki, kemudian mengambil bungkus rokok miliknya di atas meja.

"Bro, gue cabut duluan," pamit Remi pada Haikal, Felix dan Surya. Ia melangkah keluar meninggalkan Hideki yang masih mematung di tempat.




































Di pertengahan jalan, Remi bertemu Haru. Cowo berbibir tebal itu sedang mengantre beli batagor di depan kampus. Haru sadar akan kehadiran Remi, setelah ia membayar sebungkus batagor, lantas ia menghampiri Remi.

"Ada apa, Rem?"

Remi memutar bola matanya malas. "Tujuan lo apa sekarang, Ru?"

Haru mengernyit bingung, "maksudnya?"

"Hideki ganggu gue di warkop, lu kasih tau dia kalau gue di sana, 'kan?"

Mendengar perkataan Remi membuat Haru merasa terpojokan. Ia sedikit menunduk menatap Remi yang lebih pendek darinya, dapat dilihat kalau cowok manis itu sedang kesal sekarang.

"Iya, gue yang kasih tau," jawab Haru santai. "Gue bilang ke Hideki, kalau lu sekarang sering nyebat di warkop, lu kebanyakan gaul sama Haikal yang gak bener itu."

Remi melotot dan alisnya menukik ketika nama temannya itu disebut. "Ngerasa paling oke lu?"

Haru diam.

"Lagian gue bingung sama Hideki, Chris, Baska, termasuk elu." Remi melangkah lebih dekat. "Kenapa ngurusin banget hidup gue? Gue udah bukan bocah, gue bisa ngatur hidup gue sendiri tanpa bantuan orang-orang luar, yang boleh ngatur gue cuma bunda. Kalian gak berhak, kalau lama-lama begini setiap pergerakan gue kayak di mata-matain. Lu pikir kita hidup di mana? Anime?"

Haru melirik kanan kirinya, ia sedikit bernapas lega karena situasi tidak terlalu ramai sehingga tidak akan ada yang menguping.

"Lo anggap kita orang-orang luar di hidup lo, Rem?"

"Kontribusi apa yang udah lo lakuin di hidup gue?"

Deg.

Haru menelan ludahnya kasar. Perkataan Remi memang benar, tapi entah kenapa dadanya kian merasa sesak. Ia meremat kantung plastik berisi sebungkus batagor.































"Gue udah ngebantu lo dengan cara bikin Hideki putus sama ceweknya."

××

Hideki To Remi - MinsungWhere stories live. Discover now