𝟶𝟺 nuit sanglante

89 17 0
                                    

Manik mata sembabnya mengintip langit malam yang dipenuhi kelip bintang dan bulan. Seusai menyelesaikan cerita mengenai perjanjian dengan sang suami, Shaye merasa lega. Sang ibu yang awalnya khawatir sebab anaknya ikut bersama kini paham jika Ivaylo tak suka dipermainkan. Meskipun harus berakhir, setidaknya Shaye tetap ada disampingnya dan Isaiah aman bersama sang ayah.

Count Delaney tak mungkin bisa menjangkaunya. Mereka akan pergi sejauh mungkin agar tidak tertangkap. Shaye berusaha menghibur diri dengan melihat suasana sekitar. Tangisnya sudah tak lagi mengeluarkan air mata. Untaian kata percuma jadi penutup kisah keduanya. Shaye hanya berharap Isaiah tertidur nyenyak dan mimpi indah setiap malam sehingga bisa melupakan eksistensinya.

Hening, sepanjang perjalanan Shaye hanya mampu mendengar derap langkah kuda yang bersentuhan dengan tanah. Jika tak salah kira, harusnya besok pagi keduanya tiba di wilayah Orvaness. Salah satu wilayah teraman sesuai nasihat Ivaylo, sebab Duke wilayah tersebut adalah sahabat karibnya sehingga Ivaylo mudah memantaunya.

Lama kelamaan ia bosan dan akhirnya tertidur di bahu sang ibu. Keduanya tetap berpegangan tangan erat pada situasi ini. Shaye hanya berjaga-jaga jika terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Malam semakin larut dan perjalanan keduanya baru sepertiga bagian.

Zrakkk...

Suara gesekan pedang mulai menganggu tidurnya. Shaye langsung terbangun begitu suara teriakan beradu dengan suara pedang. Keadaannya kacau, hampir separuh pasukan pengawal yang membersamainya telah kalah dalam serangan ini. Wanita itu bertambah panik tatkala pintu kereta kuda dibuka paksa oleh gerombolan pria dengan jubah hitam.

Ibunya terus memeluk Shaye begitupun Shaye yang tak kuasa menahan tangis sebab keadaanya makin kacau. Suara tusukan pedang makin ketara, ditambah lagi tak ada satupun yang bisa ia ajak bicara. Semuanya sibuk melawan musuh yang jumlahnya melebihi pengawal.

Krakk....

Pintu kereta kuda akhirnya terbuka lebar, Shaye membelalakan mata begitu pria bertopeng itu menarik tubuh sang ibu keluar dari sana. Mau tak mau Shaye ikut keluar, ia tak lagi bisa berpikir jernih. Keduanya saling memeluk satu sama lain, Shaye bahkan sempat memohon ampun untuk melepaskan keduanya alih-alih membunuhnya.

"Kumohon, biarkan kami hidup." Shaye terus menerus bernegosiasi meskipun dilanda ketakutan setengah mati.

Dalam keheningan malam, ia masih tak habis pikir. Semuanya tetap kacau balau, tak ada satupun yang berubah meskipun Shaye mengetahui masa depannya lebih cepat. Ia yakin, malam inipun tak akan selamat. Duke Delaney telah mengetahui keberadaannya lebih dulu daripada keberangkatan.

"Ibuu!!!" Countess Delaney ditarik paksa olehnya seorang pasukan musuh. Shaye berusaha menggapai tangan ibunya namun tubuhnya ditahan oleh pasukan yang lain.

Begitu keduanya berjauhan, seseorang menarik sarung pedang.

"Tidakk!!! Jangan lakukan itu!!!" Matanya membeliak terkejut melihat pedang itu ditarik keluar. Kilatan pedang itu bagaikan peringatan untuknya akan sesuatu yang akan dilakukan.

"Tidakk!!"

Pedang itu menghunus sempurna di perut sang ibu. Darah jatuh tercecer hingga bawah kakinya. Shaye menangis histeris melihat sang ibu dibunuh di depan matanya sendiri. Ia tak menyangka jika count Delaney tega menghabisi nyawa istrinya untuk membuatnya patuh.

Sementara kediaman duke Vortigern kembali gaduh saat mata-mata yang mengawal perjalanan kembali dengan tergesa dan melaporkan terjadinya penyerangan di tengah jalan. Padahal Ivaylo telah memastikan sendiri semuanya aman, tapi nyatanya count Delaney tak bisa diremehkan begitu saja.

Ia langsung membawa pasukan tambahan dan beberapa kuda untuk ditunggangi. Ivaylo bergegas menuju lokasi yang dimaksud oleh si mata-mata. Shaye tak tahu lagi untuk apa ia bertahan hidup kini, jauh dari sang anak dan ibunya dibunuh. Mungkin ia tak punya alasan untuk tetap hidup.

"Bunuh saja aku!" Shaye berteriak memprovokasi pasukan musuh yang tengah memandangnya remeh.

"Bukankah tuan menyuruh kita membunuhnya? Bagaimana jika kita manfaatkan dulu wanita ini sebelum membunuhnya." Shaye bisa mendengar tatapan penuh nafsu yang dilayangkan pria-pria itu.

Begitu mereka mendekat, ia yang tengah di ikat pada sebuah pohon besar langsung memberontak. Jika harus mati, Shaye memilih mati secara terhormat daripada harus melayani pria-pria suruhan ayahnya. Shaye awalnya menendang kaki salah satu pria, namun yang lain langsung melepaskan ikatannya.

Pasukan itu tak hanya satu, semuanya bergerombol mengerubungi Shaye dengan tawa penuh kemenangan. Satu orang yang mendekat berhasil mengenggam pergelangan tangannya. Shaye memejamkan mata, tak ingin melihat wajah-wajah kegirangan para pria suruhan ayahnya.

Jleb...

Suara tusukan pedang terdengar nyaring di dekatnya. Wanita itu lantas membuka mata, Ivaylo menarik lengannya hingga Shaye berada di belakang sang pria. Pria yang tadinya memegang tangannya telah tewas seketika berkat Ivaylo.

Ivaylo masih bertarung dengan sisa pasukan meskipun ia membawa pasukan tambahan. Semuanya bertarung tanpa henti, Shaye juga bersembunyi dengan baik dibalik punggung suaminya. Ia kembali memejamkan mata, berharap jika malam ini hanyalah mimpi buruk yang harus ia lalui.

Tangannya bergetar tiap kali mendengar suara tusukan pedang. Shaye tetap ketakutan melihat darah berserakan di bawah sana, kepala yang tak sengaja terpenggal, dan tangan yang tak sengaja tertebas.

Ia merasa mual melihat darah dimana-mana. Jijik, ketika kakinya tak sengaja bersentuhan dengan darah orang yang hampir melecehkannya. Shaye hanya berharap jika semuanya akan segera berakhir, sebab dirinya tak bisa bertahan lebih lama.

"Bereskan sisanya, aku pulang duluan." Ivaylo memutuskan kembali setelah hampir semua pasukan musuh kalah telak. Shaye juga sedari tadi gemetar tak karuan, begitu pria itu berbalik. Ia dapat menemukan betapa kacaunya penampilan Shaye. Ivaylo mengusap pelan pipi sang istri untuk membuatnya sadar.

"Sekarang sudah tak apa, kau aman." Tutur Ivaylo dengan lembut.

Perlahan-lahan Shaye membuka mata. Manik matanya bergetar hebat saat menatap manik mata Ivaylo. Tangisnya kembali pecah mendapati pria itu berdiri kokoh dihadapannya. Sayangnya Shaye tak melakukan apapun, kendati ia ingin memeluk Ivaylo tapi sepertinya itu tak lagi pantas dilakukan mengingat keduanya akan bercerai.

"Kemarilah." Ivaylo duluan yang menarik wanita itu dalam pelukannya. Shaye bisa merasakan kehangatan dan rasa aman yang ia dambakan dari tadi.

Ia membalas pelukannya tak kalah erat, Shaye benar-benar membutuhkan pria itu untuk bertahan. Tangan Ivaylo mengusap belakang kepala sang istri secara berkala. Membuatnya tenang selama beberapa saat.

"M...mereka membunuh ibu." Shaye mengadukan apa yang ia alami. Tanpa sadar tubuh Ivaylo kembali menegang.

Ia merasakan gejolak amarah yang makin tak tertahankan. Jika bukan karena Shaye adalah prioritasnya, pastilah pasukannya sudah menyerbu kediaman keluarga Delaney untuk membalas dendam. Ivaylo lantas menggendong sang istri. Satu lengan melingkar sepanjang punggung dan lengan lain berpindah ke belakang lutut. Shaye tak menolak, tangannya bertengger nyaman di bahu Ivaylo.

"Tidak apa, aku akan membalas dendam padanya atas kematian ibumu." Ucapnya dengan penuh keyakinan.

tbc

°• Vote and comment very much appreciated •° 

orenda [ johnjoy ]Where stories live. Discover now