30. Bernafas Sejenak

1.6K 134 17
                                    

Dengan berat hati Arjuna meninggalkan Nara, senyum manis wanitanya yang akan ia ingat sebagai obat lelah. Pandangan itu kini terfokus pada jalan yang semakin ia kenal, waktunya sebentar untuk membujuk karena ia tidak ingin Nara menunggu lama.

Arjuna menatap dalam kelam, hanya kalimat menyakitkan yang ia ingat, restu yang tertolak dengan gamblang menyisakan air mata yang kian menetes. Rumah itu tidak lagi ramah untuknya atau mungkin rumah itu tidak pernah ramah untuknya.

Rentetan kenangan yang menyulitkan kembali hadir, penolakan akan keinginannya selalu ia dengar, Arjuna sadar kedua orang tuanya dengan segenap hati menyiapkan kehidupan yang layak untuk para anak, semua sudah dipersiapkan, pendidikan hingga pendamping, dahulu ia selalu menganggukkan kepala dalam setiap permintaan yang terlontar, namun kini tidak akan ia lakukan demi hidupnya dan demi kekasihnya -Naraya Adisthi.

Jarak itu terbentang, kini Arjuna menyusun rencana berharap langkahnya menuai arti. Sedangkan sang kekasih memulai hidupnya kembali, ada rindu yang memupuk dan menuai air mata kala dingin malam yang menusuk.

Hari Nara bukan berat dan bukan berarti sulit, hanya belakangan ini dirinya terbiasa dengan kehadiran pria berlesung. Yogyakarta saat ini terasa amat berbeda, paginya semakin sepi, rindu yang memakan habis waktu siang, hingga malam yang dinginnya meningkat.

Pagi ini Nara mendapat pesan dari kekasihnya, ada kabar yang memenangkan, juga ada ucapan maaf yang terbaca. Ia cukup lelah berteman dengan gundah di hatinya, meminta Arjuna untuk tidak mengucapkan kata maaf.

Langkah gontai diambil Nara namun sebelumnya satu pesan sudah ia kirimkan kepada Dean. Hubungan ini bukan tentang Arjuna dan cintanya tetapi tentang Arjuna dan Naraya dengan cinta berbalasnya, satu ketentuan dimana keduanya perlu memperjuangkan rasa yang indah itu.

Nara pandang ponsel yang tidak bergeming tersebut, pesannya untuk Dean belum juga terbalas.

"Masih pagi," suara berat yang mulai terdengar di ujung panggilan.

"Please," pinta Nara dengan rambut yang terlilit handuk.

"Buat apa? Kenapa lo nggak minta sama Juna."

Nara ambil napas panjangnya. "Mau deketin adiknya, Ka Juna aja minta nomer Pandu sama lo, kan?"

Pria itu tertawa kecil, mengingat apa yang sudah Arjuna berikan kepadanya hanya untuk satu nomer. "Iya-iya," jawab Dean.

"Kak, lo tau nggak kesukaannya Putri?"

Panggilan suara hening sementara hingga kalimat-kalimat yang didengar Nara mampu membuatnya tersenyum lega. "Setau gue adiknya suka make up, mungkin cita-citanya jadi model. Gampang kayaknya untuk deketin, soalnya satu kesukaan sama lo."

Perasaan Nara tidak sepi lagi, serasa berlari di padang rumput yang luas dengan sinar mentari yang memapar hangat, ditemani angin yang makin liar menerpa seluruh tubuhnya. Menetap sebentar menikmati damai ruai yang entah kapan akan menghilang.

Dean berbicara tentang Putri, banyak sedikit pria itu tahu karena Putri cukup dekat dengan mereka. Ada tawa yang tercipta kala Dean mulai membandingkan kaka-beradik tersebut.

"Kak, terima kasih banyak." Ada rasa syukur yang besar di kalimat yang terucap.

Pria di ujung panggilan terbingung saat kalimat Nara mulai bergetar. "Lo kenapa? Bukannya abis di lamar Juna pagi-pagi?"

"Kok pada ngomong gitu? Memangnya tau dari mana, si?"

"Juna minta saran ke kita dan lo tau nggak saran itu dari siapa?"

Nara menggeleng walau ia sadar Dean tidak akan melihatnya.

"Nathan."

Keduanya tertawa, karena yang mereka tahu Nathan tidak terlalu terlihat kisah percintaannya, namun kadang prilaku dan ucapannya seperti seseorang yang sudah mengalami seribu tahun hidup di dunia.

Perbincangan itu menuju akhir, hingga sekali lagi Dean memastikan dan meminta Nara untuk berbahagia.

Saat ini bahagianya semu, Nara memang sudah berteman dengan air mata, dirinya pun 'tak perlu khawatir akan hal itu. Dalam suatu hubungan sudah dipastikan air mata akan menemani, entah perjalanan kebahagiaan ataupun langkah berat kesedihan, semua sudah memiliki persimpangannya masing-masing.

"Hemm," jawab Nara pelan.

Nara angkat wajah tertunduk itu, usahanya akan ia lakukan.

Hari-hari Nara menyapa Putri terasa perih, diabaikan begitu saja seakan biasa baginya, tanpa lelah mengajak Putri membicarakan kesukaannya, mengirimkan beberapa produk untuk mendukung kemampuannya namun naas hanya hening yang diterima.

Tidak hanya di situ, Nara nekat menghubungi Mama Arjuna setiap harinya hanya untuk menyapa walau tujuan utama meminta restu, seperti terbiasa seakan berteman dengan bayang, tidak akan pernah mendapat jawaban.

Nara 'tak ingin hatinya kecewa lagi, satu Minggu usahanya tidak menghasilkan apapun.

Ia matikan ponsel dan mulai mengalihkan perhatiannya pada design yang berserakan di meja kerjanya.

Satu pesanan gaun pernikahan yang mulai ia kerjakan, gunting di tangannya bergetar hebat dan dadanya mulai terasa perih.

Berkali-kali Nara tertusuk jarum yang mengait di gaun yang perlahan mulai terlihat bentuknya.

"Aww!" Ibu jarinya berdarah. Ia tatap satu titik merah dengan air mata yang menetes deras, dadanya sesak dan perlahan mengeluarkan suara tangis  membuat Ina dan beberapa staff menuju ruang kerja Nara.

"Kenapa?" tanya Ina dengan khawatir diiringi beberapa orang di belakangnya.

Nara menangis sembari menunjukan jarinya yang berdarah, manik basah itu menatap Ina dengan sedih. "Sakit, Kak," rengeknya.

Pemilik butik berbalik meminta para staff untuk kembali ke posisinya. Wanita cantik itu menuntun Nara duduk dan mengambil sebuah kotak mengeluarkan alkohol dan kapas.

"Mana tangannya?" pinta Ina dengan suara pelan.

Nara ulurkan tangannya, disambut lembut oleh pemilik kotak tersebut. Ina dengan telaten mulai membersihkan beberapa luka di jemari Nara, dan memasangkan dua plester untuk luka yang menghasilkan darah.

"Hehehe," kekehan ringan Nara berikan kepada Ina yang telah selesai memasangkan plester di jari telunjuknya.

"Ishh, anak kecil." Ina mengusap rambut Nara dan membawa jemarinya hingga pipi wanita tersebut. "Sesusah apa si gaunnya sampai lo nangis gara-gara satu tetes darah?"

Nara beranjak dan mengambil design-nya, ia berikan kepada Ina. Wanita itu melihat dan mulai membaca detail yang terdapat dari lembaran tersebut.

Mereka berbincang banyak tentang design gaun indah itu, Nara mulai menggeser diri untuk merapatkannya kepada sang pimpinan, Ina  menyarankan beberapa cara yang akan membuat Nara lebih mudah dalam mengerjakannya. Kedua wanita itu mulai bangkit dari duduk dan mendekati gaun yang masih dalam pengerjaan.

Nara rebut hari dengan usaha, berdiri dari liku hidup yang dihadapi. Air mata itu bukan tentang jarum yang menghasilkan darah tapi tentang abai yang setajam belati.

fine line [END]Where stories live. Discover now