𝐊𝐞𝐦𝐛𝐚𝐧𝐠 𝐊𝐚𝐦𝐩𝐮𝐬 5+

3.7K 7 0
                                    

~~~♡~~~

Saat para sahabatnya telah pergi untuk melaksanakan tugas mengajar mereka masing-masing, Indira pun naik ke ruangan dosen yang terletak di lantai 2 gedung Fakultas Ilmu Komputer.

Ruangan itu masih belum begitu ramai karena hari masih terhitung pagi.

Tak jarang pula dosen yang hanya mempunyai satu atau dua kelas perkuliahan biasanya akan langsung datang ke kelas dan pergi tanpa sempat mampir ke ruangan tersebut.

Dengan langkah santai, Indira berjalan menuju meja kerjanya yang berada hampir di pojok ruangan.

Meja tersebut terkesan simpel, hanya ada sebuah layar komputer, keyboard, dan mouse, dengan CPU yang terletak di bawah meja.

Selain itu, ada juga beberapa dokumen bertumpuk rapi di atas meja. Kebanyakan dokumen itu merupakan lembar tugas para mahasiswa.

Namun jumlahnya memang hanya sedikit, karena mayoritas lembar tugas yang sudah selesai dikoreksi biasanya diserahkan ke bagian Tata Usaha untuk dirapikan di file cabinet sesuai angkatan dan jurusan.

Perempuan itu melirik ke arah jam tangannya, dan menyadari masih ada banyak waktu sebelum dia harus mengajar di kelas.

Karena itu, ia memutuskan untuk memeriksa tugas kuliah para mahasiswa yang selama ini terbengkalai, sebelum kemudian kembali mengerjakan tanggung jawab membuat konten publikasi untuk acara Entrepreneurship Day.

Namun begitu Indira baru mau memulai pekerjaan, terdengar nada dering yang berasal dari smartphone miliknya.

Seorang lelaki yang ia kenal tampak menghubunginya lewat sambungan WhatsApp Call.

“Halo. Ada apa Mas?” Ujar Indira membuka pembicaraan.

“Kok ditelpon jawabnya Halo? Harusnya kamu mengucapkan salam dulu dong,” ujar sang lelaki di ujung lain sambungan telepon.

Padahal dia sendiri tidak mengucapkan salam yang dimaksud. “Lain kali jangan sampai lupa.”

Saat mendengar teguran itu, Indira jadi merasa bersalah. Ia merasa sudah seharusnya ia mengingat hal tersebut, karena pria yang menghubunginya kali ini merupakan sosok yang sangat religius, setidaknya di hadapan orang-orang.

Karena itu, ia pun pasti mengharapkan Indira untuk mempunyai pola pikir dan cara berperilaku yang sama.

“Oke, tapi itu bukan alasan. Hal yang seperti ini lebih penting dari pekerjaan apapun. Lain kali jangan diulang lagi.”

“Iya, Mas,” jawab Indira sedikit tertahan

Berhubungan asmara dengan Mas Ahmad memang dipenuhi momen-momen seperti ini, di mana Indira sering sekali dianggap melakukan kesalahan dan menyalahi aturan, dan Mas Ahmad akan selalu memperingatkannya.

Memang sih, hal tersebut memang tidak pernah berlanjut ke pertengkaran hebat, karena Indira sendiri cenderung pasrah dan menerima saja semua teguran dari kekasihnya.

Ahmad sendiri sepertinya senang merasa lebih pintar dan lebih alim dibanding orang lain, terlebih dari calon istrinya.

Hal ini sering membuat Indira berpikir apakah semua hubungan yang langgeng akan selalu diawali dengan dinamika seperti ini? Di mana sang perempuan harus terus menerus memenuhi ego dari sang lelaki?

“Ada apa, Mas? Tumben nelpon pagi-pagi.”

“Begini, Dek. Hari Rabu minggu depan Ummi mau belanja bulanan ke hypermart, dan biasanya aku yang menemani.

Tapi kebetulan aku harus pergi ke luar kota untuk urusan bisnis. Bisa gak kalau Adek yang menemani Ummi?” Tanya Ahmad.

Meski belum resmi menikah atau bahkan melamar Indira secara resmi, pria tersebut memang sering memberikan perintah-perintah aneh seperti ini.

𝐊𝐞𝐦𝐛𝐚𝐧𝐠 𝐊𝐚𝐦𝐩𝐮𝐬Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang