Part 2 - Basically, Grandma.

11 3 0
                                    

"Tuan Muda Eimei-san, Nyonya baru saja duduk. Silahkan," seseorang yang Yuken tahu ialah Kepala Pelayan keluarga Jinkawa mempersilahkan Jinkawa masuk, "oh, lama tidak berjumpa, Tuan Yuken, silahkan.."

...

"Astaga, Jinkawa! Kau tidak bilang kau membawa anak kesayanganku!" baru saja Yuken melangkah masuk, pintu bahkan belum tertutup sempurna, sebuah omelan sudah terlontar dan telak mengenai Jinkawa yang mendengus.

Melengos menarik salah satu kursi, "Basically, he's your grandchild, Mama."

Melotot, seorang wanita yang usianya nyaris setengah abad itu memasang wajah tidak terima atas kalimat anak yang telah ia lahirkan 21 tahun lalu, "Enak saja," menoleh ke arah Yuken dan menyambutnya manis, tangannya terbuka lebar mengisyaratkan hendak memeluk, "Kemarilah, Sayangku."

Yuken tersenyum lebar, menghampiri wanita itu membalas pelukannya, "Apa kabar, Tante?"

Menautkan alis, wanita itu menatap Yuken, "Tante?"

Demi tatapan itu Yuken terkekeh, "Alright. Mama. Bagaimana kabar Mama?"

Dengusan malas terdengar lagi. Kali ini lebih keras seakan ada beban lebih, "Grandma."

"Heh, aku masih terlalu muda untuk itu, bocah nakal!"

"Tidak bisa begitu, Mama. Satu, secara hukum aku ayahnya. Dua, anak itu terlalu nakal untuk jadi anak Mama. Kasian kalau sampai rambutmu memutih lebih cepat, Mama. Kelakuannya benar-benar bikin pening kepala," Jinkawa bersungut-sungut, menjelaskan, sedangkan Yuken sok-sokan membuat wajah memelas di pelukan Mama Jinkawa. Sebut saja Yurie Eimei.

//author : namanya ngasal anyways//

"Yuken anak baik. Kau tidak boleh begitu, Jinkawa!" Nyonya Yukie mengelus-elus surai pirang milik Yuken dengan lembut, "Bukankah begitu, Nak?"

Yuken mah tinggal angguk-angguk saja. Mau jadi anak atau cucu. Nyonya Yukie tetap yang terbaik menurutnya.

Jinkawa memutar bola matanya malas ketika tahu persis 'anaknya' itu memanfaatkan kesempatan, kemudian melotot garang di detik setelahnya.

"Lepaskan pelukanmu pada Nenekmu, dan duduk manis di sampingku atau aku ceritakan semua kenakalanmu padanya dengan seluruh bukti tak terbantahkan yang akan membuatnya amat kecewa."

Bagaikan ucapan dengan nada tegas, pesan itu tersampaikan cepat melalui tatapan mata Jinkawa dalam waktu kurang dari 10 detik. Membuat Yuken menelan salivanya, patah-patah mengikuti perintah tanpa suara itu. Melepaskan pelukannya, tersenyum manis, lalu duduk anteng di sebelah Jinkawa.

"Jadi ada masalah apa lagi dengan perusahaan?" tanpa basa-basi lagi Jinkawa mulai ke inti pembicaraan mereka.

Ah masalah perusahaan rupanya. Batin Yuken manggut-manggut.

"Kau tidak berubah. Sama saja seperti ayahmu. Tidak suka basa-basi," kekeh Yukie sembari menggeser kursinya yang ber-roda itu ke arah sisi meja. Tempat sebuah remot berada.

Memencet beberapa tombol, membuat sebuah layar di sisi seberang menyala. Menampakkan sebuah video yang Yuken dan Jinkawa sama-sama tahu itu adalah gudang perusahaan.

Rekaman itu menunjukkan waktu pukul 2 dini hari. Tadi malam. Benar-benar baru semalam. Itu artinya Jinkawa diberitahu mengenai perusahaan tepat setelah mengamuk pada Yuken, meski belum jelas tentang apa. Hanya diberitahu ada ricuh.

Itu termasuk cepat untuk perusahaan besar. Ditambah masalah ini langsung ditangani Jinkawa yang notabenenya ahli waris dari perusahaan itu.

10 detik lengang, tiba-tiba suara dari rekaman itu menggelegar hebat. Barang-barang di gudang itu bergetar, sebelum ada suara itu lagi. Adalah hingga 5 kali, suara itu mengganggu pendengaran Yuken, membuatnya mengernyit hingga suara keras terakhir. Sebuah truk besar telah sukses menjebol pintu baja gudang itu.

Orang-orang dengan pakaian tidak jelas mulai merangsek masuk, berteriak, marah tak jelas. Mereka jelas bukan pegawai. Itu pukul 2 dini hari. Hanya aparat khusus yang dibayar keluarga Jinkawa yang berjaga di sana, dan fakta bahwa orang itu mampu merangsek masuk, itu artinya para aparat yang berjaga sudah dilumpuhkan.

Entah apa yang mereka cari atau apa tujuan mereka.

Tidak jelas. Rekaman itu berakhir karena ada salah satu orang di sana yang melemparkan barangnya ke arah CCTV.

Layar itu lantas mati. Lengang sejenak.

"Bereskan, Jinkawa."

"Baik, Nyonya."

Atmosfer ruangan itu berubah drastis. Tidak ada Jinkawa yang memanggil 'Mama'. Tidak ada Yuken yang berani menceletuk asal.

"Yuken, kau boleh bantu Jinkawa," ucap Yurie tegas, membuat Yuken yang awalnya tertunduk sedikit tersentak, melihat ke arah Yurie yang tak lagi menatapnya seperti saat ia masuk tadi.

"Bereskan, buktikan bahwa kau memang layak jadi cucuku."

Yuken menelan ludahnya, Ayolah! Apa ini?! Kenapa tiba-tiba berbeda sekali keadaannya?! Apa? Buktikan?

"Kita pergi, Yuken, beri salam."

Patah-patah, Yuken bangkit, mengikuti Jinkawa yang membungkuk sopan dan berjalan keluar dari sana.

Apa itu tadi?!

Kejadiannya terlalu cepat! Yuken tidak sempat mencerna apa yang terjadi.

Jinkawa melirik Yuken yang berusaha keras mensejajarkan langkah---padahal mereka sama tinggi---merasa tak perlu menoleh, ia berdehem melepas jasnya, "Ganti bajumu dengan yang kusuruh bawa tadi. Yang rapi formal. Lepaskan yang kau pakai sekarang. Itu punya pegawai yang dipinjam khusus untuk pertemuan mendadak ini. Sisanya, kita akan pergi mengurus di luar. Tidak bisa menjamin keselamatan pakaian. Jadi pakai bajumu sendiri. Kalau rusak nanti kubelikan lagi."

Melepas kemejanya tanpa merasa perlu berhenti, melemparkannya pada pegawai yang sigap menangkapnya. Jinkawa tak banyak bicara sudah membuka bagasi motornya, mulai memakai setelan jas lain, miliknya. Motor itu, Yuken tidak tahu bagaimana tapi itu jadi tampak lebih bersih dari tadi saat mereka berangkat.

Mengabaikan itu, Yuken mengikuti yang diperintahkan, melepaskan atasan yang memang bukan miliknya dan mulai memakai pakaian yang ia bawa---tasnya sudah kembali ke tangannya beberapa saat lalu. Sigap benar karyawan Jinkawa. Yuken jadi curiga mereka bukan pegawai bia-

"Tentu saja pegawaiku berstandar tinggi, Bocah."

Yuken mendengus. Sudah disahut saja padahal baru mau berspekulasi.

"Siap kelahi, Bocah. Sepertinya kita tidak hanya akan diplomasi, rapat damai, atau semacamnya. Kita harus bereskan ini sampai akarnya, dan bila perlu, violence jawabannya."

Yuken mengangguk paham. Meski belum berhasil mencerna penuh, Yuken tidak bodoh. Dia bisa mulai memetakan hal yang terjadi. Ditambah intonasi Jinkawa membuat Yuken tak bertanya lagi. Intinya dia harus siap berlelahi, siap babak belur, atau lebih. Itu aturan tak tertulis keluarga Jinkawa sejak dulu.

Bagaimana lagi? Bisnis keluarga itu jelas tak bisa kabur dari fakta lapangan yang setiap celahnya mampu menarik mereka ke dunia gelap. Kapiran. Mereka ada di tengah. Tak bisa lepas begitu saja apalagi dengan aspek bisnis beragam dan letaknya yang ada di mana-mana.

"Nenekmu itu, memang suka sekali kalau seperti ini. Lihat mukanya tadi meski serius dan tegas, jelas sekali matanya berbinar, antusias," ucap Jinkawa tepat sebelum tancap gasgas, memaksa Yuken berpegangan erat, berteriak protes karena ia masih belum mau mati.

Jika saja ada kamera, maka wajah Yuken saat ini akan author abadikan. Lihatlah wajahnya yang pucat pasi dengan kacamata oval berwarna biru keunguan di wajahnya itu membuat ketakutan dalam dirinya terpancar, "JINKAWA TOLONGLAH! AKU MASIH BELUM MEMBAHAGIAKAN MAMAMU!"

"NENEKMU ITU BAKAL KECEWA BERAT CUCUNYA TAKUT DIBAWA NGEBUT!"

"KALAU AKU YANG BAWA TIDAK APA JINKAWA! SIM-MU BAHKAN NYARIS DITARIK AYAHMU?!"

Mendengar itu Jinkawa cuma terbahak, "Kau tidak akan mati! Ayolah! Kau pernah bergaya meminum seteguk racun saat 2 tahun lalu aku nyaris dibunuh! Sekarat, antara hidup-mati selama sebulan! Sekarang kau takut mati?!"

"ITU BERBEDA JINKAWA!!!!!"

***

Warning!
OOC, SLOW UPDATE

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: 6 days ago ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Koibito-chaaaaan~ [Yuken AU Fanfict]Where stories live. Discover now