Red Monochrome : Denial

269 35 1
                                    

Ada kata-kata yang terlambat terucap. Ada juga kata-kata yang seharusnya tidak diucapkan. Jadi kata macam apa yang sebaiknya Halilintar ucapkan?

Matanya menatap nanar ke arah gundukan tanah bertabur bunga. Aneh, di mana dirinya sekarang ini? Bukankah tadi ia berada di pantai bersama adik-adiknya karena Taufan meminta untuk berlibur bersama? Bukankah adik-adiknya tadi tertawa bersama? Mengapa mereka malah menangis sekarang?

Semua orang berlalu lalang mengucapkan kata-kata semangat pada dirinya. Akan tetapi, Halilintar tidak paham. Untuk apa kata semangat itu? Untuk siapa?

"Kak Hali, ayo pulang," ajak Gempa. Ia berusaha menahan isak tangisnya, menegarkan diri supaya dapat menjadi sosok kakak yang kuat bagi keempat adik mereka.

Sang Sulung tidak bergeming. Ia terus melihat ke sekelilingnya. Orang-orang asing itu sudah pergi, meninggalkan ia bersama kelima saudaranya.

...sebentar. Lima?

"Gempa," panggilnya, terus melihat ke sekeliling, seolah mencari sesuatu. Seseorang yang harusnya di sini. Adik pertamanya, adik kembarnya. Netra merahnya terus mencari sosok pria berambut biru. "Mana Taufan?"

Di mana adiknya?

Dan Gempa pun tidak bisa menahan tangisnya lagi.

~~~~oOo~~~~

Sudah berapa hari berlalu?

Halilintar pun tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Yang pasti ingatannya seolah kabur. Ia hanya mengingat Gempa menariknya pergi bersama adik-adiknya yang menangis tanpa henti, sementara Halilintar terus mencari keberadaan adik kembarnya yang lain.

Sampai kini, Taufan tidak kembali. Taufan bukan anak yang bandel, Halilintar tahu itu. Memang beberapa tahun belakangan ini dia jadi lebih pendiam, pulang sering terlambat, tetapi Taufan akan selalu memberikannya informasi mengenai keberadaannya.

Halilintar menghela napas. Dia merasa lelah belakangan ini, tetapi tidak dapat mengingat alasannya. Tubuhnya terus berbaring di atas ranjang, kepalanya terasa pusing. Di tangannya, tergenggam sebuah pigura berisi foto keluarganya. Atensinya tertuju pada sosok adik kembarnya yang menyukai biru.

Di mana Taufan? Mengapa belum pulang juga? Apa dia tidak tahu keluarganya khawatir? Apa Taufan takut jika pulang terlambat, maka Halilintar akan memarahinya lagi? Padahal, ia sudah berjanji pada diri untuk memperlakukan adiknya itu lebih lembut lagi. Halilintar janji.

Kekosongan Taufan membuat rumah terasa sepi dan dingin. Biasanya Blaze, Duri dan Taufan akan heboh sendiri. Akan tetapi, belakangan ini Blaze lebih suka berada di kamar, mengurung diri bersama Ais, sedangkan Duri lebih sering pergi menginap di rumah teman. Solar, adik bungsunya, ia menyibukkan diri untuk terus belajar seperti biasa.

Dan Gempa...

"Kamu menangis lagi?" tanya Halilintar suatu hari. Adik kembarnya yang kedua itu terlihat memeluk diri sambil menangis. "Ada apa? Cerita sama kakak."

Halilintar memang bukanlah pendengar yang baik. Akan tetapi, ia sudah berjanji pada diri untuk belajar menjadi pendengar yang lebih baik lagi, untuk menjadi kakak yang baik dan dapat menjadi tempat untuk bersandar bagi adik-adiknya.

Namun, Gempa hanya menggelengkan kepalanya, malah meminta maaf karena membuat khawatir.

"Ga usah minta maaf, dek," hiburnya. Halilintar bukan penghibur yang baik, ia tidak seperti Taufan. Di mana Taufan saat ia membutuhkannya?

Di tengah isak tangisnya, Gempa hanya bisa berkata, "kangen Kak Upan."

Halilintar membelai lembut surai Gempa. "Taufan bakal segera pulang kok."

Blue And MonochromeDonde viven las historias. Descúbrelo ahora