bab 2

24 6 0
                                    

Harlan

Sepeda Gunung Bike N Bike Rush 26 Inch, sepeda baru gue yang gue beli saat pertama kali menginjakan kaki dibandung. Gue belum terfikir untuk memakai si jake, sepeda motor kesayangan gue.

Gue berkeliling kota bandung, malam ini. Ternyata sama saja, hanya kehampaan yang terbesit didalam hati gue.

Gue sendirian, dengan kesepian yang ikut terbawa. Padahal ayah dan ibu ada dirumah, tapi tetap aja rasanya sepi. Jadi gue memilih untuk keluar dan berkeliling bandung. "Keyra?" gumam gue, melihat siluet si gadis cerewet yang terlihat kebingungan ditepi jalan.

Gue mendekat, dia menoleh. Hingga pandangan kita bertemu.

"Loh Harlan?" dia berseru heboh, sambil melambaikan tangannya. Dia tersenyum dengan lebar. Kenapa dia sangat mudah sekali untuk tersenyum dan tertawa?

"Kenapa?" Tanya gue, padahal gue sama sekali ga ada niatan buat nyamperin bocah hiperaktif itu. Tapi emang pada dasarnya dia punya energi magnet yang diluar batas, buat gue tiba tiba nyamperin dia.

"Aku bingung, kunci motor aku jatuh disini," jari jari nya menunjuk pada sebuah sekolah, yang tertutup.

Gue menghela nafas, selain cerewet dan banyak omong, keyra ini juga sangat ceroboh. Bahkan beberapa kali gue sempet ngeliat dia kesandung tapi sepatu sendiri. Ceroboh banget!!

"Ceroboh!" gue mendesis pelan. Melihat raut memelas dari wajahnya membuat Raga gue tergerak untuk membantunya.

"Iya maaf, namanya juga kaget, tiba tiba pas mau ke sebrang jalan, ada mobil yang klakson. Reflek kaget, terus kunci motornya kelempar masuk kesitu," dia malah bercerita, menceritakan semua kronologi tanpa gue minta.

Selalu seperti itu, disaat gue membalas perkataannya dia akan lebih banyak berbicara lagi. Yang tidak dibalas saja dia sudah bisa memberitahu sejarah dalam dua bab dalam sehari, apa lagi kalau omonganya dibalas, bisa sampai puluhan bab memenuhi buku, hanya dengan semua dialognya yang tiada habisnya.

Setelah bermenit-menit tidak bisa menggapai kunci motor tersebut, gue akhirnya memilih untuk mengangkat penutup selokan tersebut. Menunggu motor motor yang menindih besi itu pergi.

"Nih senterin, gue mau ngangkat nih besi," ketus gue. Dia mulai menyalakan senter.

"Anjing! Berat juga ya" Gue mengumpat dalam batin. Bisa hancur harga diri gue sebagai cowo kalau ga bisa ngangkat beginian.

Jari jari tangannya gue menghitam, besi yang berkarat itu membuat noda di tangan gue.

"Nih," gue menyodorkan kunci motornya. Akhirnya dapet juga.

"Makasih yaaa lan, maaf banget aku jadi ngerepotin kamu," dia tak enak hati, suaranya juga terdengar tak biasa.

Gue diam, lagi lagi enggan menjawab. Memilih untuk pulang. Tak ada niatan untuk kembali mengitari jalanan Bandung. Tenaga gue rasanya udah abis cuma buat ngangkat besi selokan yang berat.

"Eh tunggu," dia mencekal tangan gue, gue menatapnya.

"Kenapa?" geram gue sedikit menekan kata yang terlontar, apa ga cukup ya tadi bikin gue naik darah? Sekarang nahan nahan gue pergi. Rasanya gue makin hari makin tempramental aja.

"Mau makan bareng ga, dideket sini? Ucapan terimakasih dari aku," tatapan begitu berharap. Kalau gue nolak? Dia bakal nangis dipinggir jalan ga ya kira kira?

"Mau ya? Aku ga enak, setidaknya terima ya, cuma makan bareng," modus si kalo kata gue nih cewe.

"Dimana?" jawaban gue sukses membuat manik bercahaya dikedua kelopak matanya.

SIAPA SANGKA? 15.30 DIKARA WAKTU [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang