Chapter 1

398 71 8
                                    

Kyle membetulkan tas yang tersampir di bahunya, kemudian melenggang memasuki rumah. Jujur, pulang adalah hal paling memuakkan. Entah apalagi yang kali ini akan dibahas oleh sang mama.

Begitu masuk, ia mendapati sang mama tengah sibuk bertelepon entah dengan siapa, tetapi tampak begitu antusias bahkan bahagia hingga tawanya menggema memenuhi seluruh isi ruang. Melihat Kyle masuk, perempuan itu sempat menoleh dan Kyle hanya menganggukkan kepala, tidak ingin mengganggu. Siapa sangka sang mama justru memutus sambungan teleponnya.

"Kael."

"Iya, Ma?"

"Duduk sini."

Lelaki itu menghela napas, kemudian menghampiri sang mama. "Kenapa, Ma?"

"Kata gurumu hari ini kamu enggak fokus praktikum, bahkan enggak selesai. Kenapa? Kamu mikirin apa?"

Kyle sempat merasa senang karena kali ini apa yang dilontarkan mamanya berbeda dari biasa.

"Enggak ada, Ma. Agak capek aja."

"Mama, kan, udah bilang jangan mikirin apa pun kalau udah di sekolah. Fokus kamu, ya, cuma belajar. Apa jangan-jangan kamu punya pacar? Siapa? Bilang mama. Mama enggak suka ada orang yang ganggu fokus belajar kamu. Jangan kebanyakan main, keluar dari circle yang enggak ngerusak kamu. Mama sama sekali enggak suka, tuh, sama Niki atau Zaki. Mereka cuma parasit di hidup kamu."

Kyle hanya tersenyum. Merasa tertampar oleh ekspektasinya sendiri. Memang apa yang dia harapkan? Selama ini sang mama bukan menyemangati seperti orang tua kebanyakan, tetapi mendorongnya hingga tersungkur berkali-kali.

Saat hendak menjawab, mamanya kembali bicara.

"Emang sesulit itu, ya, nyusul Ken? Dia pontang-panting cari duit aja masih bisa terus peringkat satu. Kamu yang udah dikasih hidup enak, enggak harus mikir, malah terlalu santai. Buktikan sama papa kalau kamu itu lebih baik dari dia. Mami malu. Mama banyak dihina karena kelahiran kamu, sekali-kali bikin mama bangga enggak bisa?"

"Iya, Ma. Aku bakal berusaha lebih keras."

"Gitu dong."

"Besok pelajaran apa? Belajar dari sekarang. Kalau ada tugas langsung dikerjain, terus dipelajari lagi, jadi kamu enggak sebatas capek tapi ngerti."

"Iya, Ma."

"Seragam kotor kamu simpan di keranjang, nanti diambil sama mbak."

"Aku ke kamar dulu."

"Jangan langsung tidur."

"Hm," sahut Kyle sembari melangkah meniti satu per satu anak tangga menuju kamarnya.

Sebenarnya Kyle lelah, tetapi ia tidak punya pilihan selain menuruti semua perintah sang mama. Apalagi setiap kali mereka bicara tak sekalipun mamanya lupa menyematkan kalimat, ‘mama banyak dihina karena kelahiran kamu.’ Padahal, Kyle tidak pernah minta dilahirkan. Dia hanya korban dari nafsu dan keserakahan orang dewasa.

Pemuda berkulit putih pucat itu bertukar pakaian, lantas menyeret kursi di depan meja belajar dan mengeluarkan semua buku catatannya. Masuk farmasi bukan keinginannya. Kyle lebih suka musik. Namun, menentang terang-terangan hanya membuat barang-barang kesayangannya berakhir di tempat pembuangan, seperti gitar kesayangannya kala itu. Sekarang, saat pulang cepat dia paling pergi diam-diam bersama sahabatnya sebentar sekadar nongkrong atau menyewa tempat untuk bermain musik.

Baru sekitar sepuluh menit Kyle membuka buku, tiba-tiba saja pandangannya kabur, kepalanya berdenyut hebat. Kyle menjatuhkan buku di tangannya, berganti memegang kepala. Sakit itu mulai begitu intens menyulitkannya. Bahkan, saat pingsan tempo hari sang dokter menganjurkan agar Kyle melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Namun, karena kedua orang tuanya tidak datang, Kyle langsung menolak. Andai benar pun ada penyakit mematikan di tubuhnya, Kyle tak peduli sebab dia sendiri pun sebenarnya tidak pernah punya alasan untuk hidup. Semua orang membencinya. Jadi, untuk apa dia bertahan?

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 14 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

182 DaysWhere stories live. Discover now