PROLOG

16 3 0
                                    


.

.

.

"Semuanya tidak akan terus seperti ini."

"Jantungku akan menjadi persembahan dariku atas hidupmu."

"Manusia takut akan ketidaktahuan, mereka tidak jahat. Jadi tidak apa-apa, Sukuna."

"Akan kubinasakan seluruh manusia di muka bumi, jika itulah hal yang menjadi syarat untuk menghidupkanmu kembali. Aku akan membakar dunia, menghanguskannya, dan menghancurkannya untuk menyelamatkanmu."

"Terima kasih. Mari bertemu lagi nanti, ya, Sukuna!"

"Airith?"

Telinganya kebas dan tak dapat mendengar apa pun, kecuali suara wanita muda itu yang terus berputar menyiksanya di dalam benaknya. Isi kepalanya pun lagi dan lagi mulai berusaha menggambarkan seberapa baiknya pernyataan berisi kenaifan yang dipercaya oleh sang penawan jantungnya, meski gagal berkali-kali pula. Dia terus berharap semuanya tidak nyata, terus meminta, menawar, memohon, terus, dan terus.

"Sadari dan ketahuilah bahwa semua yang kau lakukan itu sangat menyedihkan, Nokoe, entah itu senyum atau tawamu sekalipun." Pikiran si pujangga itu kosong namun berat, seolah Tuhan tengah memaksanya bersujud di tanah yang basah untuk memohon ampunan atas nyeri yang mencabik dadanya. "Nokoe, kau begitu lemah dan rapuh seperti bunga tidur. Kau begitu memuakkan hingga membuatku berpikir apakah aku akan dapat dengan mudah meretakkan tubuhmu, jika kau tak kugenggam dengan baik."

Telapak tangannya yang kasar kini mengusap pipi sang manusia penyandang hidupnya dengan perlahan-lahan di rengkuhannya. Air matanya itu berdarah, dan terjatuh menyentuh kelopak mata si wanita muda yang telah tertutup rapat.

Tubuh Sukuna tidak bergetar sedikit pun meski telah kehilangan dunianya. Napasnya tetap teratur dan tenang, bak melihat bunga liar yang tumbuh di pekarangan area tempat tinggalnya, dan bisa tergantikan kapan saja itu, mati. Dia yakin dirinya tak peduli dan yakin dirinya sedang tidak tertekan, meski dahinya kini bertumpu pada dahi sang pujaan yang dingin seperti es, seolah-olah jika tak melakukannya, dirinya akan hancur berkeping-keping.

Lelaki bersurai merah jambu itu terkekeh parau, sebelum bertanya, "Biasanya kau berisik, tapi kini kau tampak begitu tenang. Apa kau ingin aku memujimu?"

Kematian Nokoe Airith mengherankan semua penduduk, saat bau amis sama sekali tak mengudara walau darahnya menggenang banyak di tempat eksekusi terbuka. Hal itu membuat semua orang ketakutan dan terus bersumpah serapah.

"Wanita itu pasti belum mati ... d-dia telah mengutuk tempat ini! Ini tidak normal! Kita tidak mencium bau apa pun, iya, kan?!" seru salah seorang penduduk, berujung memantik persepsi liar semua orang.

"Jangan-jangan laki-laki di sana adalah komplotannya!"

"Iya, benar! Kita seharusnya membunuh mereka berdua sekaligus!"

Sukuna muak dengan segala suara manusia lain. Dirinya lantas berdiri dan membopong tubuh Airith yang telah tinggal sebuah cangkang tanpa sukma sebagai isi. "Kalian benar, Manusia-Manusia Bodoh," kengerian menjalar dari suaranya setelah dia berucap; membekukan setiap gerakan orang-orang. "Wanita ini belum mati, dan dia tidak akan pernah mati. Jadi berbahagialah dan cepat sana menggeliat seperti belatung di atas gundukan sampah."

Dendam yang tertanam dan mengakar dalam jiwa Sukuna kini telah mekar dengan sempurna, menghantarkan bau busuk yang mencekik paru-paru. Cintanya sebagai manusia yang mencintai manusia lain, justru menjadi alasannya melakukan kekejian di suatu waktu kelak; merubahnya menjadi makhluk terkutuk tanpa hati.

Di tengah-tengah semua itu, tipisnya air hujan tiba-tiba jatuh merintik menyelimuti sekitar, dan perlahan menjadi sangat deras hingga bulirnya terasa perih menusuk kulit. Angin pun berhembus bercabang dengan kencang. Semua itu terjadi seakan semesta telah menangkap sinyal rasa sakit yang mengekang hati Sukuna. Dan dalam hitungan detik, dalam badai tersebut, Sukuna menghilang bak tertelan amukan cuaca.

Tak lama lagi, bencana akan datang, dan sejarah manusia akan mencatat ketidakbenaran yang mutlak; sebagaimana kini dirinya kehilangan hatinya karena kesimpulan tumpul masyarakat yang tidak mengandung fakta kenyataan. Karenanya, sebagai manusia yang telah kehilangan denyut nadinya, Sukuna mati. Namun tidak sebagai kutukan.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 14 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

CONDEMNING REASONS [Ryomen Sukuna]Where stories live. Discover now