Tiga

5.6K 1.3K 37
                                    

AKU bertemu Jazlan di lobi hotel saat pulang kantor. Saat melihatku, dia berhenti melangkah dan menungguku mendekat.

"Kamu nggak parkir di tempat biasa?" tanyanya.

"Hari ini saya nggak bawa mobil, Mas." Tadi pagi mobilku mogok. Sepertinya akinya mati. Aku memang kurang perhatian pada perawatan mobil. Selama mobilku masih bisa jalan dan tidak bermasalah, aku malas membawanya ke bengkel untuk servis rutin. Akibatnya seperti ini. Aku harus merepotkan salah seorang pegawai Mbak Azkia di restoran untuk membawa mobilku ke bengkel.

"Kalau gitu biar aku antar pulang." Jazlan mengiringi langkahku menuju pintu keluar.

"Nggak usah, Mas. Saya bisa pesan taksi kok." Aku menunjukkan gawai yang kupegang. Aku sudah masuk di aplikasi saat tadi melihat Jazlan sehingga belum sempat memesan taksi. "Rumah kita kan nggak searah."

Jazlan punya suite di hotel yang sering dipakainya menginap kalau dia sedang enggan pulang, terutama ketika hotel kami dipakai sebagai tempat pertemuan konferensi internasional yang diselenggarakan pemerintah pusat. Dia tipe perfeksionis yang suka menginspeksi untuk meyakinkan kalau acara yang diselenggarakan di hotel kami berjalan sempurna. Tapi ketika acara-acara yang dihelat di hotel hanya berskala nasional atau lokal, biasanya Jazlan pulang ke rumahnya setelah jam kantor berakhir.

"Hanya perlu mutar sedikit kok." Jazlan mengarahkan langkahku menuju mobilnya yang sudah disiapkan oleh petugas valet di depan lobi. "Kalau punya teman ngobrol, kan jadi nggak bosan di jalan."

Aku tidak punya pilihan selain mengikutinya. Tidak enak berbantahan dengan bos di depan pegawai hotel. Biasanya aku menghindari berduaan dengan laki-laki mana pun kalau tidak ada hubungannya dengan pekerjaan supaya tidak terjadi kesalahpahaman dan situasi yang tidak diinginkan.

Tidak banyak pegawai hotel yang tahu statusku sebagai janda karena aku memang tidak pernah membahas urusan pribadi di kantor. Aku juga sengaja memakai cincin sebagai tameng, jadi sebagian besar pegawai hotel mengira aku adalah istri seseorang dan ibu dari satu anak.

"Ara gimana kabarnya?" Jazlan berbasa basi setelah mobil yang kemudikannya meninggalkan area hotel.

"Baik, Mas."

"Aku terakhir ketemu dia kayaknya bulan lalu ya? Itu, waktu kalian mampir di hotel untuk ngambil berkas."

Waktu itu weekend. Aku mengajak Ara nonton karena ada film kartun yang baru keluar. Karena ada berkas yang lupa aku bawa pulang sehari sebelumnya, aku lalu mampir sejenak di hotel untuk mengambilnya. Waktu itu kebetulan Jazlan menginap di hotel, dan kami bertemu dia di lobi. Saat itu, Jazlan menemani Ara ngobrol di lobi sementara aku ke ruanganku mengambil dokumen.

"Makin lama, Ara makin mirip kamu," lanjut Jazlan tanpa menunggu responsku.

Aku tersenyum. Meskipun jarang bertemu, Jazlan familier dengan Ara karena Ribka selalu mengajaknya ikut dalam perayaan sederhana ulang tahun Ara. Atau mereka bertemu ketika Ara sedang "dipinjam" Ribka. Kadang-kadang, Ribka memang mengajak Ara jalan-jalan atau sekadar main ke rumahnya.

"Anak mirip ibunya kan wajar banget, Mas."

"Tapi biasanya anak perempuan malah mirip bapaknya lho. Sepupu dan ponakanku begitu semua."

Senyumku spontan menghilang. Aku tidak ingin teringat ayah Ara. Aku tidak bisa mengingkari keberadaannya karena tanpa dia, Ara tidak akan hadir di dunia. Tapi aku tidak ingin membicarakan dia lagi di masa kini.

Laki-laki itu adalah lambang kegagalanku, padahal aku tidak pernah gagal dalam hal apa pun sebelumnya. Aku menyelesaikan SMP dan SMA dalam waktu singkat karena aku ikut kelas akselerasi. Aku sudah menyelesaikan S2 pada umur 22 tahun, dan diterima bekerja di perusahaan tempat aku magang sehingga tidak perlu repot-repot berebut tempat di job fair.

Upside DownWhere stories live. Discover now