01: The Indescribable Feeling

394 34 4
                                    

1,6k+ words✍🏻

Sore itu dapur dipenuhi bising mesin kopi, alat yang cuma bisa dikuasai si tampan bernama Park Sunghoon. Ia tengah meracik kopi dan memotong buah.

Sunghoon adalah murid berkedok atlet. Wajar kalau dia mahir dalam banyak hal; basket, ice skating, sampai bersepeda jarak jauh. Kepiawaiannya dalam berolahraga cukup menolong kepribadian introver-nya.

Kalau saja Sunghoon tak terikat dengan mereka, sejak kecil dia mungkin mendekam terus di dalam kamar sampai kulitnya makin pucat macam vampir.

Sayangnya, semua kegiatan tadi berangsur terhenti ketika dia menginjak kelas 2 SMA. Sunghoon jadi lebih suka menghabiskan waktu di rumah dengan game dan buku komik.

Terbiasa menjadi anak rumahan tak menghalangi fakta kalau Sunghoon sedikit demi sedikit jadi lebih peduli dengan orang lain, terutama Park Elisa, kakak perempuan sekaligus manusia favoritnya.

"El, udah belajarnya? Ayo minum kopi di kamarku!" Sunghoon bertanya lantang dari area pantry sembari merapihkan kekacauan.

"Kamu keatas aja dulu, nanti kususul!" Balas kakaknya, agak berteriak pasalnya ia jauh di dalam kamar.

Omong-omong, Elisa adalah kakak tak sedarah Sunghoon. Dia bergabung di keluarga ketika genap berumur 2 tahun.

Dulu, orangtua Sunghoon sempat kuatir anak semata wayang mereka tak kunjung bisa bicara. Lalu muncul ide untuk mempertemukan Sunghoon dengan Elisa, anak panti yang sejak kecil punya banyak kosakata. Syukurlah, sejauh ini Sunghoon dan gadis itu tumbuh baik bersama-sama.

Dikarenakan mereka sama-sama anak rumahan, secara natural Sunghoon menjadi sangat menempel dengan sang kakak. Begitu juga gadis itu yang kemana-mana biasa dibonceng Sunghoon.

"Ini banyak banget yang mau dibawa. Kamu nggak mau bantu aku?" Tanya saudara lelakinya sambil memperhatikan semua sajian di nampan.

Elisa meremas pulpen, kesal pasalnya sejak tadi cuma berhasil menyelesaikan PR sampai nomor 3. Seandainya dia jago di mata pelajaran itu, mungkin tak perlu keras-keras putar otak.

Bermenit-menit kemudian Elisa tetap berkutat dengan buku, tak tahu kalau saudaranya bosan menunggu dan menyasar ke dalam kamarnya.

"Chemistry? Ini mah gampang, punyaku udah selesai." Ledek Sunghoon, yang memang punya spek otak kimia.

Elisa akhirnya memberi sedikit atensi pada manusia di belakangnya. "Mana? Boleh lihat?" Katanya.

"Boleh, syaratnya kamu panggil aku kakak." Sunghoon menaikkan kedua alisnya genit.

"Mana bisa begitu? Aku kan lahir beberapa bulan lebih awal!" Sang kakak tak terima.

Sunghoon memang agak terobsesi dipanggil kakak. Padahal dia dengan senior-seniornya saja jarang memanggil dengan honorifik sopan begitu.

"Yaudah. Bye~" Sunghoon pergi setelah mengusak puncak rambut saudarinya.

"Tunggu. Aku mau ikut ke atas!" Pekik Elisa, tak ingin hilang kesempatan menyalin PR Sunghoon.

Sunghoon terkekeh melihat alat tulis yang saudarinya bawa sampai berjatuhan. "Ya ampun. Niat banget kalau nyontek! Nanti ajalah, ngopi dulu." Ujarnya.

"Kopinya buat kamu aja, deh. Abis ini aku mau langsung tidur. Udah capek." Balas gadis itu.

Elisa membantu meringankan beban nampan dengan menukar dua mug kopi dengan buku tulisnya. Setidaknya, sekarang sang adik bisa naik tangga tanpa kuatir ketumpahan.

Sunghoon mengangkat jempol, tak masalah. Selain karena hobi minum kopi, dia senang akhirnya bisa quality time dengan kakak tersayangnya.

Sesampai di kamar dengan nuansa hitam miliknya, Sunghoon memperhatikan bagaimana telaten Elisa memilah deret buku tulis, mirip dengan kepribadian Mama mereka yang perfeksionis.

𝐓𝐨 𝐭𝐡𝐞 𝐏𝐞𝐫𝐬𝐨𝐧 𝐈 𝐚𝐦 𝐁𝐞𝐜𝐨𝐦𝐢𝐧𝐠Where stories live. Discover now