The Judge

11 3 0
                                    

"Aku minta maaf."

Heru tertegun. Kedua matanya menatap dalam sosok yang duduk di sebelahnya. Angin berhembus pelan. Rambut sang puan melambai-lambai diterpa angin. Lelaki itu tak membalas. Dia masih diam bahkan setelah beberapa menit sosok itu menyelesaikan ucapannya.

"Aku nggak tahu harus gimana, aku nggak bisa ngasih kasus ini ke siapa pun karna aku nggak percaya mereka."

Aliska terlihat kacau. Kedua matanya sayu dan ada lingkaran hitam yang nampak samar dibalik bedak yang dipoles pada wajahnya. Heru masih diam. Sedangkan sosok itu masih memperhatikannya dengan ekspresi yang kentara sekali menunjukkan rasa khawatir serta bersalah.

Tidak, pikir lelaki itu. Dia tidak boleh seperti ini. Tindakannya salah. Dia melanggar kode etik. Seorang psikolog dan kliennya tidak boleh bertemu di luar jam konsultasi atau hal itu hanya akan menjadi alasan kurangnya objektivitas dia dalam menyelesaikan permasalahan sang klien. Heru tidak pernah begini sebelumnya.

Aliska pasti tahu akan kode etik yang lelaki ini pahami, pada dasarnya dia adalah seorang pengacara yang hebat dan juga cerdas. Hal sederhana seperti itu pasti dia ketahui. Aliska juga sosok yang sangat teliti dalam segi apa pun. Heru masih mencoba memahami bahwa tindakan yang terkesan gegabah ini hanya untuk menebus rasa bersalahnya atas apa yang sudah menimpa lelaki ini.

Maka satu tarikan napas pada akhirnya menjadi pembuka akan suaranya, Heru kemudian tersenyum. "Nggak, nggak ada yang harus kamu sesali di sini. Aku juga salah kok, karna udah bikin ulah dengan bangun klinik di atas tanah sengketa."

"Tapi itu karena kamu nggak tahu dan aku yakin betul kalau lelaki itu cuma sedang nyari masalah aja sama kamu, dia emang gitu orangnya. He's fucked up, Heru. I knew him!"

Pada akhirnya, Heru kembali tersadar dari ekspetasi yang sempat membawanya terbang terlalu tinggi pada harapan perihal bahagia yang seharusnya tidak dia rasakan. Lelaki itu menemukan dirinya tertinggal jauh dari sosok itu. Heru bukan siapa-siapa. Dia seharusnya tetap berada pada garis yang sudah dia buat—demi hatinya yang kelewat rapuh untuk menerima kenyataan bahwa sosok itu tak akan pernah menganggapnya lebih dari sekedar seorang psikolog.

Lelaki itu lantas tertawa sumbang. Sebuah tawa yang sarat akan perasaan kecewa. Namun Aliska tidak paham itu. Dia mendongak dan menemukan sosok itu tertawa pelan. Perempuan itu menggeleng. Tidak, jangan tertawa. Masalah kita besar. Kita melawan orang gila. Kira-kira seperti itu kalimat yang terlihat pada wajah sang puan.

"Aku bikin kapabilitas kamu menurun, Heru. I'm feeling sorry for you," ujarnya lagi.

Heru kembali tersenyum, dia terlihat menjaga jarang pada perempuan itu dan sebisanya menjaga gerakan tangannya agar tak bersentuhan dengan sosok ini. "Nggak apa-apa, kalau emang nanti nggak sesuai harapan juga aku bakal coba buka klinik di tempat lain."

Sebenarnya Heru tidak bodoh untuk tidak mengerti alasan kemarahan dari lelaki itu, hingga membuat begitu banyak masalah dan drama seperti saat ini. Namun satu hal, dia dan Aliska bahkan tidak pernah bertemu di luar jam konsultasi. Lantas kenapa dia bisa menyimpulkan bahwa Heru dan Aliska memiliki hubungan?

"Aku bakal coba bujuk Sean buat cabut tuntutannya," Aliska seketika berdiri dan membuat Heru tersentak kemudian tersadar dari lamunannya.

Dia ikut berdiri dan mencekal pergelangan tangan perempuan itu, "You no need to, Aliska. Aku seriusan udah coba cari tempat baru kok, sekarang."

Aliska kembali menggeleng, kalimat penolakan atas keputusan yang Heru ambil sudah diujung lidah kalau saja Tina tidak lebih dulu menghampiri mereka dengan setumpuk berkas dalam pelukan.

"Ngapain? Persidangan bakalan dimulai sebentar lagi," katanya dengan ekspresi kesal.

Keduanya lantas mengangguk dan beranjak pergi. Heru melepaskan genggaman tangannya dari perempuan itu dan berjalan mengekor di belakangnya. Sejenak dia menjenguknya langkah dan melirik di balik tembok.

How Do We End Us?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang