"Silakan duduk."
Ragu Luna duduk di sofa hitam penthouse milik Sean. Sejak Sean memintanya pindah, dia belum juga pindah. Ini pertama kalinya dia datang sehingga perasaannya gugup dan canggung.
"Aku ganti pakaian dulu. Tunggulah sebentar. Ini minummu."
Luna memegang botol air mineral dengan kedua tangannya, kuat. Matanya melirik ke sekeliling. Sekali lirik saja sudah terlihat betapa mewahnya tempat ini meski tidak banyak perabotan.
"Apa kamu sudah mempertimbangkan untuk pindah?"
Pertanyaan Sean mengagetkan Luna hingga terperanjat.
"Maaf, aku mengagetkanmu?" Sean mendekat.
Luna mengangguk kaku.
"Bagaimana menurutmu tempat ini? Kamu menyukainya?"
Jawaban apa yang tepat untuk pertanyaan Sean? Luna hanya melirik Sean sekilas lalu mengalihkan pandangannya.
"Kamarmu di sini jika kamu bersedia pindah. Lihatlah!"
Luna bangun dari posisinya mendekati Sean, menilik kamar yang ditunjuk. Luas, itu gambaran yang bisa Luna deskripsikan.
"Kamarku di sana. Ujung sana."
Luna kembali hanya mengangguk. Sudah beberapa bulan dekat tapi dia masih belum bisa nyaman dengan Sean karena melihat pria itu adalah bosnya. Begitu sulit untuk dekat baginya.
"Perutmu semakin besar. Kamu pasti kesulitan jika tinggal sendirian. Tempatmu tinggal juga jauh dari kantor sementara aku tidak boleh setiap hari mengantar jemputmu." Luna memang melarangnya mengantar jemput setiap hari.
"Baiklah. Saya akan pindah," ucap Luna yang berpikir mungkin ini kesempatannya untuk bisa lebih dekat dengan Sean. Bisa menghilangkan kecanggungannya dengan Sean yang notabene adalah papa dari anaknya.
"Sungguh?"
"Iya," jawab Luna pelan.
"Bagaimana jika mulai malam ini?"
"Hah?"
"Ya, tinggallah di sini sekarang. Besok Minggu jadi jika bisa pergi jalan-jalan pagi."
"Ta, tapi saya belum membawa apapun."
"Kita bisa mengambilnya. Kamu hanya perlu membawa pakaian. Sisanya kita pikirkan besok."
Luna tersenyum melihat antusias Sean yang terlihat jelas senang.
"Ayo kita makan malam di luar sekalian mengambil pakaian?"
Luna mengangguk.
"Ayo, aku sudah tidak sabar."
Sean menarik tangan Luna untuk mengikutinya. Entah sudah yang keberapa kali Sean dengan mudahnya memegang tangan Luna tanpa canggung. Sementara Luna berdebar tapi juga sedih. Menghilangkan bayangan Deri bukan hal mudah baginya.
***
Ketika menata pakaian di koper, Luna terdiam sesaat. Meyakinkan diri pilihannya kali ini paling tepat. Hanya Sean yang bisa dijadikan sandaran saat ini. Berjuang sendiri sungguh melelahkan. Sean sangatlah membantunya, bebannya berkurang akhir-akhir ini.

YOU ARE READING
Another Chance for Love
RomanceKarena kejahatan seseorang yang menginginkan pacarnya, Luna Catalina bercinta dengan pria asing dan hamil. Tidak ada niatan Luna untuk meminta pertanggungjawaban. Apalagi meminta Deri sang Pacar untuk menerima keadaannya. Luna memilih melepas semua...