2 Killed Them All

47 1 17
                                    

"Anggap saja aku penyelamatmu."

Pernyataan itu bagai seember air dingin yang ditumpahkan tepat ke wajah Tim. Penyelamat? Itu adalah hal terakhir yang dia duga akan meluncur dari bibir miliknya yang berwarna merah tipis. Selama ini, seluruh sikap gadis itu membuatnya berpikir kalau dia kemungkinan besar adalah seorang musuh, tapi sekarang?

Tim mengerjapkan mata, "Penyelamat?" tanyanya.

"Ya," Vendetta menganggukkan kepala, "aku akan mengeluarkanmu dari sini, bocah." katanya, dia menyeringai samar.

Hanya karena satu kata, Tim berhasil dibuat mendengus, entah mengapa itu membuatnya gengsi.

"Aku tidak butuh bantuanmu, dan aku bukan bocah." katanya, meregut.

"Kau tidak butuh bantuanku? Tapi kau terjebak di sini dan babak belur, loh." Vendetta menjawab dengan santai sambil menyandarkan punggung ke kursi.

Gadis itu ada benarnya, tapi Tim masih belum mau menerima bantuan darinya begitu saja, dia terlalu menyebalkan untuknya.

"Aku bisa mengatasinya sendiri." ucap Tim.

"Oh, ya? Kau yakin?" gadis itu menaikkan sebelah alis, kemudian dia melipat tangannya di depan dada. "Karena kalau dari yang kulihat, kau tidak memiliki apapun untuk membebaskan diri. Kedua kaki dan tanganmu terikat, dan aku sangat yakin mereka juga menghancurkan alat-alat berhargamu." ucapnya dengan nada mengejek.

Kata-kata tersebut menghancurkan segala upaya yang telah Tim lakukan untuk tetap tenang. Dia merasa seperti dipukul oleh kenyataan yang selama ini dia coba abaikan, membuatnya seolah terhempas kuat ke tanah. Dia sama sekali tidak mau memperlihatkan pada siapapun kalau dirinya sedang berada dalam posisi lemah dan tidak berdaya, tapi gadis itu sudah lebih dari menyadarinya, dan dia berhasil mengendalikan situasi.

"Sialan ..." gumamnya pada diri sendiri.

"Jangan bersikap sok keras, bocah." ucap Vendetta, masih sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Dia terlihat sangat arogan sekarang.

Kata 'bocah' yang kembali meluncur dari bibirnya hanya membuat pikiran Tim semakin kusut. Dia selalu kesal jika ada orang yang memanggilnya seperti itu, terutama bagi orang yang lebih tua darinya, seperti gadis tersebut---dia tidak terlihat tua, tapi dia tahu kalau gadis itu berusia beberapa tahun di atasnya, dan dia pasti sengaja melakukannya untuk membuatnya kesal.

"Berhenti memanggilku bocah!" seru Tim.

"Kenapa? Itu cocok untukmu. Terdengar menggemaskan." gadis itu tertawa renyah.

Kalimat tersebut berhasil membuat wajah Tim memerah. Dia merasa dirinya akan meledak sebentar lagi, entah karena marah atau karena tersipu menahan rasa malu, dia tidak tahu dan dia tidak mau tahu. Gadis itu terus bermain-main dengan perasaannya sejak pertama mereka berbicara dan itu semakin membuatnya gelisah.

"Tidak! Itu sama sekali tidak menggemaskan karena aku bukan bocah!" Tim berteriak.

Namun, bagi seseorang seperti Vendetta, Tim hanyalah seorang laki-laki biasa di matanya, dan menurutnya, mereka tidak sepadan. Dia bahkan sama sekali tidak merasa takut ataupun gentar akan gertakan serta ancaman yang terdengar jelas dalam suara laki-laki tersebut.

"Lalu, bagaimana aku harus memanggilmu?" tanyanya.

Tim mengerucutkan bibir, "Robin." balasnya singkat.

Dilihat dari ekspresi wajahnya yang berubah tidak puas, sudah jelas kalau gadis itu tidak akan menerima jawaban yang dia berikan begitu saja. Itu pasti bukan jawaban yang dia inginkan.

"Itu bukan nama aslimu. Aku ingin tahu nama aslimu." ucap Vendetta tajam.

Tim hanya bisa memutar bola mata.

Robin: Vendetta | Tim DrakeKde žijí příběhy. Začni objevovat